![]() |
Tanah Perdikan Pamingit 1 |
KATA PENGANTAR
Cerita ini disusun oleh penulis adalah semata-mata ingin ikut melestarikan budaya leluhur yang adi luhung yang mulai tergerus masa di zaman yang semakin modern ini.
Saya selaku penulis merasa, dengan semakin banyak saya menulis justru saya merasa semakin bodoh. Dan saya dapat melangkah sejauh ini adalah semata-mata karena segala bimbingan, dukungan, dan doa dari panjenengan semua.
Maka dari itu saya selaku penulis, hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada panjenengan semua yang tidak dapat saya sebut satu persatu, atas segala bimbingan, dukungan, dan doa yang tidak henti-hentinya kepada saya selaku penulis.
Saya selaku penulis minta maaf, jika nanti dalam penulisan cerita cerita silat ini ada kesamaan tokoh atau tempat dengan cerita lain. Semua itu adalah semata-mata sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan penulis.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin tidak bisa memenuhi keinginan semua pembaca. Hal ini semata-mata adalah karena kebodohan penulis. Jika di dalam cerita silat ini masih banyak kejanggalan, penulis dan tim Padepokan Tanah Leluhur mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Terima Kasih
Padepokan Tanah Leluhur
Februari, 2025
Suasana senja menjelang malam, tampak sudah begitu gelap sekali. Sebab selain sebentar lagi malam akan turun, di luasnya langit yang terhampar, mendung gelap sudah menyelimuti sebuah padukuhan kecil yang jauh dari keramaian.
Sesekali terlihat kilat menyilaukan menghiasi angkasa, dan dibarengi dengan terdengarnya pula petir menyambar-nyambar. Sebagai pertanda bahwa tidak lama lagi hujan akan turun di sekitar tempat tersebut.
Selain itu beberapa kali terlihat angin bertiup dengan kencangnya di sela-sela pategalan, hutan kecil, hingga memasuki padukuhan kecil yang masih jarang penduduknya tersebut.
Di sepanjang jalan sudah terlihat sepi, sebab mereka menjadi khawatir jika sewaktu-waktu hujan akan turun disertai dengan kilat dan petir yang menyambar-nyambar.
Sehingga mereka memutuskan untuk segera mengamankan diri di rumah sebelum benar-benar hujan turun dengan derasnya, bersama dengan keluarga tercinta masing-masing.
Tetapi dalam keadaan yang demikian, terlihat ada seorang perempuan muda yang sepertinya sedang tergesa-gesa menuju ke tempat tujuan.
Dengan nafas terengah-engah karena telah berlari beberapa ratus tombak dari tempat semula, sembari sesekali dirinya memandangi langit yang terlihat semakin gelap saja.
“Semoga aku tidak terlambat”. katanya dalam hati, di sela-sela suara pernafasannya yang masih berkejaran ketika menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak sembari memperbaiki nafasnya yang masih tersengal-sengal.
Wajah perempuan muda itu tampak diselimuti kegelisahan yang tak terbantahkan bagi siapapun yang melihatnya, tetapi kebetulan saja di sepanjang jalan itu terlihat sepi.
“Jika aku terlambat, maka percuma saja segala usahaku untuk membuktikan kepada mbakyu apa yang sebenarnya dia yakini kebenarannya selama ini salah besar dan tidak seperti kenyataan yang sebenarnya terjadi”.
“Selama ini mbakyu telah dibutakan oleh kepercayaan yang berlebihan, sehingga menganggap segala keterangan yang diterimanya dari orang lain hanya dianggap sebagai keterangan ngayawara tidak berdasar”.
“Jika aku terlambat, maka mbakyu akan semakin menganggap aku sebagai seorang pembual. Dan ini adalah usaha kali ketigaku untuk membuktikan kepada mbakyu, sebab yang dua kali beberapa waktu yang lalu aku telah gagal karena kebodohanku yang terlambat untuk segera bertindak”.
Setelah beberapa saat masih sempat ngudarasa sembari melepas lelahnya dan memperbaiki pernafasannya yang terengah-engah, perempuan muda itu segera melarikan kakinya kembali ke tempat tujuannya.
Sebagai perempuan yang pernah mengenal kawruh kanuragan sebatas kulitnya saja, tentu adalah sebuah pekerjaan yang cukup berat jika harus berlari beberapa ratus tombak, untuk menuju tempat yang berbeda padukuhan.
Tubuhnya yang tampak masih kotor, setelah kepulangannya dari pekerjaan di pategalan dan belum sempat membersihkan diri di pakiwan. Tetapi hal tersebut tidak diperhatikannya lagi, sebab ada keperluan yang jauh lebih penting.
Yang ada di kepalanya hanya, bagaimanakah caranya agar dirinya dapat sesegera mungkin tiba di tempat tujuan dengan keperluan yang dianggapnya sangat penting tersebut.
Halaman 3 - 4
Meskipun sebenarnya hal itu bukanlah kepentingannya, namun kepeduliannya sebagai orang yang merasa sangat dekat dengan orang yang bersangkutan, membuat itu penting pula baginya.
Apalagi dalam beberapa waktu yang lalu, dia sudah gagal dua kali dalam usaha yang sama, sehingga membuatnya merasa semakin menggebu-gebu untuk membuktikan bahwa ucapannya itu benar.
Dengan demikian dirinya harus berkejaran dengan waktu yang sangat sempit, maka dari itu dirinya sudah tidak memperdulikan lagi seandainya hujan akan turun dengan lebatnya disertai petir yang menyambar-nyambar di hadapannya.
Sebab yang ada di isi kepalanya sekarang hanyalah bagaimana caranya agar segera bertemu dengan orang yang dicarinya, lalu menunjukkan apa yang telah dilihatnya.
Sementara ada satu dua orang yang masih melihatnya merasa heran melihat perempuan muda itu begitu tergesa-gesa, dan bersikap acuh saja ketika mereka sempat saling melihat.
“Kenapa dengan anak itu? tidak seperti biasanya dia bersikap seperti itu”. membatin seorang laki-laki yang sudah lebih dari paruh baya, yang kebetulan sedang arah pulang dari pekerjaannya.
Namun orang tua itu kemudian tidak memperdulikannya lagi ketika perempuan muda itu sudah semakin jauh berlalu dari hadapannya, dan menghilang di balik sebuah rumah.
Sementara gerimis sudah mulai turun disertai sesekali angin yang berhembus cukup kencang, dibarengi kilat dan petir yang menjadi semakin sering terdengar.
“Mbakyu… mbakyu… “. ucap perempuan muda itu dengan suara setengah berteriak.
Hatinya yang sudah tidak dapat menahan diri, telah membuatnya untuk sementara waktu telah melupakan segala subhasita ketika berkunjung ke rumah orang lain.
Namun rumah yang dituju, yang tampak tertutup rapat itu masih terlihat sepi dan tidak terdengar ada jawaban apapun dari dalam.
“Apakah tidak ada orang?”. tanyanya dalam hati.
Sembari semakin mempercepat langkah kakinya, perempuan muda itu akhirnya tiba pula di depan pintu rumah yang dituju dengan nafas tersengal-sengal.
Dengan terpaksa dirinya harus mengatur pernafasannnya lebih dulu sebelum membuka kembali mulutnya untuk memanggil orang yang dicarinya, sembari kedua tangan memegangi kedua sisi pinggangnya.
“Mbakyu… mbakyu Yastini?”. teriak perempuan muda itu sembari mengetuk-ngetuk pintu di hadapannya yang tertutup dan diselarak dari dalam, sembari dengan nafas yang masih berkejaran.
“Tunggu”. terdengar suara perempuan dari dalam menyahut.
Perempuan yang baru saja datang, yang tadinya sempat berpikir di rumah itu tidak ada orang menjadi sangat lega, seakan disiram banyu sewindu.
Lalu terdengar suara langkah kaki menuju pintu, tidak lama kemudian pintu itu terbuka dan muncullah seorang perempuan yang berumur sekitar tiga puluh warsa.
“Ada apa Warti? sepertinya ada sesuatu yang sangat penting?”.
“Sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan, sebaiknya Mbakyu ikut denganku sekarang”.
“Sebenarnya ada apa, Warti?”.
Warti tidak menyahut, tetapi tangan kanannya segera meraih tangan orang yang berdiri di hadapannya tersebut untuk diajaknya ke suatu tempat.
Halaman 5 - 6
“Kita akan kemana? apa kau tidak lihat jika hujan sudah mulai turun dengan lebatnya?”.
“Jika tidak sekarang, maka kita akan kehilangan kesempatan”.
“Sebenarnya ada apa, Warti?”.
Yastini semakin merasa kebingungan dan penuh tanda tanya dengan apa yang telah dilakukan oleh kawannya tersebut, namun anehnya dia seakan tidak mampu untuk menolak tarikan tangan dari kawan baiknya itu.
“Mbakyu nanti akan tahu sendiri”.
“Kau jangan membuatku semakin bingung”.
“Makanya kita harus segera sampai, agar Mbakyu Yastini tidak menjadi semakin kebingungan”. sahut Warti sembari menarik tangan kawannya dan terus berjalan dibawah guyuran hujan yang semakin lebat.
“Lalu kita akan kemana sekarang?”.
“Padukuhan Kalangan”.
“He… ada apa di Padukuhan Kalangan?”.
Warti yang mendapat pertanyaan yang hampir sama sejak tadi ternyata benar-benar tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi maksudnya.
Hanya tangannya saja yang terus memegangi dan menarik tangan Yastini yang semakin kebingungan, tapi entah kenapa dirinya seakan tidak menolak apa yang dilakukan kawannya tersebut.
Di bawah guyuran hujan yang semakin lebat, kilat dan petir yang semakin sering meledak-ledak di luasnya angkasa yang seakan sedang mengamuk.
Kedua perempuan itu harus menyingkap kain panjangnya, agar dapat melangkah lebih cepat, selain itu agar kaki mereka lebih leluasa dalam melangkah di jalan yang naik turun dan cukup rumpil di sepanjang jalan padukuhan.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, akhirnya mereka sampai pula di tempat yang dituju dengan tubuh yang basah kuyup dan mulai merasa kedinginan.
Di sebuah rumah yang cukup sederhana yang terbuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu, di sebuah padukuhan kecil yang berada di tanah berbukit-bukit kecil.
Namun ketika akan memasuki rumah itu, Warti segera memberikan isyarat kepada Yastini dengan menempelkan jari manisnya di depan bibir.
Dan Warti pun segera menarik tangan kawannya itu melalui jalan samping rumah, bukan melalui pintu depan layaknya seorang tamu yang berkunjung ke tempat orang lain.
Dengan langkah sedikit mengendap-endap, Warti mengajak untuk mendekati sebuah jendela yang terbuat papan kayu sengon yang terlihat sudah mulai usang.
Tetapi beruntunglah bahwa langkah kaki mereka sedikit tersamarkan oleh suara lebatnya hujan yang masih saja mengguyur Padukuhan Kalangan.
Kini mereka telah berada di hadapan jendela yang terlihat tertutup rapat dan sepertinya memang telah diselarak dari dalam oleh pemiliknya.
Apa yang dilakukan kemudian oleh warti yang begitu tiba-tiba, benar-benar membuat Yastini terkejut dan penuh tanda tanya dalam isi kepalanya.
Namun belum hilang rasa terkejutnya, Yastini kembali dikejutkan oleh hal lain yang benar-benar tidak pernah diduga sebelumnya oleh perempuan yang berumur sekitar dua puluh tiga warsa tersebut di hadapan matanya.
Halaman 7 - 8
“Kakang”.
Terdengar suara Yastini yang terpekik, dan dalam waktu yang hampir bersamaan, terdengar suara petir meledak yang seakan hanya berjarak beberapa tombak di atas mereka.
Karena saking bingungnya dia harus berbuat apa setelah melihat semua itu dengan mata kepalanya sendiri, sejenak Yastini hanya dapat berdiri mematung di bawah guyuran hujan lebat.
Sementara orang yang berada di dalam bilik yang jendelanya dibuka paksa oleh Warti, tidak kalah terkejutnya. Sebab mereka pun tidak pernah menduga akan kedatangan tamu yang tidak diundang pada saat hujan turun dengan lebatnya.
“Yastini”. pekik seorang laki-laki yang sangat terkejut dan penuh kebingungan.
Hanya itu yang mampu diucapkan dari mulut seorang laki-laki berumur sekitar dua puluh tujuh warsa yang sedang tertangkap basah kelakuan busuknya oleh istrinya sendiri.
Karena dirinya kini berada di dalam bilik dan sedang bersama seorang perempuan yang dengan serta merta menutupi tubuhnya dengan kain panjang setelah jendela bilik mereka didobrak.
Wajah kedua orang yang tertangkap basah itu antara terkejut, malu, dan bingung harus berbuat apa untuk membela diri atas apa yang sudah mereka lakukan.
Sebuah hubungan terlarang yang seharusnya tidak pernah mereka lakukan, apapun alasannya. Tetapi pada kenyataannya semua itu telah terjadi.
Kini nasi sudah menjadi bubur, dan bubur itu mustahil sekali jika dapat dijadikan nasi kembali. Meski bagaimanapun sakitnya hati seorang Yastini, namun dirinya harus dapat menerima kenyataan itu dengan hati yang sangat terluka dan hancur berkeping-keping seketika itu pula.
Seketika penalaran Yastini menjadi gelap, kedua tangannya menutupi seluruh wajahnya yang masih saja terguyur lebatnya hujan di Padukuhan Kalangan tersebut.
Sementara laki-laki itu sejenak kemudian seakan tersadar, lalu segera berusaha membenahi pakaiannya yang tadi dilemparkan entah kemana.
Dengan tergesa-gesa dia memperbaiki pakaiannya, dan tidak berkata apa-apa lagi. Lalu segera menghampiri istrinya yang berada di luar rumah bersama Warti.
“Maafkan aku Yastini, aku tidak bermaksud melakukan semua ini”. berkata laki-laki itu setelah berada di depan istrinya dan berusaha meraih pundaknya.
“Jangan sentuh aku lagi”. bentak Yastini yang segera membuka kedua tangan yang menutupi wajah.
Dengan tatapan mata yang penuh kemarahan, dia memandang ke arah suaminya yang berusaha meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya.
“Ternyata seperti inilah pembalasan Kakang atas segala cinta dan kepercayaan yang aku berikan selama ini?”.
“Aku minta maaf, aku memang gelap mata. Tetapi aku sama sekali tidak pernah bermaksud menyakitimu”.
“Seperti inikah sikap Kakang sebagai seorang laki-laki?”.
“Aku minta maaf Yastini, aku benar-benar minta maaf atas kebodohanku ini. Aku berjanji bahwa aku siap menerima apapun hukuman darimu, akan aku terima dengan senang hati”.
“Apakah Kakang lupa akan janji Kakang sendiri? janji Kakang kepada ayahku ketika akan melamarku dulu? apakah itu hanya janji seorang pembual, yang dapat berkata apa saja agar keinginannya kasembadan, tetapi setelah itu dengan mudahnya dilupakan seperti tidak pernah terjadi apa-apa?”.
Halaman 9 - 10
“Yastini…”.
“Kakang mau membela diri apa lagi? selama ini aku berusaha mempercayai Kakang dengan sepenuh hatiku, meski aku sudah sering mendengar laporan dari orang-orang tentang tindak-tanduk yang Kakang lakukan”.
“Bahkan tidak sekali dua kali aku memarahi mereka yang berusaha ingin menunjukkan kebusukan Kakang ini, sekarang dengan mudahnya Kakang berkata tidak bermaksud melakukan tindakan terkutuk itu? dan Kakang bilang sedang gelap mata?”.
Laki-laki itu hanya dapat terdiam mendengar segala ucapan istrinya yang sedang meluapkan segala kemarahan yang ditujukan kepadanya di bawah guyuran air hujan dan disertai petir yang masih saja meledak-ledak di udara.
“Yastini, aku minta maaf. Aku siap menerima hukuman darimu asal kau mau memaafkan aku”. berkata laki-laki itu sembari berlutut di depan istrinya.
Sementara Yastini menatap tajam dengan penuh kemarahan ke arah suaminya tersebut, sejenak dirinya hanya dapat terdiam karena bingung harus berkata apa lagi.
“Jika Kakang memang jantan, lawan aku dalam perang tanding”.
“Yastini”. pekik laki-laki itu terkejut dan tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya.
“Bukankah tadi Kakang bilang, bahwa siap menerima hukuman apapun dariku?”.
“Kau benar, tapi bukankah dengan berperang tanding aku akan dapat menyakitimu pula? dan itu yang aku tidak mau”.
“Bukankah Kakang sudah menyakitiku? lalu apa susahnya bagi Kakang jika menyakitiku lagi?”.
“Tetapi aku tidak ingin menyakitimu untuk kedua kalinya”.
“Kakang itu seorang laki-laki, tidak sepantasnya Kakang bersikap seperti ini. Merengek-rengek seperti anak kecil yang takut mempertanggung jawabkan kesalahannya sendiri”.
“Terserah kau mau menyebut apa saja tentangku, tetapi aku tidak ingin menyakitimu untuk kedua kalinya”.
“Kakang menyakitiku sekali atau lebih, sama saja artinya. Karena apa yang telah lakukan ini adalah tindakan terkutuk yang tidak dapat aku maafkan”.
“Aku minta maaf Yastini, aku benar-benar minta maaf”.
“Bangkitlah! dan lawanlah aku!”.
“Tidak Yastini, aku tidak ingin melawanmu”.
“Bangkitlah Kakang!”. bentak Yastini mulai marah.
“Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum kau memaafkan aku”.
“Kakang jangan jadi laki-laki cengeng, bangkit dan lawanlah aku dalam perang tanding”.
“Tidak… aku tidak mau”.
“Bersiaplah Kakang, kau jangan menjadi laki-laki pengecut”.
“Tidak, aku tidak ingin melawanmu”.
“Apakah sekarang Kakang telah menjadi seorang pengecut? mana sikap jantan yang selama ini Kakang gembar-gemborkan? apakah Kakang hanyalah seorang pembual?”.
Kali ini suami Yastini benar-benar tidak dapat berkata-kata, meski hanya untuk sekedar menanggapi. Sebab dirinya sadar, bahwa saat itu dia berada di posisi yang salah.
Rasa sakit hati dan kemarahan yang mendalam kepada suaminya, sepertinya benar-benar sudah tidak dapat ditahan lagi oleh Yastini yang terkenal berwatak keras.
Halaman 11 - 12
Sebab apa yang telah dilakukan oleh suaminya itu, baginya sudah merambah ke pengkhianatan terhadap sebuah ikatan janji sakral yang telah mereka sepakati dengan penuh kesadaran nalar dan hati.
Dengan disaksikan oleh perwakilan dari keluarga masing-masing, sehingga jika suatu saat terjadi perkara diantara keduanya, terutama yang disebabkan oleh salah satu pihak berkhianat. Maka masalah tidak menjadi sesederhana itu.
Karena biar bagaimanapun akan menyangkut harga diri keluarga masing-masing, apalagi jika pihak yang merasa dirugikan tidak dapat menerima begitu saja. Maka perkara dapat menjadi semakin panjang untuk mencari penyelesaian.
Sebab ada pula keluarga yang memiliki harga diri tinggi, sehingga jika mendapati masalah yang demikian, menganggap semua itu sama saja artinya dengan sebuah penghinaan.
“Kenapa tiba-tiba Kakang menjadi seorang pengecut? orang yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri. Bukankan Kakang tahu, bahwa aku paling benci dengan seorang pengecut, dalam hal apapun?”.
“Aku minta maaf, Yastini. Dan aku siap mempertanggung jawabkan apa yang telah aku perbuat ini, tapi jangan kau minta aku untuk berperang tanding melawanmu”.
“Kakang tidak memiliki pilihan lain, pilihan yang dapat Kakang pilih adalah hanya mau atau tidak”. sahut Yastini dengan tatapan mata tajam penuh kemarahan.
“Jika itu pilihannya, aku tidak mau”.
“Sekarang terserah kepada Kakang, melawan atau tidak melawan maka aku akan tetap akan menyerang Kakang”.
Mendengar ucapan istrinya, laki-laki tersebut menyempatkan diri untuk memandang ke arah istrinya yang sepertinya tidak main-main dengan semua ucapannya.
Sementara Warti, sebagai kawan dari keduanya di hatinya yang paling dalam sebenarnya tidak menginginkan semua itu terjadi, tetapi jika mengingat apa yang telah dilakukan oleh kawan laki-lakinya tersebut, dirinya ikut sakit hati dan marah.
Namun apa yang terjadi telah diduganya dari waktu sebelumnya. Dan menurutnya, jika sudah terjadi demikian maka dirinya pun sudah tidak berhak untuk ikut campur.
Meskipun dirinya sudah berkawan cukup lama dengan keduanya, terutama kawan laki-lakinya. Namun untuk urusan tersebut, dirinya sudah tidak berhak untuk cawe-cawe.
Biarlah mereka selesaikan sendiri urusan mereka dengan cara yang mereka kehendaki, lagi pula orang lain memang tidak seharusnya ikut cawe-cawe urusan rumah tangga dari keduanya.
Sejenak kemudian, Yastini pun segera menyingkap kain panjangnya, dan kini yang terlihat adalah pakaian khususnya. Pakaian khusus layaknya seorang laki-laki yang akan memasuki sebuah pertempuran.
“Bersiaplah Kakang! aku akan tetap menyerangmu, melawan ataupun tidak melawan”. berkata Yastini dengan setengah berteriak kepada suaminya yang masih berdiri dengan kedua lututnya sejak beberapa saat tadi.
Namun laki-laki itu tidak menyahut dan tidak bergeming pula dari tempatnya, seakan dirinya sudah pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh istrinya.
Sebab dirinya menyadari bahwa sebagai orang yang dalam posisi bersalah, sehingga dirinya tidak ingin memperpanjang masalah dengan melawan istrinya yang sangat marah.
Dengan berjalan secara perlahan, Yastini mulai mendekati suaminya. Dan tiba-tiba dia menyerang dengan melayangkan kaki kanannya ke arah dada.
Halaman 13 - 14
Orang yang mendapatkan serangan, dengan serta merta terlempar beberapa langkah ke belakang dan menabrak dinding rumah yang terbuat dari kayu yang tampak sudah mulai usang.
Tak pelak, maka dinding itu pun jebol karenanya.
Meskipun Yastini adalah seorang perempuan, namun dia bukanlah perempuan kebanyakan. Bahkan dirinya adalah salah satu perempuan yang termasuk memiliki kemampuan tinggi di sekitar kademangan tempat tinggalnya.
Sebab sejak dirinya masih sangat muda, dirinya telah mendapat gemblengan yang sangat keras dari ayahnya yang kebetulan adalah orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan.
Mungkin itu pula yang ikut membentuk wataknya kemudian dan menjadikannya sebagai perempuan yang memiliki watak keras, bahkan lebih keras dari perempuan kebanyakan.
Namun sekeras-kerasnya watak seorang perempuan, dia tetaplah seorang perempuan yang tidak pernah dapat lepas dari kodratnya sebagai seorang perempuan.
Sementara suami Yastini yang terkapar setelah diterjang oleh serangan kaki istrinya dan punggungnya menabrak dinding tidak segera bangkit dan menyempatkan untuk memegangi dadanya yang memang terasa nyeri.
“Apakah sekarang Kakang hanyalah seorang laki-laki pengecut?”.
“Bukankah sudah aku katakan sejak tadi, bahwa aku tidak ingin melawanmu?”.
“Dasar pengecut”. sahut Yastini yang terlihat semakin marah, dan mulai mendekati suaminya.
“Bukankah dengan aku melawanmu, justru akan memperpanjang masalah ini?”.
“Tetapi Kakang tidak punya pilihan”.
“Aku mengaku salah, maka dari itu aku memilih untuk tidak melawanmu dan menerima apa saja perlakuanmu atasku. Agar masalah ini cepat selesai”.
“Laki-laki pengecut”.
Kemudian Yastini segera mendekati suaminya kembali, yang telah bangkit berdiri di atas kedua kakinya, tetapi kini telah dalam posisi memutar dan tidak lagi membelakangi dinding rumah yang telah jebol.
Kali ini tangan Yastini yang melayang menyerang ke arah kepala dari sisi kiri suaminya, dan ternyata laki-laki itu benar-benar tidak mau melawan.
Tak pelak, dirinya pun kembali terlempar ke arah samping. Namun kali ini tidak lagi menabrak dinding rumah, tetapi tebing kecil yang berada di sisi rumah.
Sehingga laki-laki itu tidak jatuh tersungkur karenanya, sebab masih tertahan oleh tebing kecil tersebut sembari menahan rasa nyeri pada tubuhnya yang semakin bertambah.
Namun sebagai orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan, rasa nyeri itu bukanlah sebuah masalah berat baginya. Sebab dirinya sudah sering merasakan rasa nyeri yang jauh lebih berat dari rasa nyeri yang kini sedang dirasakannya.
Sehingga rasa nyeri tersebut masih dapat ditahannya, selain rasa dingin yang mulai merasuki tubuhnya yang diguyur hujan yang masih turun dengan lebatnya dengan kilat dan petir yang masih sering meledak-ledak di luasnya langit yang terhampar.
Tetapi dengan suaminya yang sama sekali tidak berusaha melawan, justru membuat Yastini semakin marah. Hal itu dapat dilihat dari sorot matanya yang semakin menatap tajam dengan penuh kebencian.
“Dasar pengecut! dasar laki-laki tidak bertanggung jawab”.
Halaman 15 - 16
“Terserah apapun katamu atasku”.
“Iblis pun tidak sepengecut ini, seperti apa yang Kakang lakukan sekarang. Ternyata sikap jantan yang Kakang gembar-gemborkan selama ini tidak lebih dari ucapan seorang pembual belaka, dan ternyata Kakang lebih hina dari Iblis manapun juga sekarang”.
Laki-laki itu tidak dapat menanggapi apapun atas apa yang dikatakan oleh istrinya tersebut, sebab kini dirinya dalam posisi yang salah.
Dan jika dia menjawab pun, maka apapun jawabannya pasti akan tetap salah dimata istrinya yang sedang meluapkan segala rasa sakit hati dan kemarahannya terhadapnya.
Sejenak kemudian Yastini kembali menyerang suaminya dengan serangan bertubi-tubi untuk menumpahkan segala perasaan yang ada di hatinya.
Perempuan itu dapat berbuat demikian, sebab kali ini suaminya telah terpojok di tebing kecil di sisi rumah. Sehingga dirinya tidak akan terlempar karena sebuah serangan ataupun menghindar dari serangan yang bagaimanapun kerasnya.
Kini yang dapat dilakukan oleh laki-laki itu hanyalah melindungi sekitar wajahnya dengan kedua tangan yang dirapatkan di depan wajah guna dijadikan perisai.
Baginya… biarlah bagian tubuhnya yang lain menjadi sasaran amukan istrinya yang sedang marah, asalkan sekitar wajahnya masih sebisa mungkin dapat diselamatkan.
Karena jika sekitar kepalanya tidak diamankan, maka akan sangat berbahaya sekali jika nantinya terkena serangan, terutama jika ada serangan yang mematikan.
Sebab orang yang sedang marah, seringkali penalarannya tidak dapat berpikir dengan jernih. Dan dapat berbuat apa saja, bahkan dapat pula bertindak diluar dugaan.
Apalagi orang yang sedang diliputi kemarahan itu adalah orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan, sehingga akibatnya akan dapat lebih berbahaya jika dibandingkan dengan orang kebanyakan yang tidak memiliki bekal sama sekali.
Selama beberapa saat laki-laki itu hanya dapat pasrah dengan keadaan yang memaksanya untuk berbuat demikian, hingga akhirnya dirinya mulai terkulai lemah.
Serangan demi serangan yang datang bertubi-tubi dari istrinya dengan menggunakan tangan dan kakinya pada akhirnya tidak mampu ditahannya lagi.
Tubuh yang semakin banyak terdapat luka, bahkan kemudian dari sela-sela bibirnya mulai menitikkan warna merah, menandakan bahwa laki-laki tersebut mulai terluka tidak hanya luarnya saja, tetapi dalamnya pula.
Secara perlahan-lahan tubuh itu mulai terkulai lemah di tepi tebing kecil sebelah rumah, hingga akhirnya dia harus tersungkur di atas tanah yang dipenuhi air hujan.
Melihat keadaan yang demikian, seakan menyadarkan Yastini untuk segera menghentikan segala serangannya. Hanya matanyalah yang masih menatap tajam dan hampir tidak berkedip melihat keadaan suaminya.
Laki-laki itu memang telah terkulai lemah, tetapi masih tetap dalam kesadarannya yang utuh dan tidak pingsan meskipun keadaannya sudah lemah.
Kini Yastini hanya dapat diam tertegun melihat keadaan suaminya, berbagai macam penalaran datang begitu tiba-tiba terlintas dalam kepalanya.
Hati kecilnya pun mulai berbicara.
“Apa yang telah aku lakukan? mengapa aku dapat berbuat sejauh ini? mengapa aku begitu kejam kepada kakang Kambali?”.
Halaman 17 - 18
Hati kecilnya seakan telah menyalahkan apa yang telah diperbuat terhadap suaminya, tiba-tiba hatinya dipenuhi gejolak perasaan yang tidak dimengertinya.
Tiba-tiba saja telah terjadi perang batin di dalam hatinya yang membuatnya semakin terdiam. Tatapan matanya yang tadi dipenuhi kemarahan, kini mulai berubah.
Kini tatapan mata itu mulai meredup, dan seakan kini tubuhnya mulai melemah. Hingga tanpa sadar tubuh tersebut jatuh terduduk di bawah guyuran hujan yang masih lebat.
“Mbakyu… Mbakyu… “.
Terdengar suara Warti memanggil, sembari mendekati tubuh perempuan itu. Namun tidak mendapat tanggapan sama sekali karena keadaannya.
Warti yang tanggap, segera berusaha mendukung tubuh itu dari arah belakang, namun Yastini segera memberi isyarat agar tetap membiarkannya saja untuk sementara waktu.
Kini yang dapat dilakukan Warti hanyalah berdiri tertegun di belakang Yastini, dengan perasaan bingung atas apa yang sebaiknya akan diperbuatnya menghadapi semua itu.
Mau tidak mau, dirinya harus membiarkan kawan perempuannya tersebut untuk sementara waktu guna memperbaiki keadaan dan perasaannya yang pasti sedang bergejolak tidak karuan.
Yastini tiba-tiba terlihat menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangannya, dan dalam keadaan kediamannya. Kini hatinya benar-benar berkecamuk dengan hebatnya.
Kepepatan hatinya benar-benar telah memburamkan penalaran yang seharusnya dapat dipergunakan untuk mencari jalan yang paling baik dari masalah yang sedang dialaminya. Dengan demikian hanya kebingunganlah yang ada di isi kepalanya saat ini, setelah semua terjadi dengan begitu cepatnya.
“Mbakyu… Mbakyu Yastini”. berkata Warti dengan suara perlahan, yang sepertinya sudah tidak dapat menahan diri lagi.
“Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini, kita tidak dapat terus disini”. lanjut Warti sembari memegang kedua sisi pundak kawan yang sangat dihormatinya tersebut.
“Sebaiknya kita ke rumahku saja, sebab jaraknya lebih dekat. Nanti mbakyu dapat memakai pakaianku dulu sebagai pengganti pakaian Mbakyu yang basah kuyup ini”.
Yastini masih belum menanggapi, namun sepertinya dirinya tidak menolak ketika dirinya diajak bangkit untuk segera meninggalkan tempat itu.
Dengan perasaan yang masih berkecamuk tidak karuan, Yastini akhirnya secara perlahan mau bangkit dan berusaha meninggalkan tempat itu.
Ketika sudah berdiri, Yastini masih sempat memandang ke arah suaminya yang masih tergeletak lemah, namun masih dalam keadaan sadar. Hanya saja karena luka-lukanya, dirinya belum mampu bangkit berdiri.
“Mbakyu tidak perlu khawatir, biarlah nanti aku yang akan menyuruh seseorang untuk melaporkannya kepada mertuamu, agar kakang Kambali segera ada yang mengurusnya”. berkata Warti yang tanggap akan maksud kawannya tersebut.
Mendengar ucapan kawannya, Yastini tidak menjawab tetapi segera memalingkan wajahnya ke arah lain, lalu mulai berjalan meninggalkan tempat itu di waktu yang sudah gelap. Karena matahari telah terbenam sejak beberapa saat tadi.
Keduanya menuju rumah Warti, yang kebetulan tidak jauh dari tempat itu. Sebab masih berada di padukuhan yang sama, yaitu Padukuhan Kalangan.
Halaman 19 - 20
Di bawah guyuran hujan yang masih lebat, dan kilat pun masih sesekali terlihat menghiasi langit dibarengi petir yang masih saja belum berhenti meledak-ledak di angkasa.
Kedua perempuan itu melangkahkan kaki di jalan yang agak rumpil, apalagi ditambah dengan hujan yang membuat jalan setapak padukuhan menjadi semakin licin.
Namun karena pengenalan mereka yang begitu lama, terutama bagi Warti sebagai anak yang lahir dan besar di padukuhan tersebut, tidak membuat mereka kesulitan melintasi jalan itu meski di bawah gelapnya malam sekalipun.
Sebab Yastini bukanlah anak yang berasal dari daerah tersebut, tetapi dia berasal dari sebuah daerah yang jika ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih akan memakan waktu sekitar setengah hari, ke arah selatan dari padukuhan tersebut.
Yastini tinggal di daerah tersebut karena setelah menikah beberapa warsa yang lalu, dia mengikuti suaminya yang memang berasal dari daerah itu.
Kemudian dia hidup di sebuah padukuhan yang berada di sebuah bukit kecil, sehingga tampak di sekitar tempat itu tanah bertebing-tebing kecil. Selain itu, rumah di padukuhan itu pun masih terlihat jarang-jarang.
Setelah beberapa saat kedua perempuan itu berjalan menyusuri jalan setapak padukuhan, akhirnya mereka sampai pula di tempat yang dituju.
Sebuah rumah yang tidak begitu besar, dan terbuat dari kayu dan berdinding bambu yang dianyam sedemikian rupa adalah rumah Warti yang dihuni bersama keluarganya.
Dari sela-sela dinding bambu yang ada, sudah terlihat lampu minyak telah dinyalakan untuk menerangi seisi rumah, meskipun sinarnya pun tidak benar-benar terang namun cukup untuk menerangi seisi ruangan.
“Tok… tok… tok…”.
“Mbok aku pulang Mbok”. ucap Warti dengan setengah berteriak memberitahu penghuni rumah.
Terdengar Warti mengetuk pintu dari luar, karena pintu diselarak dari dalam, dan tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki telah mendekati pintu.
“He… ada apa Warti? apa yang telah terjadi?”. bertanya simboknya Warti yang sangat terkejut dan penuh kebingungan melihat keadaan mereka berdua.
“Nanti akan aku ceritakan, Mbok. Tapi sebaiknya kami mandi dan berganti pakaian dulu”. sahut Warti yang sudah kedinginan setelah beberapa lama hujan-hujanan.
“Ya sudah, segeralah kalian mandi, agar kalian tidak sakit karena kehujanan. Simbok akan siapkan minuman panas untuk kalian berdua agar tubuh kalian menjadi lebih hangat”.
Warti tidak menanggapi ucapan simboknya, tetapi justru dia berkata kepada Yastini. “sebaiknya Mbakyu dulu yang ke pakiwan, aku akan menyiapkan pakaian ganti untuk Mbakyu”.
Yastini hanya menjawab dengan sebuah anggukan kepala, dan sepertinya derasnya guyuran hujan telah menyamarkan wajahnya yang sebenarnya masih berlinang sisa-sisa air mata.
Setelah Warti menyiapkan pakaian ganti untuk Yastini, dia terlihat keluar lagi dari rumahnya. Namun tidak lama kemudian dia sudah terlihat kembali, hampir bersamaan dengan Yastini yang selesai dari pakiwan.
Setelah selesai mandi, Yastini tampak duduk di atas dingklik kayu di depan perapian dapur yang kebetulan digunakan untuk memasak oleh simboknya Warti, namun sudah hampir selesai.
“Minumlah wedang jahe dengan gula kelapa ini nduk, agar tubuhmu cepat hangat, aku baru saja selesai membuatnya”.
Halaman 21 - 22
“Terima kasih, Mbok”. sahut Yastini dengan suara perlahan.
Tetapi jawaban itu sempat membuat simboknya Warti cukup merasa heran, sebab perempuan yang berada di hadapannya tersebut adalah sosok yang periang, suka berkelakar, bicaranya pun sering ceplas-ceplos, meskipun terkadang keras kepala.
Namun Simboknya Warti berusaha menahan diri untuk tidak mempertanyakan. Tetapi di dalam hatinya yakin, pasti telah terjadi sesuatu yang telah mengguncang jiwanya.
Dengan perlahan, Yastini meraih wedang jahenya yang berada di atas amben bambu yang tidak begitu besar. Namun tidak segera diteguknya.
Sementara Warti yang telah selesai membersihkan diri, segera bergabung dengan mereka yang berada di dapur untuk membantu pekerjaan simboknya yang sedang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.
“Sebaiknya kita segera makan, dan tidak perlu menunggu kedatangan bapak dan kakangmu, Warti. Sebab tadi pagi sebelum berangkat mereka sudah berpesan, mungkin baru akan kembali besok setelah pekerjaannya selesai”.
“Baiklah kalau begitu. Marilah kita makan bersama-sama Mbakyu, tetapi hanya dengan seadanya”.
“Aku nanti saja, Warti”.
“Mbakyu Yastini sebaiknya makan, jangan siksa tubuh Mbakyu sendiri karena masalah itu”.
“Tapi aku tidak nafsu makan, Warti”.
“Apakah Mbakyu tidak berselera makan, karena hanya makan dengan rebusan daun ketela pohon, sambal kosek, dan ikan asin bakar?”.
“Kau jangan salah paham, Warti”.
“Mungkin Mbakyu tidak terbiasa makan, makanan yang seperti ini, jadi Mbakyu tidak berselera makan”.
“Tidak Warti, tidak seperti itu. Justru aku suka sekali makan dengan lauk seperti ini, dan di rumah pun aku sering makan, makanan seperti ini”.
“Jika demikian, sebaiknya Mbakyu tidak alasan untuk menolak untuk kami ajak makan disini”.
“Baiklah”. sahut Yastini pada akhirnya, setelah tidak dapat menolak lagi niat baik Warti dan simboknya tersebut.
Kemudian mereka bertiga pun segera memulai makannya, di atas amben bambu yang tidak begitu besar. Sehingga ketika mereka duduki bertiga dengan nasi dan lauk seadanya di tengahnya, seperti terlihat penuh.
Suapan demi suapan yang masuk ke dalam mulutnya, rupanya mampu melupakan masalah yang sedang dihadapi oleh Yastini untuk sementara waktu.
Meskipun makan dengan lauk seadanya, namun sedikit banyak mampu menggugah selera makan perempuan yang sedang dirundung masalah yang tidak ringan tersebut.
Setelah mereka semua menyelesaikan makan, Warti pun segera mempersilahkan Yastini untuk beristirahat di biliknya, meskipun masih di wayah sepi bocah.
Sebenarnya tubuh Yastini masih belum ingin beristirahat di bilik. Namun Warti yang melihat jika penalaran dan perasaannya yang masih terguncang, menyarankan lebih baik jika berada di dalam bilik.
Karena dalam kesendiriannya itu, mungkin saja akan dapat membantunya untuk mempercepat dia menemukan keseimbangan jiwanya setelah baru saja mengalami goncangan yang hebat.
“Jika Mbakyu membutuhkan sesuatu, panggil saja aku”.
Halaman 23 -24
“Terima kasih, Warti”. sahut Yastini perlahan, dengan wajah yang masih nampak lesu bersamaan dengan dirinya akan memasuki bilik milik kawannya tersebut.
*****
Sementara itu di waktu yang semakin gelap karena matahari telah tenggelam beberapa saat yang lalu dan hujan yang sepertinya sudah berangsur-angsur mereda dan tinggal gerimis saja.
Tampak beberapa orang dengan membawa oncor di tangan, telah berbondong-bondong menuju Padukuhan Kalangan setelah mendapatkan laporan dari seseorang bahwa, Kambali telah terluka. Tetapi dalam laporan itu tidak disebutkan apa penyebabnya Kambali hingga terluka.
Seorang yang berumur lebih dari paruh baya namun masih terlihat gagah dan dikawani beberapa orang, akhirnya dapat menemukan sosok yang mereka cari.
Karena memang, Kambali yang telah terluka itu belum beranjak sama sekali dari tempatnya setelah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari istrinya yang marah.
“Apa yang telah terjadi, Kambali?”. bertanya orang yang paling sepuh di antara mereka, setelah berjongkok di hadapannya.
Namun orang yang ditanya tidak menjawab. Selain karena terluka, tubuh yang sudah semakin menggigil kedinginan karena sekian lama kehujanan.
Hanya rintihan kesakitan saja yang terdengar dari mulut Kambali yang terluka tersebut, karena memang mulutnya kesakitan setelah tadi terkena pukulan istrinya.
“Maaf Kyai, sebaiknya kita segera bawa Kakang Kambali pulang saja, agar dia tidak semakin kedinginan”. berkata salah satu kawan orang tua itu memperingatkan.
“Baiklah, tolong bawa Kambali ke rumahku”.
Orang-orang yang datang tersebut memang telah telah mempersiapkan diri dengan membawa tandu, sebuah tandu yang terbuat dari kain yang ujungnya dikaitkan dengan potongan bambu. Memang sebuah tandu yang ala kadarnya namun cukup untuk membawa sosok tubuh yang mereka datangi.
Empat orang bertugas mengangkat tandu, dua orang membawa oncor bambu, sementara orang yang tadi dipanggil Kyai berjalan di barisan yang paling depan.
Mereka segera menyusuri jalan padukuhan yang terlihat sudah nampak sepi meski masih di wayah sepi bocah, di dinginnya malam yang masih gerimis dan gelap.
Bahkan hampir di sepanjang perjalanan, mereka jarang sekali berpapasan dengan orang yang berada di luar rumah, hingga akhirnya mereka tiba di rumah yang dituju.
“Kau kenapa Kambali? apa yang telah terjadi denganmu?”. sambut seorang perempuan yang lebih dari paruh baya dengan wajah kebingungan dan kegelisahan yang sangat, setelah membuka pintu rumahnya bagi orang-orang yang baru saja datang.
“Sebaiknya kau urus dulu anakmu itu, Nyi”. sahut orang yang tadi dipanggil dengan sebutan Kyai.
“Tapi kenapa dengan anakmu, Kyai?”.
“Akupun belum tahu, sebaiknya kita tanyakan kepadanya setelah kau urus dulu anakmu itu”.
Sementara Kambali yang kedatangannya ditandu oleh beberapa orang telah ditempatkan ke dalam sebuah gandok sebelah kiri, yang terdapat sebuah amben bambu dengan beralaskan tikar yang terbuat dari daun mendong.
Tanpa bertanya lagi, perempuan yang sudah berumur itu dengan segera merawat anaknya. Dari mengganti pakaiannya yang basah, hingga memberikan minuman hangat.
Halaman 25 -26
Dan ternyata setelah berada di dalam bilik yang diterangi oleh lampu minyak, terlihatlah luka-luka yang telah bersarang di sekujur tubuh Kambali.
Akibat serangan istrinya yang datang secara bertubi-tubi dalam meluapkan segala gejolak perasaannya penuh dengan kemarahan, setelah melihat apa yang dilakukan oleh suaminya.
Sebenarnya ibu Kambali tidak kuasa berdiam diri setelah melihat apa yang dialami oleh anaknya, namun dirinya harus menahan diri untuk itu. Sebab dia pun dapat melihat, bahwa anaknya belum dapat diajak bicara.
“Kyai… sebaiknya kau periksa dulu keadaan anakmu, apakah dia terluka dalam pula”. berkata ibu Kambali menghampiri suaminya di pendapa, setelah selesai merawat anaknya.
“Baiklah”. sahutnya, lalu segera beranjak dari tempat duduknya.
Setelah sampai di gandok tersebut, sang Kyai segera memeriksa keadaan anaknya. Karena kebetulan, dirinya serba sedikit pernah ngangsu kawruh pengobatan.
Diperiksanya dengan penuh kehati-hatian, sementara Kambali hanya bisa pasrah. Meski dirinya dapat bicara, namun lebih memilih bungkam karena keadaannya memang masih lemah.
Dalam pertimbangannya, jika dia sekali saja membuka suara, maka tentu kemudian dia akan mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi dari bapak dan ibunya atas apa yang telah terjadi.
Awalnya dia sempat berpikir untuk berusaha menutupi, namun sepertinya akan percuma saja. Karena tentu istri dan kawannya yang menjadi saksi apa yang terjadi, tentu sudah menceritakan kepada satu dua orang yang mereka temui.
Sehingga tidak ada gunanya lagi jika dia tidak jujur, meskipun mau tidak mau dia akan membuka kebusukan dirinya sendiri, tetapi apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur.
Setelah beberapa lama memeriksa, akhirnya Kyai itu segera keluar dari gandok tersebut, lalu bergabung kembali dengan orang-orang yang masih berada di pendapa rumahnya.
“Bagaimana Kyai? bagaimana dengan keadaan anakmu?”. bertanya istrinya tidak sabar.
“Setelah aku memeriksa keadaannya, sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena luka-luka yang bersarang di tubuh anakmu hanyalah sebatas luka luar saja, dan tidak ada luka dalam sama sekali”.
“Syukurlah. Lalu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan anakmu itu Kyai? kenapa dia hingga terluka?”.
“Aku pun belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, sebab orang dari Padukuhan Kalangan tadi hanya melaporkan kepadaku bahwa anakmu itu terluka, tapi tidak tahu menahu dengan apa yang sebenarnya terjadi”.
Ibu Kambali memang merasa kecewa dengan jawaban suaminya, namun dirinya sadar bahwa tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk dapat segera mengetahui apa yang ingin diketahuinya.
“Untuk lebih pastinya, sebaiknya kita tanyakan langsung kepada anakmu besok, Nyi”.
Selesai mendengar ucapan suaminya, ibu Kambali segera masuk ke ruang dalam dan meninggalkan orang-orang yang masih tetap berada di pendapa, guna membicarakan apa saja yang menarik bagi mereka semua.
*****
Sementara itu Yastini yang malam itu menginap di rumah Warti, meskipun tubuhnya telah direbahkan di amben, namun masih belum dapat segera memejamkan matanya. Penalaran dan hatinya masih saja belum dapat mengendap, setelah apa yang terjadi pada saat sore tadi.
Halaman 27 -28
“Kenapa kau begitu tega, Kakang?”. berkata Yastini di dalam hatinya, sembari dengan mata terpejam.
“Salahku apa? hingga Kakang begitu tega lakukan itu kepadaku? padahal aku sudah berusaha menjadi istri yang baik bagimu, apakah itu belum cukup bagimu?”.
Di dalam pembaringannya, hati Yastini masih bergejolak hanya dapat bertanya-tanya kepada diri sendiri tanpa dapat dijawabnya sendiri dengan perasaan yang semakin pilu.
Bahkan tanpa terasa dari kedua sudut matanya mulai basah, karena ada yang meleleh seiring dengan perasaannya yang semakin merasa sedih dan pilu.
Kini hatinya benar-benar merasa hancur, bagaikan sebuah kendi yang dibenturkan pada sebuah batu yang sangat keras, hancur berkeping-keping dan tidak akan mampu diperbaiki lagi dengan cara apapun juga.
Kenyataan bahwa suaminya dengan tega telah menyakiti hatinya yang selama ini begitu dia percayai dengan sepenuh hati, tidak pernah diduga akan berbuat demikian.
“Padahal dulu di hadapan bapak, Kakang Kambali berani berkata dengan lantang, “Kyai, jika aku diizinkan hidup bebrayan dengan Yastini, aku tidak akan menyakitinya baik lahir maupun batin. Jika aku menyakitinya, maka aku akan siap menanggung segala akibatnya”.
“Tapi sekarang apa?”.
Tanpa terasa air mata itu mengalir semakin deras, meskipun Siti Sundari tetap dalam keadaan mata yang terpejam dan tidak mengeluarkan suara isak tangis di dalam pembaringannya.
Tetapi menangis tanpa suara itu justru lebih menyesakkan dada karena sangat terasa sekali sakitnya hati oleh kesedihan, jika dibandingkan dengan menangis sembari dengan berteriak-teriak.
Setelah beberapa lama dirinya telah terlarut dalam kesedihannya seorang diri di dalam bilik, tiba-tiba terlintas sebuah pemikiran lain dalam penalarannya.
“Aku memang sudah berusaha menjadi istri yang baik bagi Kakang Kambali, tapi tetap saja aku belum dapat melakukan semua itu sepenuhnya, sebab aku belum mampu memberikan keturunan”.
“Pasti dia sangat kecewa sekali kepadaku yang sampai sekarang belum juga mampu memberikan keturunan kepadanya, sehingga dia melakukan semua ini kepadaku”.
“Meskipun aku pernah melahirkan seorang anak, tapi ternyata Yang Maha Agung memiliki kehendak lain, dan tidak menghendaki anak itu untuk aku asuh lebih lama lagi. Karena beberapa warsa yang lalu telah dipanggil-Nya kembali”.
Mengingat hal tersebut, semakin membuat hati Yastini merasa pilu dan seakan hatinya semakin tersayat-sayat setelah mengingat apa yang telah terjadi pada takdirnya.
“Seandainya saja Kakang Kambali bicara baik-baik kepadaku, meskipun dengan berat hati aku pasti akan merelakan, jika dia ingin meninggalkanku dan pergi dariku untuk mencari perempuan lain seperti yang didambakannya”.
“Tapi kenapa? tapi kenapa Kakang begitu tega sekali lakukan ini kepadaku? padahal selama ini aku sudah berusaha sedapat mungkin menjadi istri yang baik bagi Kakang”.
Dalam gejolak perasaan yang sangat mengguncang jiwanya, Yastini hingga kehabisan kata-kata di dalam hatinya untuk mengungkapkan segala keluh kesahnya yang masih belum dapat dicerna oleh penalarannya.
“Tapi kini aku sadar, bahwa aku bukanlah perempuan yang sempurna seperti perempuan lain. Tapi apakah dengan demikian aku pantas untuk diperlakukan seperti ini? apakah aku tidak pantas mendapatkan kebahagiaan yang aku dambakan?”.
Halaman 29 -30
Menyadari hal tersebut membuat hati Yastini semakin sakit tiada terkira, namun sakit itu tidak dapat terlihat oleh orang lain secara kewadagan.
Mungkin itulah yang dinamakan sakit tak berdarah, namun membawa akibat yang begitu luar biasa bagi siapapun orang mengalami hal demikian.
Dan sepertinya di luar rumah, hujan telah benar-benar reda, sementara rembulan di angkasa masih tampak malu-malu untuk menampakkan diri dari balik awan.
Sementara malam semakin malam, suasana pun terasa semakin sepi sunyi. Hanya terdengar suara beberapa kumpulan hewan malam saja dari kejauhan yang seakan ikut berusaha menghibur Yastini yang masih saja belum reda dengan kesedihannya.
Namun tetap saja kesedihan itu tidak dapat dengan mudahnya pergi begitu saja dari lubuk hatinya yang paling dalam setelah terluka terlalu dalam menghujam.
Entah luka itu akan dapat sembuh atau tidak, mungkin hanya waktu yang akan mampu menjawab di kemudian hari. Atau mungkin pula akan tetap bersemayam di dalam hatinya di sepanjang sisa akhir hayatnya.
Perang batin di dalam hati Yastini seakan tiada habisnya di malam itu, bahkan hingga beberapa saat malam telah melewati puncaknya. Karena dirinya masih saja terjaga ketika dari kejauhan terdengar ayam jantan berkokok pada saat dini hari.
Pada akhirnya tubuh itu pun tanpa terasa sudah terlelap begitu saja di sisa malam yang hanya tinggal ujungnya, pada saat semua sudah terdengar sepi sunyi.
Memang tidak dapat dipungkiri, jika seseorang sakit hati akan dapat mempengaruhi hampir seluruh tubuhnya, bahkan hingga hingga mampu mengganggu penalarannya. Dibandingkan jika orang itu hanya merasakan sakit secara kewadagan.
Meskipun terasa lambat, pada akhirnya pagi menjelang pula, dibarengi dengan suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan dari tempatnya masing-masing yang saling berjauhan.
Warti dan simboknya sudah terbangun, bahkan telah memulai pekerjaannya di dapur sejak beberapa saat tadi, sedangkan tamu mereka yang bermalam masih belum terlihat batang hidungnya keluar bilik.
Tetapi Warti dan simboknya dapat memaklumi, mungkin tamunya tersebut masih belum dapat menemukan keseimbangan jiwa setelah apa yang terjadi kepadanya.
Lagipula mereka tahu, seperti apakah tamunya tersebut. Karena jika tidak sedang mengalami hal yang demikian, dia bukanlah termasuk orang yang pemalas.
“Sepertinya mbakyu Yastini masih belum bangun, Mbok”. ucap Warti di sela-sela menanak nasi.
“Biarkan saja, Nduk. Pasti dia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri”. sahut simboknya yang sudah mendapat keterangan dari anaknya tentang apa yang telah terjadi terhadap tamu mereka.
“Simbok benar, semoga saja mbakyu Yastini tidak semakin terlarut dalam kesedihannya”.
Sementara itu Yastini yang semalam terlambat tidur, tiba-tiba terbangun dalam keadaan kebingungan. Penalarannya menangkap sesuatu yang aneh dan tidak biasa.
Setelah mengamati hampir seisi ruangan, dirinya baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Dan dirinya baru menyadari bahwa tidak sedang tidur di rumahnya sendiri.
Beberapa saat kemudian, ketika dirinya telah menemukan kesadaran penuhnya kembali, dengan segera dia bergegas keluar dari bilik.
Halaman 31 -32
“Maafkan aku jika bangun terlalu siang”. berkata Yastini setelah berada di dapur dan bergabung bersama para pemilik rumah dengan perasaan malu dan sungkan.
“Tidak apa-apa, kami dapat mengerti Yastini Jika kau memang merasa masih belum baik, istirahat saja dulu. Kau tidak perlu membantu pekerjaan kami”.
Mendengar jawaban dari simboknya Warti, Yastini sempat terkejut dan wajahnya pun sempat berubah, namun hanya sesaat. Sehingga tidak terlihat oleh orang lain.
“Oh… tidak Bibi, sekarang aku sudah lebih baik”. sahutnya dengan perasaan agak canggung.
“Syukurlah jika demikian”.
*****
Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, Kambali tampak telah terbangun dari tidurnya pada saat masih pagi-pagi sekali meskipun semalam tidak dapat tidur nyenyak karena rasa sakit pada tubuhnya.
Meskipun telah bangun, tetapi dia tidak beranjak dari gandok. Sebab rasa sakit di hampir sekujur tubuh, membuatnya masih berat untuk sekedar bangun.
Namun kedua orang tuanya yang sudah tidak dapat menahan diri lagi untuk mendapat keterangan, atas apa yang terjadi segera menghampirinya di gandok.
“Sebenarnya apa yang telah terjadi, Ngger? apakah kau bertemu dengan orang jahat, atau apa? sehingga dapat membuatmu menjadi seperti ini?”. bertanya ibu Kambali yang sudah tidak sabar setelah tiba di gandok.
Di pembaringannya, Kambali tidak segera menjawab. Sementara wajahnya nampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan dari ibunya tersebut.
“Kenapa kau diam saja, Kambali? bukankah kau bukan anak kecil lagi? yang akan menjadi kebingungan ketika harus berkata jujur pada saat ditanya bapak ibumu?”.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Kambali? dan kenapa sampai sekarang istrimu tidak menjenguk keadaanmu? bahkan berdasarkan laporan seorang cantrik yang aku utus kesana, katanya rumah itu kosong”. kali ini bapaknya lah yang bertanya dengan nada dalam dan penuh wibawa.
Sepertinya memang tidak ada kesempatan lagi bagi Kambali untuk menyembunyikan apa yang telah terjadi, meskipun dirinya tahu, tentu orang tuanya akan marah besar pula kepadanya setelah tahu duduk perkaranya.
Tetapi sekarang dia tidak memiliki pilihan lain, selain harus berkata jujur agar masalah tidak menjadi semakin runyam dan tambah panjang.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ngger?”. desak ibu Kambali yang sudah semakin tidak sabar.
“Bapak… Ibu…”. Kambali sempat terdiam lebih dahulu sebelum melanjutkan kata-katanya. “Sebenarnya aku….”.
Akhirnya Kambali menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya dengan jujur di hadapan kedua orang tuanya, meskipun dia menyadari akibatnya setelah itu.
Namun di dalam hatinya sudah bertekad untuk bersikap jantan dan akan mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya, meskipun nanti dirinya akan mengalami nasib yang jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan perlakuan istrinya.
“Apa?”. sahut ibu Kambali yang seakan di waktu yang bersamaan disengat ribuan tawon karena saking terkejutnya.
Dengan perasaan yang hampir tidak percaya atas apa yang telah didengarnya, perempuan yang sudah lebih dari paruh baya itu tiba-tiba menutup wajah dengan kedua tangannya yang sudah mulai terdapat keriput di beberapa bagian.
Halaman 33 - 34
“Beruntunglah kau masih diberi kesempatan untuk bernafas lebih lama lagi oleh istrimu, sehingga kau masih memiliki kesempatan untuk menyesali perbuatanmu. Padahal Yastini yang aku kenal adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi dan berwatak keras”.
“Bapak… Ibu… sekarang aku sadar jika aku telah melakukan kesalahan yang tidak termaafkan, tapi aku sudah bertekad untuk mempertanggung jawabkan semua ini, apapun akibatnya nanti yang akan aku terima, aku sudah pasrah”.
“Kau benar-benar telah mempermalukan orang tuamu, Kambali. Sama saja artinya kau telah melempari muka kami dengan kotoran yang paling busuk”.
“Bapak… Ibu… aku benar-benar minta maaf, atas kebodohanku ini. Dan aku terima dengan senang hati jika Bapak dan Ibu ingin menghukumku dengan hukuman apapun, bahkan hukuman yang paling berat sekalipun”.
Betapapun kemarahan yang melonjak-lonjak di dalam dadanya setelah mengetahui dengan pasti kelakuan anaknya. Namun sebagai orang tua, bapak Kambali masih berusaha menahan diri.
Dengan wajah yang kini menjadi merah padam, sebagai pertanda orang tua itu benar-benar berusaha menahan dirinya agar tidak kehilangan penalaran, orang tua lebih dari paruh baya itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
“Aku benar-benar merasa malu kepada Ki Demang Klampetan setelah kejadian ini, lalu apa yang dapat aku katakan kepada kawan baikku itu?”. berkata bapak Kambali sembari menunduk lesu.
“Bapak tidak perlu memikirkan itu, sebab aku sendiri yang akan pergi ke sana untuk meminta maaf dan siap menerima hukuman apapun dari Ki Demang Klampetan, bahkan aku sama sekali tidak keberatan jika harus ditebus dengan nyawaku sekalipun”.
“Kambali…”. sahut ibunya dengan suara terpekik, mendengar ucapan anaknya tersebut.
“Aku bukan anak kecil lagi, Ibu. Jadi aku tidak akan bersembunyi di balik punggung Bapak dan Ibu setelah melakukan kesalahan ini. Aku akan mempertanggung jawabkannya sendiri”.
Ibu Kambali tidak menyahut lagi, sembari dengan serta merta hanya dapat menutup wajahnya dan mulai terdengar isak tangisnya dengan suara sesunggukan.
“Anakmu sudah bukan anak kecil lagi, Nyi. Biarlah dia belajar bertanggung jawab atas perbuatannya, jadi tak perlu kau tangisi. Kita semua hanya dapat berharap, semoga saja masih ada pintu maaf dari Ki Demang Klampetan”.
Sejenak suasana di gandok itu menjadi sunyi, karena tidak ada yang membuka suara. Namun dari kejauhan sudah mulai terdengar sekumpulan burung berkicau memecah kesunyian.
“Namun jika tidak ada pintu maaf dari Ki Demang Klampetan, maka kita pun harus lilo legowo menerima kemarahannya. Karena biar bagaimanapun itu memang kesalahan anakmu sendiri, Nyi”.
Mendengar ucapan suaminya tersebut, suara tangis perempuan itu terdengar semakin keras sembari menutupi wajahnya. Sehingga membuatnya tidak dapat berkata-kata lagi.
“Setelah mendapat laporan dari cantrik yang aku utus, bahwa Yastini sudah tidak berada di rumahmu, Mungkin sekarang dia telah kembali ke Kademangan Klampetan. Agar masalah ini tidak semakin berlarut-larut, sebaiknya kau segera menyusulnya”.
“Aku juga berpikir demikian, Pak. Aku pun sangat ingin segera menyusulnya, tapi keadaan tubuhku ini tidak dapat aku paksa untuk segera pergi”.
“Lalu kapan kau dapat pergi kesana?”.
“Mungkin satu dua hari dari sekarang aku sudah dapat pergi”.
Halaman 35 -36
“Kau jangan terlalu lama menunda masalah ini, semakin cepat maka akan semakin baik. Agar masalah ini tidak berkembang semakin jauh, dan dapat menimbulkan masalah baru”.
“Aku mengerti”.
“Kau harus minta maaf kepada Yastini dan Ki Demang Klampetan. Tidak cukup hanya sebatas kau ucapan, namun harus benar-benar tulus secara lahir batinmu”.
“Baik Pak”.
“Aku hanya dapat berpesan kepadamu, setelah kau bertemu dengan mereka, sebisa mungkin kau perbaiki hubungan dengan istrimu. Tetapi jika dia tetap tidak dapat menerimamu kembali, apa boleh buat? kau tidak dapat memaksanya pula, tapi yang paling penting adalah kau sudah minta maaf dan siap menerima segala akibatnya di hadapan istrimu dan Ki Demang Klampetan”.
“Aku akan mengupayakannya”.
“Dan jangan lupa sampaikan pula salam dari kami, dan katakan kepada Ki Demang Klampetan bahwa aku benar-benar minta maaf atas apa yang telah terjadi karena kelalaianku”.
“Ini bukan kesalahan Bapak dan Ibu, tapi kesalahanku”.
“Katakan saja kepada Ki Demang Klampetan seperti apa yang aku katakan kepadamu, dan jangan kau tambahi ataupun kau kurangi sedikit pun”.
“Baik Pak”. sahut Kambali yang tidak berani lagi membantah ucapan bapaknya kali ini.
“Ya sudah, beristirahatlah dengan sebaik-baiknya agar kau segera sembuh”. ucap bapak Kambali, lalu meninggalkan tempat itu.
“Apakah kau ingin makan pagi sekarang, Ngger?”.
“Nanti saja Ibu”.
“Bukankah sejak kemarin kau belum makan?”.
“Benar Ibu, tapi nanti saja. Sebab mulutku masih terasa sakit untuk mengunyah makanan”.
“Apa perlu aku buatkan bubur halus untukmu?”.
“Untuk sementara memang sepertinya demikian, selama mulutku masih sakit”.
“Baiklah… Ibu akan segera membuatkannya untukmu”.
*****
Sementara di saat yang hampir bersamaan, Yastini sedang membaur dan berusaha membantu apa saja pekerjaan dapur Warti dan simboknya.
Meskipun dalam penalarannya sudah berusaha sejauh mungkin untuk segera melupakan apa yang telah terjadi, namun tetap saja hatinya tidak dapat dibohongi.
Sehingga membuatnya sesekali masih terlihat melamun, tetapi Warti dan simboknya yang melihatnya dapat memaklumi dan tidak berusaha mengganggunya.
Sebagai sesama perempuan, mereka dapat mengerti betapa hancur dan terpukulnya perasaan seorang perempuan yang diperlakukan seperti itu oleh suaminya, meskipun Warti sendiri belum pernah berpengalaman hidup berumah tangga.
Namun sebagai seorang perempuan yang telah beranjak semakin dewasa, dirinya sedikit banyak sudah dapat mengerti mana yang dapat dilakukan dan mana tidak boleh dilakukan dalam kehidupan rumah tangga.
Setelah beberapa lama, akhirnya pekerjaan mereka di dapur selesai pula. Lalu mereka lanjutkan dengan makan pagi, sebelum mereka memulai pekerjaan di sawah dan pategalan seperti yang biasa mereka lakukan sehari-hari.
Halaman 37 -38
“Setelah makan pagi, sebaiknya mbakyu kembali istirahat di bilikku”. ucap Warti di sela-sela mereka makan.
“Ah…”. terdengar Yastini yang hanya dapat menjawab dengan desahan dan wajah sedikit memerah.
“Mbakyu tidak perlu sungkan”.
“Kenapa aku diperlakukan seperti orang sakit?”.
“Aku tahu jika tubuhmu memang tidak sedang sakit, Yastini. Tetapi hatimulah yang masih sakit, dan agar sakit itu dapat segera sembuh, maka sebaiknya kau harus lebih banyak beristirahat”. sahut simboknya Warti ikut menimpali.
“Tetapi aku merasa, dengan semakin banyak aku berada di dalam kesendirian maka justru akan semakin mengingatkan aku akan kejadian kemarin”.
“Apakah Mbakyu Yastini ingin mengawani aku ke pategalan?”.
Orang yang ditanya hanya dapat terdiam, dalam penalarannya mulai menimbang-nimbang. Sebab dalam hatinya masih ragu dan bingung yang apa yang sebaiknya harus dilakukannya.
“Jangan Warti! justru nanti jika ada yang melihatnya, maka Yastini akan banyak mendapatkan pertanyaan. Dan semakin banyak orang yang melihatnya maka akan semakin banyak pula pertanyaan yang harus dijawabnya”.
“Simbok benar, aku hampir lupa akan hal itu”.
“Sebaiknya sekarang kau disini dulu saja, Yastini. Dan untuk sementara kau jangan keluar-keluar dulu dari rumah ini sebelum hatimu benar-benar lebih baik”.
Yastini yang mendengar semua itu, hanya dapat terdiam sembari menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dia lakukan. Namun dia sendiri tidak dapat segera menemukan jawaban yang sedang dicarinya tersebut.
“Apakah kau ragu dengan ucapanku, Yastini? sebab aku dan mertuamu masih memiliki ikatan saudara? sehingga kau akan berpikir bahwa aku akan memberitahukan keberadaanmu disini kepada Kyai Santan?”.
“Tidak Bibi, aku tidak pernah berpikiran demikian”.
“Meskipun kami masih saudara, bukan berarti aku akan selalu membela apapun yang keluarganya lakukan. Lagipula aku adalah orang tua yang dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar, dan mana pula yang pantas untuk dibela”.
“Justru aku yang minta maaf, sebab masalah yang sedang aku alami ini telah membuat Bibi dan keluarga disini harus ikut menerima akibatnya, dan barangkali merasa terganggu karena keberadaanku ini”.
“Kau tidak perlu minta maaf, Yastini. Itu bukan salahmu, justru kau sedang mendapat musibah. Dan yang jelas kami tidak pernah merasa terganggu karena keberadaanmu disini, justru kami merasa senang”.
“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Bibi sekeluarga”.
“Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, tetapi aku tidak dapat membantumu lebih jauh lagi. Meskipun sedekat apapun hubungan kita, aku tidak dapat mencampuri urusan rumah tanggamu, yang harus kalian selesaikan berdua”.
“Aku mengerti, Bibi”.
Sejenak suasana menjadi hening, karena terdiam di dalam penalarannya masing-masing, sembari ketiga perempuan itu berusaha menyelesaikan makan pagi yang sudah hampir selesai.
Yastini pun masih dalam kebingungannya sendiri, harus dengan cara yang bagaimana dia harus menyelesaikan masalah rumah tangganya yang sudah berada di ujung tanduk.
Halaman 39 - 40
Sebab sangat pantang baginya untuk dapat menerima kembali suaminya yang telah menyakiti hatinya, dan yang membuat hatinya semakin hancur adalah suaminya melakukan itu dengan perempuan yang masih saudara sepupunya.
“Sudahlah Yastini, sebaiknya kau memang beristirahat dulu disini, dan di dalam istirahatmu itu endapkanlah lahir dan batinmu. Jika kau sudah dapat melakukannya, barulah kau mengambil sikap atas masalahmu ini”.
“Benar apa yang dikatakan Simbok, sebaiknya Mbakyu istirahat dulu di rumah ini hingga dapat menemukan jalan keluar seperti yang Mbakyu Yastini inginkan”.
Yastini masih hanya terdiam tanpa kata mendengar ucapan dua perempuan yang ada di hadapannya, sebab penalarannya masih mempertimbangkan semua itu.
*****
Sementara itu di waktu yang hampir bersamaan di Kademangan Klampetan, tepatnya di rumah Ki Demang yang berada tidak jauh dari aliran sungai Kali Ombo.
Meskipun di pagi itu masih belum terlalu lama matahari terbit dari balik gunung, namun memaksa beberapa orang bebahu dan perwakilan orang-orang yang dituakan kademangan untuk datang dan membicarakan sesuatu yang sangat penting yang harus dirembug bersama, yang harus segera mereka diselesaikan.
Di sebuah rumah dengan pendapa yang cukup besar tersebut, di pagi itu hampir dipenuhi orang-orang yang datang dengan sumber masalah yang sama.
“Ki Demang, hujan deras yang turun sejak kemarin sore telah membuat aliran Kali Ombo ini meluap dengan dahsyatnya, sehingga membuat pategalan dan persawahan yang berada di sekitarnya, dan tidak lama lagi dapat dipanen hasilnya terbawa arus. Dan kejadian ini membuat para petani hanya dapat meratapi nasib buruknya”.
“Benar apa yang telah dikatakan oleh Ki Dukuh Lawang itu, Ki Demang. Akupun mendapat beberapa laporan dari petani yang mengalami kejadian yang sama, selain itu ada beberapa rumah yang hanyut pula karena banjir semalam. lalu bagaimanakah langkah kita untuk mengatasi hal ini, Ki Demang?”. berkata orang yang duduk di sebelah Ki Dukuh Lawang.
Ki Demang Klampetan tidak segera menjawab, berbagai pertimbangan hilir mudik di dalam kepalanya untuk disampaikan kepada para kawulanya.
“Sebenarnya kejadian ini bukan kali ini saja terjadi, bahkan sudah beberapa kali sejak aku dituakan disini. Dan sejak dulu aku sudah memperingatkan kepada kalian semua, agar sebaiknya menghindari untuk bertani di sepanjang aliran sungai Kali Ombo”.
“Ki Demang benar, tetapi para petani tidak memiliki pilihan lain. Sebab mereka tidak memiliki tanah garapan lain selain di tempat itu, tempat yang sering terkena banjir sungai Kali Ombo”.
“Memang sulit, sekarang kita sedang dihadapkan dengan perkara yang seakan serba salah. Karena biar bagaimanapun aku tidak dapat menyalahkan siapapun, dan aku mengerti bahwa para petani juga tidak memiliki pilihan yang lebih baik”.
Selesai berkata demikian, Ki Demang Klampetan hanya dapat terdiam karena masalah yang harus dihadapi, guna mencari jalan keluar dengan melihat segala pertimbangan yang baginya cukup membingungkan.
Namun pembicaraan itu harus terpotong, ketika seorang pembantu Ki Demang memasuki pendapa dengan membawa minuman hangat dan beberapa potong makanan.
“Silahkan Ki Sanak semua, mumpung masih hangat”. berkata Ki Demang Klampetan mempersilahkan kepada seluruh tamunya, ketika pembantunya mulai beranjak pergi.
“Terima kasih”. sahut mereka hampir bersamaan.
Halaman 41 -42
“Aliran sungai Kali Ombo yang bersumber dari Tuk Bening dan Sendang Prumpung ini memang pada dasarnya sudah menghasilkan air yang sangat banyak, atau bahkan melimpah. Ditambah lagi pada saat musim penghujan, maka tidak dapat kita pungkiri jika terjadi banjir di sepanjang aliran sungai ini”.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki Demang?”.
“Yang dapat kita lakukan sekarang ini adalah, kita bantu saudara saudara kita yang rumahnya hanyut terkena banjir semalam. Agar mereka tempat tinggal yang layak untuk sementara waktu”.
“Lalu bagaimanakah dengan para petani yang kehilangan hasil buminya, Ki Demang?”.
“Aku memiliki gagasan, bagaimana jika bagi yang memiliki harta lebih untuk menyisihkan sedikit hartanya guna membantu saudara saudara kita yang terkena musibah? dan nanti Ki Dukuh Lawang yang akan berkeliling untuk mengumpulkan sumbangan itu dibantu para pemuda?”.
Semua orang yang hadir menjadi saling pandang, tapi sejenak kemudian mereka pun mulai mengangguk perlahan sebagai tanda bahwa semua orang yang hadir sependapat dengan gagasan pepunden mereka yang sudah lebih dari paruh baya tersebut.
“Jika kalian semua sependapat, maka sebaiknya kita segera laksanakan rencana kita ini agar saudara saudara kita yang sedang kesusahan tidak semakin terhanyut ke dalam suasana”.
“Aku sependapat, marilah Ki Demang”.
“Maaf Ki Dukuh Lawang, aku akan menyusul kemudian sembari membawa bantuan ala kadarnya dari aku pribadi bersama beberapa pengawal”.
“Jika demikian kami mohon diri lebih dulu, Ki Demang”. sahut Ki Dukuh Lawang mewakili kawan-kawannya, setelah sebelumnya menghabiskan minuman hangat yang disuguhkan.
“Baiklah Ki Dukuh Lawang dan Ki Sanak Semua, aku akan segera menyusul”.
Sejenak kemudian orang-orang yang hadir pun segera beranjak dari tempat duduknya untuk melaksanakan tugas yang telah disepakati bersama.
Setelah semua tamunya berlalu, maka Ki Demang pun masuk ke ruang dalam untuk bersiap-siap pergi menyusul mereka yang sudah mendahuluinya.
“Apa yang terjadi, Ki ?”. bertanya Nyi Demang menyambut suaminya ketika memasuki ruang dalam.
Kemudian Ki Demang menjelaskan secara singkat apa yang dia bicarakan bersama tamunya di pendapa, dan langkah apa yang akan mereka lakukan.
“Aku jadi teringat akan cerita orang-orang tua dulu, tetapi entah itu hanyalah sekedar cerita ngayawara pengantar tidur atau memang ada kemungkinan dapat terjadi”.
“Memangnya apa yang kau ingat?”.
“Jika aku tidak salah ingat, sumber air yang berasal dari Tuk Bening itu sangat banyak, bahkan sangat melimpah. Dan jika itu terus dibiarkan, daerah yang berada di sekitar tempat ini maka secara perlahan-lahan akan tenggelam karenanya”.
Ki Demang tertegun mendengarkan cerita istrinya, meskipun itu belum dapat dibuktikan. Namun penalarannya mulai berpikir tentang kemungkinan tersebut.
“Apakah kau yakin, Nyi? bukankah kau tahu bahwa tempat ini adalah termasuk daerah yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya”.
“Bukankah tadi sudah aku katakan, bahwa aku sendiri pun tidak tahu bahwa ini cerita yang dapat terjadi, atau hanyalah sekedar cerita ngayawara yang tidak berdasar”.
Halaman 43 -44
“Ya… kau tadi sudah mengatakannya”.
“Tetapi masih ada kelanjutannya dari cerita itu”.
“Apa itu?”.
“Semua itu dapat dicegah jika sumber air yang sangat melimpah dari Tuk Bening itu ditutup dengan menggunakan sebuah benda pusaka, tetapi aku lupa namanya”.
“Memangnya kau mendengar semua itu dari siapa?”.
“Aku mendengar cerita itu pada saat masih kecil, dan seingatku orang-orang tua yang menyampaikan ceritanya pun semuanya telah tiada, karena mereka seumuran dengan kakek”.
“Mungkin itu hanyalah cerita ngayawara pengantar tidur, dari seorang kakek kepada cucunya”.
“Aku tidak tahu, benar atau tidaknya cerita itu. Sebab sampai sekarang pun belum ada buktinya, jadi anggap saja bahwa cerita itu hanya sekedar cerita pengantar tidur”.
“Sebaiknya aku segera bersiap-siap, agar tidak semakin ditunggu oleh banyak orang”. sahut Ki Demang yang berusaha mengakhiri pembicaraan.
“Tetapi entah mengapa sejak beberapa hari yang lalu, hatiku memang terasa kurang mapan. Mungkinkah itu sebagai pertanda kejadian ini?”.
“Mungkin saja, Nyi”.
“Tetapi kenapa hingga sekarang perasaan kurang mapan itu masih saja terasa, Ki ?”.
“Bukankah kau sendiri yang merasakannya? jadi aku tidak tahu, cobalah kau tanyakan pada dirimu sendiri”.
“Sejak beberapa hari yang lalu, di pikiranku sering terlintas anak perempuanmu, Ki”.
“He…?”.
“Kenapa kau menjadi sangat terkejut?”.
“Sebab aku pun merasakan hal yang sama, bahkan hatiku kadang berdesir jika teringat akan anak perempuanmu itu, Nyi. Tetapi kita tidak boleh berburuk sangka, marilah kita sama-sama nenuwun bagi kebaikan anak kita, Nyi”.
“Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindunginya, tetapi entah mengapa hati ini tetap saja tidak tenang. Aku seperti sedang meninggalkan anak kecil di pinggir jurang yang sangat dalam”.
“Aku mengerti, tetapi kita juga jangan sampai dibelenggu oleh perasaan yang belum jelas ujung pangkalnya. Sebab apa yang kita simpulkan ini hanyalah baru sebatas dugaan yang masih harus ditelusuri kebenarannya”.
“Ya… kau benar, Ki. Lalu apakah kita perlu mengirimkan utusan kesana? untuk memastikan keadaan anak kita?”.
Ki Demang Klampetan terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari istrinya tersebut, untuk mempertimbangkan apa yang sebaiknya untuk dilakukan.
“Aku rasa kita tunggu dulu dalam dua atau tiga hari ini, jika hati kita masih kurang mapan dan belum ada tanda-tanda anakmu itu pulang, maka aku akan mengirimkan utusan kesana”.
“Apakah tidak terlalu lama jika kita harus menunggu dua atau tiga hari lagi, Ki ? rasa-rasanya hatiku tidak sabar jika harus menunggu selama itu”.
“Bukankah kita tidak sedang dikejar waktu? sehingga kita harus tergesa-gesa untuk mengirim utusan?”.
Kali ini Nyi Demang yang menjadi terdiam.
“Baiklah… terserah kau saja, Ki. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan anakmu itu”. sahut Nyi Demang pada akhirnya.
Halaman 45 - 46
“Jika tidak ada lagi yang akan kita bicarakan, maka aku akan bersiap-siapa untuk melihat para korban banjir semalam. Selain itu aku akan membawa sedikit bantuan pula kepada mereka, dan semoga saja dapat sedikit mengurangi penderitaan mereka”.
“Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Jika kau memang ingin segera pergi, pergilah Ki. Dan semoga apa yang kau bawa dapat bermanfaat bagi mereka”.
*****
Sementara itu Yastini yang masih berada di rumah Warti kini dalam keadaan sendiri, sebab yang lain telah pergi guna melakukan pekerjaannya masing-masing.
Karena dapur telah sepi, dirinya kembali beristirahat di bilik Warti yang memang sedang diperuntukkan baginya selama dirinya menginap di rumah tersebut.
Yastini dengan perasaan malas dan sebenarnya sungkan jika hanya berbuat demikian ketika menginap di rumah orang lain, apalagi dia sendiri bukanlah seorang pemalas ketika berada di rumah sendiri.
Namun karena tidak ada pilihan, akhirnya dirinya pun hanya dapat merebahkan kembali tubuhnya di atas amben bambu yang tidak begitu besar.
Keberadaannya di rumah itu, selain dirinya memang berusaha mengistirahatkan lahir dan batinnya, dia pun sedang bersembunyi dari orang-orang sekitar.
Dan yang paling utama adalah untuk dapat sesegera mungkin menemukan jalan keluar yang paling baik bagi masalah rumah tangganya hingga tuntas.
Setelah beberapa saat dalam kesendirian, justru membuatnya kembali teringat akan masalah yang sedang menimpanya, tetapi dia sendiri masih bingung harus bagaimana cara menyelesaikannya.
“Apa kata Bapak dan Ibuku jika nanti aku tiba-tiba pulang ke rumah tanpa kehadiran kakang Kambali? pasti aku akan dicecar berbagai pertanyaan yang harus aku jawab”. membatin Yastini mulai menimbang-nimbang.
“Jika semua pertanyaan itu aku jawab dengan jujur, maka sama artinya aku membuka aib rumah tanggaku sendiri. Namun jika aku berbohong, suatu saat terbongkar oleh Bapak dan Ibu maka aku akan semakin malu”.
“Apalagi dulu Bapak sempat tidak mau merestui pernikahanku, karena berdasarkan neptu weton kami berdua setelah dihitung, sepertinya kurang cocok, dan jika membina rumah tangga pun tidak akan mampu bertahan lama. Tetapi karena dulu aku yang bersikukuh meminta, pada akhirnya Bapak mau merestui”.
“Mungkin dulu aku yang terbiasa grusah-grusuh tidak dapat berpikir panjang, dan tidak mau mendengarkan nasehat Bapak. bahkan pada saat itu aku menganggap bahwa kakang Kambali adalah sosok yang sangat baik secara rupa dan baik pula secara kepribadian”.
“Ternyata apa yang pernah dikatakan oleh Bapak dulu, sebelum aku menikah sekarang terbukti benar adanya, dan kini harus aku akui bahwa akulah yang salah. Dan ini semakin menambah rasa malu diriku terhadap keluarga, khususnya kepada Bapak”.
“Aku memang terlalu keras kepala jika memiliki sebuah gegayuhan yang belum kasembadan. Pasti aku akan berpikir agar gegayuhanku tersebut dapat segera kasembadan, bagaimanapun caranya tanpa berpikir lebih panjang lagi”.
“Sekarang yang dapat aku lakukan hanyalah menyesali semua kebodohanku itu sendiri. Seandainya saja pada waktu itu aku lebih menggunakan penalaran dari pada hati yang terbakar oleh panasnya api asmara, mungkin akan lain ceritanya”. ratap Yastini dalam pembaringannya.
Halaman 47 -48
Putri Ki Demang Klampetan itu tampak semakin banyak meneteskan air mata sebagai gambaran hati yang begitu pilu karena kejamnya asmara, dalam keadaan mata tertutup dan tanpa suara di pembaringannya.
Hatinya benar-benar bergejolak hebat dan seakan tidak dapat dikendalikannya sendiri agar berhenti untuk berperang batin mendapati kenyataan yang ada.
“Aku tidak dapat terus-menerus tinggal disini, apa kata orang-orang sekitar jika melihatku masih berada disini setelah apa yang terjadi dengan kakang Kambali? lagi pula jika mereka melihatku, aku pasti akan dicecar berbagai pertanyaan”.
“Tetapi jika aku pulang ke Kademangan Klampetan, tentu aku akan sangat mengejutkan Bapak dan Ibu. Apalagi jika mereka tahu apa yang telah terjadi dengan rumah tanggaku ini”.
Selesai berkata demikian di dalam hatinya, kini Yastini semakin terlarut di dalam kesedihan dan hanya dapat merasa semakin kebingungan atas apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Kini penalarannya menjadi tidak terarah dan semakin jauh kemana-mana karena hati yang terbelenggu oleh gejolak perasaan yang sakit karena penghianatan cinta tulusnya terhadap suami yang selama ini di bangga-banggakannya.
Karena saking terhanyutnya perasaan, Yastini hingga tidak menyadari sudah berapa lama dalam kesendirian di bilik yang tidak begitu besar tersebut.
Dan tiba-tiba pendengarannya dikejutkan oleh suara orang yang berbincang sembari berjalan, yang kebetulan melintasi jalan yang tidak jauh dari rumah tersebut.
Meskipun sekarang sedang dalam keadaan kalut sekalipun, namun sebagai orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan, Yastini tetap masih peka terhadap perkembangan keadaan di lingkungan sekitarnya.
Awalnya semua itu terdengar samar-samar, namun setelah dirinya memusatkan pendengarannya, maka suara itu menjadi sangat jelas baginya.
Selain memusatkan pendengarannya, maka dia pun berusaha menyamarkan pula keberadaannya di tempat itu sejauh apa yang dapat dilakukan.
Dari sumber suara langkah kaki yang wajar dan percakapan yang tertangkap oleh telinganya, sepertinya ada tiga orang laki-laki yang entah akan pergi ke sawah atau pategalan, guna menyelesaikan pekerjaan masing-masing.
Dalam perjalanan tersebut terdengar mereka sembari berbincang untuk memecah kesunyian suasana, dan kebetulan apa yang mereka bicarakan kali ini adalah sesuatu yang sangat menarik bagi mereka.
“Apakah kalian sudah mendengar kabar terbaru?”. bertanya salah satu dari mereka yang terlihat paling tua.
“Memangnya ada kabar apa, Kakang?”. sahut salah satu kawannya, sembari mereka terus berjalan.
“Tadi pagi aku mendengar kabar, bahwa kemarin sore Kambali tertangkap basah oleh istrinya sendiri ketika selingkuh dengan seorang gadis dari Padukuhan Kalangan ini”.
“He…”. keduanya sangat terkejut hampir bersamaan.
“Akupun sangat terkejut pula ketika pertama kali mendengar kabar ini, tetapi setelah aku mendengar ini tidak hanya dari satu dua orang, maka harus aku akui kebenarannya”.
“Justru aku baru sekarang mendengar kabar ini, lalu apa yang terjadi selanjutnya, Kakang?”.
“Yang aku dengar, Kambali dihajar habis-habisan oleh istrinya lalu ditinggalkan begitu saja”.
“Lalu… apakah yang terjadi selanjutnya, Kakang?”.
Halaman 49 - 50
“Berdasarkan kabar yang aku dengar, ada seseorang yang melaporkan kepada Kyai Santan tentang keadaan Kambali yang sudah terluka di rumah selingkuhannya itu”.
“Apakah Yastini masih ada di tempat, ketika Kyai Santan menjemput anaknya?”.
“Aku kurang tahu pasti, tapi sepertinya sudah tidak ada”.
“Mungkin Yastini langsung pulang ke rumah orang tuanya, di Kademangan Klampetan”.
“Mungkin saja, karena setelah kejadian itu Yastini sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya disini”.
“Aku tidak pernah menduga bahwa di dalam rumah tangga Kambali akan terjadi hal ini”.
“Aku yang mengenal sejak dia masih kecil, tidak benar-benar terkejut akan hal ini. Sebab sebelum menikah pun, dia sering mendekati perempuan secara berganti-ganti, meskipun aku sendiri tidak tahu sejauh apa hubungan itu. Tapi aku kira setelah dia menikah penyakitnya itu akan sembuh, ternyata tidak”.
Semakin lama pembicaraan itu terdengar semakin samar hingga menghilang bersamaan dengan ketiga orang tersebut berlalu semakin jauh dari tempat Yastini bersembunyi dan menguping hasil pembicaraan.
Namun menariknya adalah dengan melintasnya ketiga orang tersebut, secara tidak langsung telah menghentikan air matanya yang sejak tadi seakan tidak berhenti mengalir, sebab kejadian tersebut telah menyita perhatiannya sesaat.
Tiba-tiba di dalam isi kepalanya, timbul sebuah pemikiran baru yang semakin memantapkan sikapnya akan apa yang akan dilakukan olehnya kemudian.
“Sepertinya rumah tanggaku dengan kakang Kambali memang tidak dapat diperbaiki lagi”. katanya dalam hati.
“Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang?”. membatin Yastini sembari mengusap sisa-sisa air matanya.
“Setelah apa yang terjadi dengan rumah tanggaku, aku merasa sangat malu sekali jika harus kembali ke Kademangan Klampetan, terutama kepada Bapak. Lagipula sudah tidak sepantasnya jika segala apa yang aku alami, harus aku adukan kepada keluargaku”.
“Jika aku tidak kembali ke Kademangan Klampetan, lalu aku akan kemana? tapi aku tidak mungkin pula jika harus berlama-lama di Kademangan Kwarasan ini, sebab jika ada seseorang yang mengetahui keberadaanku disini maka akan menjadi gempar”.
Yastini semakin lama menjadi bingung sendiri, seakan dirinya sedang dikejar waktu untuk dapat segera mengambil keputusan yang paling baik bagi dirinya.
*****
Sementara itu di pategalan tempat Warti bekerja, matahari sudah tampak semakin jauh tergelincir di sisi barat. Sehingga sudah saatnya dia kembali.
Dan kebetulan hari itu Warti tidak bersama simboknya, sebab simboknya ada pekerjaan lain di sawah yang harus segera pula untuk diselesaikan.
Setelah membereskan segala peralatannya, maka dia segera bergegas meninggalkan tempat itu. Apa lagi selain sudah sore, langit tampak mulai mendung dengan begitu cepatnya.
Sehingga membuat Warti semakin mempercepat langkah kakinya yang sebenarnya sudah cukup lelah setelah seharian bekerja untuk menanam jagung dan cabai.
Namun jarak pategalan yang tidak jauh dari rumah, hanya berjarak tidak lebih dari dua ratus tombak, dan barang bawaan yang jauh lebih ringan jika dibandingkan pada saat berangkat, membuat kakinya seakan tidak ada beban.
Halaman 51 -52
Sesampainya di rumah, tidak lupa dirinya membersihkan diri dulu di pakiwan yang masih ada airnya di dalam penampungan sebuah gentong besar yang terbuat dari tanah liat, yang letaknya tidak jauh dari sumur.
Selesai membersihkan diri, Warti kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengganti pakaiannya, tetapi tidak untuk memasuki bilik pribadinya. Sebab dia masih ingat dengan pasti, bahwa ada seseorang di dalamnya.
Baru setelah selesai, dia kemudian mendekati biliknya dan mengetuknya dari luar secara perlahan, dengan maksud agar tidak mengejutkan orang yang di dalam jika seandainya sedang tidur.
“Tok… tok… tok…”.
“Mbakyu… Mbakyu Yastini…”. sapa Warti dengan suara perlahan.
Belum terdengar jawaban dari dalam, membuat Warti sempat ragu. Apakah mengetuknya lagi atau membiarkan dulu untuk sementara waktu. Sebab dia menduga, bahwa tamunya itu sedang tidur pulas dan takut mengganggu.
Setelah sejenak berpikir, dengan perasaan ragu akhirnya Warti meninggalkan pintu bilik dan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam sembari menunggu simboknya pulang dari sawah.
Tidak lama kemudian, terdengar simboknya Warti pulang dari sawah hampir bersamaan dengan hujan gerimis yang mulai turun dari hamparan langit yang luas.
“Apakah Yastini masih di kamarnya?”. bertanya simbok Warti ketika kepalanya baru saja memasuki dapur dari pintu belakang.
“Iya Mbok”.
“Apakah sudah coba kau tengok?”.
“Tadi saat aku baru saja datang, sudah coba aku panggil, tapi tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang tertidur”.
“Begitu rupanya? ya sudah kalau begitu, nanti kau panggil saja jika makan malam sudah siap”.
“Baik Mbok”.
Kemudian keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing untuk menyiapkan makan malam pada saat di luar rumah yang tadi hanya sekedar gerimis, kini semakin lebat.
“Bukankah di petarangan ada telur, nduk?”. bertanya simbok Warti tiba-tiba.
“Benar Mbok, memangnya kenapa?”.
“Kau ambillah beberapa untuk digoreng, agar nanti lebih pantas untuk dihidangkan”.
“Baik Mbok”.
Kemudian Warti mengambil telur itu dari petarangan ayam yang berada di kandang yang berada di belakang dapur, yang atapnya terpisah sedikit jarak.
Tidak lama kemudian makan malam pun telah siap untuk dihidangkan dan dinikmati bersama. Maka Warti pun segera ke bilik untuk memanggil Yastini untuk makan malam bersama.
Dengan perlahan-lahan dia pun mengetuk pintu bilik itu dari luar dengan maksud agar tidak membuat tamu yang menginap itu terkejut.
“Tok… tok… tok…”.
“Mbakyu… Mbakyu Yastini… makan dulu”.
Setelah sejenak menunggu, belum ada jawaban dari dalam. Lalu Warti mengetuk kembali untuk kedua kalinya dengan suara ketukan dan panggilan yang lebih keras.
Namun masih belum ada jawaban juga dari dalam, sehingga membuat Warti sempat menegang sesaat. Lalu diulanginya sekali lagi dengan suara yang lebih keras untuk meyakinkan apa yang sebenarnya terjadi.
Halaman 53 -54
Namun setelah sejenak menunggu masih saja tidak ada jawaban dari dalam yang membuatnya menjadi penuh tanda tanya dan semakin penasaran.
Tanpa pikir panjang, Warti mencoba mendorong pintu itu dari luar dengan sedikit kuat, tapi ternyata pintu itu tidak diselarak dari dalam sehingga langsung dapat terbuka.
Betapa terkejutnya Warti setelah mengetahui bahwa biliknya telah kosong, tetapi dalam keadaan rapi. Bahkan pakaian miliknya yang kemarin dipinjamkan kepada Yastini tampak tergantung pula di salah satu sudut ruangan.
“He…”.
Terdengar suara Warti yang terpekik setelah pintu bilik terbuka, yang membuat simboknya terkejut pula. Lalu segera menghampiri anaknya tersebut.
“Ada apa, Nduk?”. bertanya simboknya setelah tiba di depan pintu bilik Warti.
“Mbakyu Yastini, Mbok. Mbakyu Yastini tidak ada”.
“Oh… mungkin dia kembali ke Kademangan Klampetan”. sahut mboknya Warti setelah menyadari bahwa pakaian anaknya yang kemarin dipinjamkan sudah digantung di salah satu sudut ruangan.
“Kenapa dia tidak pamit kepada kita, Mbok? apakah salah kita? apa kita telah memperlakukannya dengan tidak baik?”.
“Kau jangan terlalu berprasangka, mungkin saja dia tergesa-gesa. Sehingga tidak sempat menemui kita meskipun hanya sekedar untuk berpamitan”.
Warti yang mendengar ucapan simboknya hanya dapat terdiam dan tertegun di tempatnya berdiri untuk beberapa saat, namun di dalam hatinya seakan belum dapat percaya dengan apa yang telah terjadi tersebut.
“Sudahlah Nduk, sebaiknya kita makan dulu agar makanan itu tidak keburu dingin”.
Warti tidak menyahut ucapan simboknya, namun kakinya mulai melangkah keluar bilik untuk mengikutinya ke tempat makanan itu telah dihidangkan.
Entah mengapa hati Warti menjadi kurang mapan setelah kepergian Yastini yang tanpa pamit, wajahnya pun kini tampak lesu dan tidak terlihat gairah sama sekali.
“Sudahlah Nduk, tak usak kau pikirkan lagi Yastini. Lagipula dia adalah perempuan yang perkasa dan berilmu tinggi, tentu dia dapat menjaga dirinya sendiri”. ucap simboknya Warti ketika mereka sudah menikmati makan malam.
“Simbok benar, tapi entah mengapa hatiku menjadi kurang mapan setelah kepergian mbakyu Yastini. Meskipun tidak ada hubungan darah di antara kami, namun kedekatan kami yang sudah cukup lama membuatku merasa seperti saudara sendiri”.
“Simbok mengerti, tapi kau harus mengerti pula bahwa kau dan Yastini adalah dua orang yang berbeda, dan kalian memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Sehingga kalian tidak dapat terus selalu bersama-sama”.
“Aku mengerti itu, Mbok. Tapi yang mengusik hatiku adalah kepergian mbakyu Yastini yang membawa luka yang sangat dalam di dasar hatinya”.
“Kita sama-sama panjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih untuknya. Semoga saja dengan kepergiannya dari sini, dapat segera mengobati luka hatinya yang dalam dan semoga selalu melindunginya pula di setiap langkahnya itu”.
“Iya Mbok”.
Halaman 55 - 56
Setelah selesai makan malam, kemudian membereskan segala peralatannya, maka Warti segera pergi ke biliknya untuk beristirahat dan melepas lelah lahir dan batinnya.
Meskipun matanya sudah terpejam setelah tubuhnya direbahkan di amben bambu yang tidak begitu besar, namun penalarannya berkeliaran kesana kemari memikirkan apa saja.
Hingga pada akhirnya di waktu yang sudah semakin larut, akhirnya dia tak kuasa lagi menahan kantuk dan dengan tanpa sadar dia telah terlelap.
*****
Sementara itu pada saat pagi menjelang, rumah Kyai Santan seperti biasanya sudah terbangun. Dan mengawali hari baru dengan melaksanakan kewajiban sebagai hamba dari Yang Maha Agung.
Setelah itu barulah mereka memulai pekerjaan yang biasa mereka lakukan setiap harinya dengan dibantu beberapa cantrik untuk meringankan pekerjaan.
Di pagi itu Kyai Santan dan istrinya sudah terlihat menengok anaknya yang sudah terbangun pula. Dan keadaannya kini sudah jauh lebih baik.
Apalagi sakit yang dideritanya memang kebanyakan hanya luka luar saja, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kesembuhannya setelah dirawat dengan baik oleh ibunya.
“Kambali… sebaiknya kau jangan tunda lebih lama lagi niatmu untuk pergi ke Kademangan Klampetan, agar masalahnya juga tidak semakin berkembang tak terarah”. ucap Kyai Santan setelah berada di hadapan anaknya.
“Baik Pak”.
“Apakah tidak sebaiknya menunggu anakmu benar-benar sembuh dulu keadaannya, Kyai? karena aku khawatir nanti jika terjadi apa-apa di perjalanan”.
“Kau tidak perlu khawatir secara berlebihan, Nyi. Anakmu ini adalah laki-laki yang sudah dewasa, selain itu serba sedikit dia memiliki bekal kawruh kanuragan. Jadi aku rasa, dia dapat menjaga dirinya sendiri”.
“Kau benar, Kyai. Tetapi bukankah di perjalanan kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi? apalagi jika dia masih belum sembuh benar dari sakitnya”.
“Aku tahu maksudmu, Nyi. Tetapi aku rasa anakmu tidak dapat menunda lagi kepergiannya karena harus segera mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Yastini dan keluarganya di Kademangan Klampetan”.
“Bukan tidak menjadi soal, jika anakmu itu hanya menundanya satu atau dua hari lagi, Kyai?”.
“Kau jangan terlalu memanjakan anakmu, Nyi. Biarlah dia belajar menjadi seorang laki-laki jantan yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sebagaimana seharusnya”. sahut Kyai Santan dengan nada dalam.
Kali ini ibu Kambali tidak berani lagi untuk membantah ucapan suaminya, sebab panggrahitanya sudah dapat menangkap maksud dari sikapnya yang sepertinya masih berusaha memendam kemarahannya atas perbuatan anaknya sendiri.
“Sudahlah Ibu, aku sudah tidak apa-apa. Lagipula perjalanan ke Kademangan Klampetan bukanlah perjalanan yang panjang, jadi Ibu tidak perlu khawatirkan aku”. sahut Kambali yang berusaha menjadi penengah pembicaraan orang tuanya.
“Nanti setelah kau makan pagi, bersiaplah untuk berangkat”. berkata Kyai Santan, lalu bergegas pergi dari gandok tersebut.
“Baik Pak, nanti setelah aku selesai makan pagi aku akan segera berangkat ke Kademangan Klampetan”. sahut Kambali yang sejak kejadian kemarin, sepertinya sudah tidak berani lagi untuk membantah ucapan bapaknya.
Halaman 57 - 58
Ketika Matahari mulai naik ke luasnya cakrawala dari balik gunung di sisi timur, Kambali telah selesai makan pagi dan telah bersiap pula untuk berangkat ke Kademangan Klampetan dengan berjalan kaki seorang diri.
Kyai Santan bukanlah orang yang berada, sehingga sangat wajar dia tidak memiliki seekor kudapun di rumahnya. Oleh sebab itu, jika keluarganya akan bepergian, maka hanya dengan berjalan kaki.
Mereka berkumpul di pendapa untuk memberikan pesan-pesan sebelum melepas keberangkatannya, yang belum tahu kapan akan kembali, atau bahkan tidak pernah kembali lagi ke pangkuan mereka sebagai orang tuanya.
“Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi kepadaku di Kademangan Klampetan, jadi Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir jika aku tidak segera pulang”.
“Tidak apa-apa Kambali, selesaikan saja dulu urusanmu di Kademangan Klampetan hingga tuntas. Agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari”. sahut Kyai Santan.
“Baik Pak, aku mengerti”.
Mendengar hal itu, sebagai seorang ibu yang telah bersusah payah melahirkannya. Tanpa terasa membuat mata ibu Kambali mulai berkaca-kaca, lalu pipinya pun mulai basah.
Dirinya seakan sedang melepas seorang anak kecil memasuki kandang harimau yang sangat garang dan buas, dan hati kecilnya seperti merasa akan kehilangan anak itu untuk selama-lamanya.
“Sudahlah Nyi, tak perlu kau tangisi. Anakmu telah memilih jalan hidupnya sendiri, kita sebagai orang tua hanya dapat membantu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih”. ucap Kyai Santan sembari meraih pundak istrinya dan mengusapnya.
“Kambali…”. hanya itu yang dapat terucap dari mulut perempuan hampir paruh baya tersebut, sembari menutupi wajahnya.
“Sebelum aku berangkat, aku minta maaf kepada Bapak dan Ibu atas segala kesalahan dan dosa yang pernah aku lakukan. Dan jika kepergianku ini tidak pernah kembali lagi ke rumah ini, relakan saja dan tak perlu ditunggu atau dicari”.
Mendengar ucapan anaknya itu, tangis ibu Kambali semakin tersedu-sedu dan semakin menutup wajahnya dengan erat dengan kedua tangannya.
Namun sebelum Kambali benar-benar berangkat, datanglah dua cantrik menghampiri Kyai Santan yang sedang berkumpul dengan keluarganya, guna melepas kepergian anaknya.
“Aku menyuruh mereka untuk menyertai perjalananmu, agar kau memiliki kawan di sepanjang perjalanan. Atau paling tidak dapat dijadikan kawan berbincang untuk memecah kesunyian dalam perjalananmu”. ucap Kyai Santan.
“Sepertinya tidak perlu, Pak”.
“Jangan membantah”. sahut Kyai Santan dengan nada dalam.
Kambali seketika terdiam dan tidak berani membantah jika bapaknya sudah bersikap demikian, yang dapat dilakukannya hanyalah menundukkan kepala.
“Jika kau memang sudah siap, segerlah berangkat agar kau tidak kesorean tiba disana”. ucap Kyai Santan mengingatkan.
“Baiklah Pak, aku berangkat sekarang”.
Kemudian sebelum berangkat, tidak lupa Kambali menyalami kedua orang tuanya dengan mencium tangan masing-masing dari mereka sebagai tanda bakti dan hormat.
Akhirnya Kambali berangkat pula dengan tujuan untuk menebus kesalahannya yang diiringi derai air mata ibunya yang masih saja tak bisa menahan tangisnya ketika melihat anaknya mulai berlalu semakin jauh dari hadapannya.
Halaman 59 - 60
Kambali yang dikawani dua orang cantrik bapaknya itu berjalan membelah udara pagi yang masih sejuk dan menyegarkan di dalam perjalanannya yang baru saja dimulai langkahnya.
Dengan menapaki jalan setapak yang dikelilingi pategalan dan hutan-hutan kecil yang masih terdapat sekumpulan hewan yang beraneka macam, menjadikan hiburan tersendiri bagi ketiganya di sepanjang perjalanan.
Dan kebetulan perjalanan mereka sepertinya tidak menemui hambatan yang berarti di sepanjang perjalanan, meskipun mereka hanya dengan berjalan kaki.
Maka pada saat matahari belum benar-benar tergelincir jauh di sisi barat mereka telah memasuki Kademangan Klampetan yang menjadi tujuan.
Dan akhirnya sampai pula mereka di rumah yang dituju dengan keringat yang membasahi wajah dan tubuh yang terlihat dari pakaian mereka yang sebagian terlihat basah.
Ketika Kambali dan kedua kawannya telah memasuki regol sebuah rumah yang sangat dikenalnya, dirinya telah disambut oleh seseorang laki-laki yang masih sangat muda, salah satu pembantu di rumah Ki Demang Klampetan.
“Maaf Ki Sanak, jika aku tidak salah ingat. Bukankah kau adalah Kakang Kambali?”. tanyanya dengan ragu.
“Benar… aku Kambali, apakah Ki Demang ada di rumah?”.
“Sepertinya Ki Demang belum pulang dari Padukuhan Lawang, Kang. Tetapi di rumah ada Nyi Demang”.
“Baiklah aku akan menunggunya, tolong sampaikan saja kedatanganku kepada Nyi Demang”.
“Baik Kakang Kambali, aku akan memberitahukannya kepada Nyi Demang. Kalian tunggulah di pendapa”.
Kemudian pemuda itu segera bergegas ke dalam melalui pintu butulan yang berada di samping kiri, untuk memberitahukan bahwa rumah itu kedatangan tamu kepada pemilik rumah.
Betapa terkejutnya Nyi Demang setelah mendapat laporan bahwa sore itu kedatang tamu yang tidak biasa, apalagi setelah tau siapa saja tamunya tersebut.
“Kambali kau bilang?”.
“Benar Nyi, dan dia datang bersama dua orang kawan, yang semuanya laki-laki”.
“He… apa kau tidak salah lihat? apakah kau tidak melihat Kambali datang bersama Yastini?”.
“Aku tidak tahu, Nyi. Tetapi aku tidak melihat mbakyu Yastini datang bersama mereka”.
Tanpa terasa hati Nyi Demang berdesir tajam mendengar keterangan tersebut, dan penalarannya pun tiba-tiba mulai menduga-duga apa yang sebenaranya telah terjadi.
Sebab baginya sangat aneh sekali jika kedatangan menantunya tersebut tanpa disertai anak perempuannya yang sudah sangat jarang sekali pulang setelah hidup berumah tangga.
“Ya sudah, aku akan menemuinya. Kau buatkanlah minuman bagi mereka”. ucap Nyi Demang, kemudian berlalu.
Meskipun di hatinya merasa ada yang janggal, namun Nyi Demang menyambut kedatangan menantunya itu dengan ramah dan seakan tidak terjadi apa-apa.
Kambali pun dengan tergopoh-gopoh segera menyalami tangan ibu mertuanya tersebut dengan penuh rasa hormat ketika sudah muncul di pendapa.
“Bagaimana perjalananmu, Kambali? dan bagaimana kabar keluarga di Padukuhan Santan? baik-baik saja bukan?”.
Halaman 61 - 62
“Berkat pangestu Ibu dan keluarga Kademangan Klampetan, aku dan keluarga di Padukuhan Santan baik-baik saja, Ibu”.
“Syukurlah kalau begitu”.
Setelah beberapa saat mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, dan sedikit basa-basi. Akhirnya Nyi Demang yang tidak dapat menahan diri, lalu bertanya.
“Kambali… kedatanganmu benar-benar sangat mengejutkanku, apakah kedatanganmu ini hanya untuk mengunjungi kami sekeluarga, atau memang ada keperluan khusus?”.
“Selain aku memang ingin mengunjungi keluarga di Kademangan Klampetan ini, aku juga memiliki keperluan lain, Ibu”.
“Apa itu?”. sahut Nyi Demang sudah tidak sabar dan penasaran.
“Maaf Ibu, tapi menurutku sebaiknya kita menunggu Bapak Demang pulang dulu agar kita lebih leluasa di dalam pembicaraan ini”. sahut Kambali dengan wajah mulai lesu.
“Baiklah… aku sependapat”. sahut Nyi Demang yang pada akhirnya harus menunda rasa penasarannya.
Pada akhirnya orang yang di tunggu-tunggu sejak tadi kedatangannya muncul juga pada saat senja telah turun, bersama dua orang pembantunya.
Berhubung waktu akan berganti, maka mereka harus menunda lagi pembicaraan yang tadi terpotong, guna memanfaatkan waktu untuk membersihkan diri dulu di pakiwan, kemudia dilanjutkan dengan makan malam.
Malam yang baru saja dimulai tersebut tampak sangat gelap, sebab dalam waktu yang bersamaan di langit tiba-tiba mulai mendung menyelimuti.
Dan setelah mereka selesai makan malam, di luar sudah mulai turun hujan rintik-rintik, disertai sesekali terlihat kilat menyambar.
Setelah semuanya sudah selesai, maka mereka berkumpul di pendapa dengan dikawani wedang jahe yang masih mengepulkan asap tipis untuk melanjutkan pembicaraan yan tertunda.
“Tadi kau bilang ingin menyampaikan keperluanmu, sekarang katakanlah, Kambali. Aku sudah ada di hadapanmu”. berkata Ki Demang memulai pembicaraan, yang sebenarnya penasaran pula dengan apa yang akan disampaikan menantunya tersebut.
“Begini Pak… sebelumnya aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Kademangan Klampetan ini, dan aku sudah pasrah dengan apa yang bakal terjadi nanti. Tapi tolong izinkan aku untuk lebih dulu menyampaikan keperluan yang aku bawa secara keseluruhan”.
Ki Demang dan Nyi Demang sempat menegang mendengar ucapan menantunya tersebut, sembari hati mereka semakin diliputi tanda tanya.
“Ya… katakanlah, Kambali”. sahut Ki Demang.
Akhirnya Kambali menceritakan kepada kedua mertuanya tersebut secara runtut apa yang sebenarnya telah terjadi, tidak ada yang dikurangi atau dilebihkan, dan diakhiri dengan menyampaikan pesan bapaknya, Kyai Santan.
“Bapak dan Ibu dari Padukuhan Santan menitipkan salam kepada Bapak dan Ibu Demang Klampetan. Dan katanya, Mereka minta maaf atas kelalaiannya dalam menjagaku, sehingga hal ini dapat terjadi”.
Ki Demang dan istrinya sangat terkejut dan seakan tidak percaya mendengar ucapan menantunya tersebut, hati mereka tiba-tiba menjadi bercampur aduk tidak karuan hingga mereka tidak dapat langsung menanggapi atas apa yang mereka dengar baru saja.
“Sekarang aku pasrahkan nasibku kepada Bapak dan Ibu Demang Klampetan, dan aku tidak akan ingkar bahwa aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan”.
Halaman 63 - 64
Kedua orang tua itu masih terdiam, dan belum dapat menentukan sikap atas apa yang telah terjadi, Hanya Nyi Demang lah yang tampak menutup wajahnya dan mulai terdengar isak tangisnya yang tersedu-sedu.
“Lalu kemanakah sekarang Yastini?”. ucap Ki Demang pada akhirnya setelah berhasil mengusai dirinya.
“Maaf Pak, aku tidak tahu. Awalnya aku menduga dia akan pulang kemari, tapi ternyata tidak”.
“Apakah kau sudah mencarinya?”.
“Kami sudah berusaha mencarinya sejauh yang kami dapat lakukan dengan dibantu para cantrik Padukuhan Santan, namun masih belum berhasil”. sahut Kambali yang kini dengan kepala hampir selalu menunduk.
“Apakah dia tidak meninggalkan pesan sama sekali kepada tetangga atau orang-orang terdekat?”.
“Tidak Pak, tidak ada pesan sama sekali”.
“Lalu kemana anak itu sekarang?”. desis Ki Demang yang hatinya tiba-tiba terasa pepat.
*****
Sementara itu di malam yang sudah mendekati wayah sepi wong di tengah sebuah hutan kecil yang entah dimanakah tempatnya, tampak seorang perempuan yang mengenakan pakaian khusus sedang berjalan sendirian.
Entah dia sedang tersesat atau memang ada alasan lain yang menyebabkan dirinya mengalami hal demikian, karena jika dilihat dari langkah kakinya, dia tampak ragu dalam menyusuri jalan yang dilaluinya tersebut.
Karena baginya yang penting berjalan, berjalan, dan terus berjalan saja, meski dia sendiri tidak tahu kemana langkah-langkah kakinya akan membawa tubuhnya yang mulai kelelahan, dia sudah tidak peduli lagi akan hal itu.
Sementara di tempat itu mulai turun hujan yang agak lebat, maka dengan serta merta perempuan itu mencari tempat berteduh seadannya yang berada paling dekat.
Dilihatnya ada sebuah pohon besar yang tumbuh tidak jauh dari tempatnya berdiri, dan kebetulan di bagian bawahnya membentuk sebuah rongga yang cukup besar untuk sekedar berteduh untuk sementara waktu hingga hujan reda.
Tampak wajah kelelahan dan kebingungan yang terpancar dari perempuan tersebut, ketika dia mulai duduk sembari memegangi kedua lututnya.
“Kenapa kakang begitu tega kepadaku?”. katanya dalam hati yang sepertinya mulai meratapi nasib yang sedang dialaminya.
“Apakah pengorbananku selama ini tidak ada artinya bagimu? jika kakang memang ingin meninggalkanku, kenapa tidak langsung bilang saja kepadaku?”. membatin Yastini yang matanya mulai berkaca-kaca.
Tanpa terasa kedua mata yang berkaca-kaca itu mulai menitikkan air yang seakan sedang mengiringi rasa kesedihan mendalam yang sedang dirasakannya.
“Aku ssudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan pulang ke Kademangan Klampetan. Karena tentu kakang Kambali akan menyusulku kesana. Lagipula aku benar-benar malu jika Bapak dan Ibu tahu akan hal ini”.
“Dan aku sudah tidak sudi lagi jika harus bertemu dengannya”.
Hati Yastini benar-benar bergejolak hebat saat ini, dan dirinya harus memilih antara harga diri atau orang tuanya yang kini harus ditunggalkannya di Kademangan Klampetan.
“Tapi jika tidak pulang, sekarang aku akan pergi kemana?”.
Halaman 65 - 66
Kali ini Yastini benar-benar berada dalam kebimbangan yang sangat, hati dan penalarannya tidak dapat bekerja beriringan seperti jika dirinya dalam keadaan yang tidak kalut.
Dalam suasana malam gelap, hujan yang lumayan lebat. Yastini hanya dapat meratapi nasib buruknya yang telah menimpanya seorang diri di tengah hutan kecil yang baginya pun sangat asing tempatnya tersebut.
Dan Yastini sudah tidak peduli lagi, entah akan sampai kapan dirinya harus berada di tempat itu seorang diri. Karena baginya, yang terpenting adalah tidak bertemu lagi dengan suaminya yang telah menyakiti hatinya hingga ke dasar.
*****
Dua puluh tahun kemudian
*****
Di waktu menjelang wayah sepi bocah di Kotaraja Majapahit, tepatnya di salah satu bangunan Istana. Pepunden seluruh kawula Majapahit sedang menyendiri di tempat khususnya.
Prabu Brawijaya sedang mesu diri di sebuah ruangan khusus Istana Majapahit yang terlihat kecil jika dibandingkan dengan ruangan kebanyakan, seorang diri dalam keadaan gelap gulita tanpa penerangan sama sekali.
Tampak dalam keadaan duduk bersila dengan mata terpejam dan kedua tangannya diletakkan di atas kedua lututnya karena sedang dalam pemusatan nalar budi bersemedi.
Entah sudah berapa lama dirinya melakukan hal itu, namun sepertinya belum ada tanda-tanda pula dirinya untuk segera mengakhiri semedi tersebut.
Di luar ruangan dan tidak jauh dari pintu, terdapat ada dua pengawal khusus yang bertugas. Sebagai sikap berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dibutuhkan segera.
Suasana di sekitar tempat itu nampak begitu tenang, bahkan lebih tepatnya dapat dikatakan sunyi. Sebab tempat tersebut berada di ujung lorong.
Dan hanya orang-orang khusus dengan kepentingan khusus pula yang diperkenankan menginjakkan kakinya di tempat tersebut, atas perintah pepunden tertinggi mereka.
Namun tiba-tiba tampak ada seseorang yang berjalan memasuki lorong tersebut dan mendekati kedua pengawal yang bertugas, jika tidak ada kepentingan yang mendesak, tentu mustahil.
“Ki Sanak, tolong sampaikan permohonanku untuk menghadap Gusti Prabu, atas perintah Ki Patih”. berkata orang yang baru saja datang tersebut.
“Aku akan menyampaikannya, semoga saja Gusti Prabu berkenan menerima permohonanmu ini”. sahut salah satu pengawal.
“Terima kasih”.
Dengan langkah perlahan, salah satu pengawal mendekati pintu yang sangat bagus dan berukiran rumit, tetapi berukuran cukup kecil dan pendek.
Bahkan tingginya tidak lebih dari tinggi dada orang dewasa yang berdiri. Sehingga jika akan memasuki ruangan, harus membungkuk agar tidak terbentur.
Pengawal itu sebenarnya takut jika harus mengganggu pepundennya yang sedang berada di dalam, namun dirinya mencoba menguatkan hati dan memberanikan diri untuk mengetuk dengan perlahan agar tidak mengejutkan.
Ketika tangannya baru akan mengetuk, namun tiba-tiba…
“Suruh dia masuk”. terdengar suara perlahan dari dalam yang sangat berwibawa.
Halaman 67 - 68
Sebagai pepunden seluruh kawula Majapahit, Prabu Brawijaya memang terkenal sebagai orang yang sudah pupus kawruh lahir dan batinnya, bahkan bisa dibilang sudah diluar nalar orang kebanyakan.
Sehingga tidak mengejutkan lagi bagi orang-orang yang telah mengenalnya, jika suatu ketika melakukan hal-hal yang diluar dugaan dan penalaran orang kebanyakan.
Kemudian pengawal itu membuka pintu yang memang diselarak dari luar, lalu menyuruh orang yang baru saja datang tadi untuk segera masuk, guna menghadap.
Ketika pintu telah terbuka, dengan menyembah lebih dahulu orang yang baru saja datang itu lalu memasuki ruangan dengan berjalan pada kedua lututnya.
“Tutup lagi pintunya”. ucap Prabu Brawijaya.
Setelah pintu ditutup kembali, maka dalam ruangan yang memang sengaja tidak diberi penerangan itu, kembali dicekam oleh kegelapan.
“Gusti Prabu, hamba mohon ampun jika hamba sangat deksura dan berani mengganggu ketenangan Gusti Prabu”. ucap orang itu sembari tidak lupa menghaturkan sembahnya.
“Aku dapat mengerti, katakanlah keperluanmu”.
“Ampun Gusti Prabu, hamba mendapat perintah dari Ki Patih untuk melaporkan apa yang sedang terjadi di luar”.
“Apa yang telah terjadi?”. sahut Prabu Brawijaya tetap dengan sikap yang penuh ketenangan.
“Pasukan Majapahit yang kini telah dipusatkan di Kotaraja semakin terluka akibat serangan dari Keling yang tidak biasa, sebab mereka menyerang dengan tiba-tiba pada sangat kita lengah, lalu menarik pasukannya kembali. Dan sejauh ini sudah mereka lakukan beberapa kali”.
“Apakah pasukan kita sering lengah?”.
“Tidak Gusti Prabu, namun penyerangan yang disertai pengepungan oleh Pasukan Keling dalam jangka waktu yang cukup lama telah membuat pasukan kita harus membagi tugas secara bergiliran. Sehingga pada saat mereka menyerang, kekuatan kita jarang dalam keadaan kekuatan penuh”.
Meskipun dalam keadaan gelap, namun berdasarkan dari suara yang terucap, Prabu Brawijaya sepertinya menanggapi semua itu masih tetap dengan sikap tenangnya.
“Apakah Ki Patih tidak dapat menemukan cara untuk dapat mengatasi orang-orang Keling?”.
“Jika Gusti Prabu mengizinkan, Ki Patih akan membawa seluruh Pasukan Majapahit untuk menyerang dan melakukan pengejaran terhadap Pasukan Keling hingga ke sarangnya pada saat mereka menyerang dan menarik mundur kembali pasukannya”.
“Apakah sudah dipertimbangkan dengan matang cara itu? termasuk dengan segala akibatnya?”.
“Ampun Gusti Prabu, berdasarkan keterangan yang hamba terima dari Ki Patih, sudah Gusti Prabu”.
“Apakah sudah dipertimbangkan pula kemungkinan paling buruknya yang bakal terjadi?”.
“Ampun Gusti Prabu, bukankah di dalam sebuah perang, kita memang harus siap dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi? mukti atau bahkan mati?”.
“Kau benar, tetapi harus diperhitungkan pula bahwa setiap prajurit yang gugur di medan perang itu adalah kematian yang membawa manfaat bagi kelompoknya atau hanya gugur dalam kesia-siaan belaka”.
Halaman 69 - 70
Orang yang berada di hadapan Prabu Brawijaya itu hanya dapat terdiam mendengar ucapan pepundennya, berbagai penalaran sempat melintas di dalam kepalanya.
“Menurut perhitunganku, Pasukan Keling memang sengaja menyerang dengan tiba-tiba, lalu menarik pasukannya kembali. Dan aku rasa mereka telah memperhitungkan semua itu dengan sangat cermat, termasuk kemungkinan kita akan menyerang balik atau bahkan memburu mereka”.
“Sementara pasukan kita tidak pernah tahu apa yang telah mereka rencanakan dan persiapkan untuk menyambut pasukan kita yang memburu, apakah kita tidak membunuh diri namanya?”.
“Dan ingat, seandainya pasukan kita lebih besar pun belum tentu kita dapat menang melawan mereka, jika pasukan kita telah bergerak memburu. Selain mereka lebih mengenali medan yang dilewati, tentu mereka lebih mengenal jalan mana yang aman dan yang tidak aman untuk dilewati”.
“Untuk sementara waktu, kita memang harus melupakan harga diri yang berlebihan dalam diri kita. Sebab sekarang kita harus lebih menggunakan penalaran yang wening dalam menanggapi setiap keadaan yang berkembang”.
Ucapan pepundennya itu mampu menyadarkannya akan bahaya yang sangat mungkin terjadi jika mereka hanya berdiri di atas harga diri yang berlebihan sebagai sebuah pasukan yang pernah ditakuti di sepanjang luasnya tanah ini.
“Apakah Pasukan Keling adalah sebuah pasukan yang sangat besar? sehingga Pasukan Majapahit sampai kuwalahan untuk menghadapinya?”.
“Menurut kami, para Senopati Majapahit yang terjun langsung dalam perang tersebut, kami rasa mereka bukanlah sebuah pasukan yang sangat besar, Gusti Prabu. Tapi…”.
“Tapi apa?”.
“Berdasarkan kenyataan yang kami temukan di medan, mereka memang bukanlah sebuah pasukan yang besar. Tapi melihat dari cara mereka bertempur dan para prajurit kita yang menjadi korban, mengingatkan kita akan satuan Pasukan Khusus Majapahit yang pernah mempersatukan nusantara”.
“Maksudmu?”.
“Pasukan Keling seperti jelmaan Pasukan Majapahit pada beberapa waktu yang lampau, karena senjata dan cara yang mereka gunakan adalah jenis kanuragan yang sama dengan yang kita kenal sebagai Sundang Majapahit”.
“Sundang Majapahit?”. desis Prabu Brawijaya tanpa sadarnya.
“Demikianlah Gusti Prabu”.
“Apakah kemampuan mereka tatarannya sama dengan Pasukan Khusus Majapahit?”.
“Sepertinya tidak, Gusti Prabu. Menurut penilaian kami, tataran kemampuan mereka lebih unggul”.
“Apakah itu sebabnya, pasukan kita sekarang menjadi kuwalahan menghadapi mereka?”.
“Pada dasarnya mereka memang menggunakan jenis kanuragan Sundang Majapahit, bahkan mereka terlihat sangat menguasai jenis kanuragan itu secara lengkap. Tapi pada perkembangannya kami melihat perbedaan. Dan itu terlihat semakin melengkapi aliran Sundang yang kita kenal”.
“Jadi mereka benar-benar telah menguasai aliran Sundang Gunung, Sundang Kali, Sundang Laut, Sundang Angin, dan Sundang Matahari?”. bertanya Prabu Brawijaya masih dengan sikap tenang meskipun telah mendapat laporan demikian.
“Berdasarkan apa yang kami lihat, demikianlah Gusti Prabu”.
Halaman 71 - 72
“Jika demikian yang terjadi, pasti ada yang telah berkhianatan kepada Majapahit, apakah kau dapat menduganya?”.
“Pada awalnya kami semua yang turun ke medan juga terkejut ketika berhadapan dengan Pasukan Keling itu, Gusti Prabu. Dan setelan melihat semua itu, kami pun menduga pula bahwa pasti ada pengkhianatan terhadap Gusti Prabu, namun kami belum dapat menduga siapakah orangnya”.
“Apakah kalian tidak mendapat gambaran sama sekali?”.
“Kami memang mendapat gambaran bahwa pengkhianat itu tentu bagian dari Pasukan Khusus Majapahit, namun kami tidak mau asal menduga tanpa dasar yang kuat akan sosok itu”.
“Aku mengerti, dan memang seharusnya demikian. Agar kita tidak salah dalam menilai seseorang karena tanpa dasar yang jelas dan kuat. Karena kesalahan itu dapat membuat kita untuk melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya”.
“Ampun Gusti Prabu, hamba menunggu perintah selanjutnya, langkah apakah yang harus kita lakukan untuk menghadapi serangan dari Pasukan Keling ini?”.
“Untuk sementara kita bertahan dulu, dan pusatkan seluruh Pasukan Majapahit di Kotaraja, sembari menunggu perintah selanjutnya dariku”.
“Sendika dawuh, Gusti Prabu”.
“Apakah masih ada yang ingin kau laporkan?”.
“Hamba rasa sudah tidak ada lagi, dan jika tidak ada perintah lagi dari Gusti Prabu, hamba mohon diri sekarang juga”. berkata orang tersebut sembari menghaturkan sembahnya.
“Aku hanya ada satu perintah untukmu”.
“Hamba selalu menjunjung tinggi segala titah dari Gusti Prabu”.
“Sebelum kau kembali ke pasukanmu, perintahkan Ki Nujum untuk menghadapku sekarang juga”.
“Sendika dawuh Gusti Prabu”. sahut orang itu sembari menghaturkan sembah, lalu berjalan mundur dengan kedua lututnya untuk keluar dari ruangan tersebut.
Beberapa saat setelah orang itu pergi, datanglah seseorang telah memasuki ruangan yang hanya diterangi oleh beberapa lampu minyak yang diletakkan di dinding sepanjang lorong.
Dari pancaran penerangan yang agak temaram itu, tampak sosok yang lebih dari paruh baya dan mengenakan pakaian serba hitam, dan rambut panjangnya bagian atas digelung dan yang bawah dibiarkan saja terurai.
Orang tersebut memang sudah terlihat berumur, namun dia masih terlihat gagah meskipun tubuhnya agak kurus dan berperawakan sedang.
“Ki Sanak, aku dipanggil Gusti Prabu untuk menghadap”. berkata orang yang baru saja datang tersebut kepada dua prajurit yang bertugas setelah mereka saling berhadapan.
“Silahkan Ki, Gusti Prabu sudah menunggu”. sahut salah satu prajurit tersebut mempersilahkan. Lalu mereka mendekati pintu kecil yang berada di sudut lorong.
“Atas perintah Gusti Prabu hamba menghadap”. berkata orang itu dalam keadaan berdiri pada kedua lututnya sembari menghaturkan sembah ketika pintu itu dibuka.
“Masuklah”.
Orang itu pun memasuki ruangan pepundennya, berjalan dengan kedua lututnya hingga jarak yang dirasa cukup, dia berhenti lalu menghaturkan sembahnya kembali dan diakhiri dengan duduk bersila.
Halaman 73 - 74
Dan seperti biasa, pintu itu ditutup kembali ketika setelah orang tersebut dipastikan memasuki ruangan, oleh prajurit penjaga yang bertugas di luar.
“Hamba siap menunggu titah dari Gusti Prabu”. ucapnya membuka pembicaraan di ruangan yang gelap, sempit dan sunyi dari suara apapun.
“Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan kepadamu”.
“Sendika dawuh, Gusti Prabu. Hamba akan berusaha menjawab dengan sebaik-baiknya, sejauh pengetahuan hamba”.
“Apakah kau masih ingat dengan pembicaraan kita beberapa waktu yang lalu, Ki Nujum? tentang tanda-tanda kekuasaanku di Majapahit yang akan menjelang saat-saat terakhir?”.
“Hamba masih ingat, Gusti Prabu”.
“Lalu apa katamu dengan Pasukan Keling yang sekarang menyerang kita? dan menurut pendapatmu, aku harus mengambil sikap yang seperti apa?”.
“Ampun Gusti Prabu, hamba tidak berani berpendapat secara pribadi, dan apa yang hamba sampaikan ini adalah semata-mata berdasarkan firasat yang hamba terima yang belum tentu terjadi kebenarannya. Dan segala keputusan hamba serahkan kepada Gusti Prabu sendiri”.
“Ya… aku mengerti, lalu bagaimana dengan firasat yang telah kau terima itu?”.
“Ampun Gusti Prabu, menurut firasat yang hamba terima. Kali ini Pasukan Majapahit yang Gusti Prabu pimpin pada masa jatuh apes, jadi mau bagaimanapun Gusti Prabu berusaha melawan Pasukan Keling itu, maka pada akhirnya akan tetap mengalami kekalahan”.
Terdengar suara tarikan nafas yang dalam dari Prabu Brawijaya setelah mendengar semua itu. Jika saja orang yang berbicara di hadapannya itu bukanlah orang yang dikenalnya sejak lama, tentu saja dia tidak akan percaya begitu saja.
Namun ini keadaannya berbeda, justru karena Prabu Brawijaya merasa telah mengenalnya dalam waktu yang sangat lama, maka membuat hatinya bergetar setelah mendengar keterangan tersebut.
“Lalu apakah menurutmu, aku harus berpangku tangan saja dan pasrah dengan keadaan yang terjadi? sedangkan seluruh prajuritku berusaha mati-matian untuk membelaku? jika yang terjadi demikian, pemimpin macam apa aku ini?”.
“Ampun Gusti Prabu, menurut firasat yang hamba terima. Gusti Prabu masih dapat melakukan hal lain yang lebih penting daripada harus memikirkan penyerangan dari Pasukan Keling”.
“Apa maksudmu?”.
“Sebaiknya Gusti Prabu berusaha menyelamatkan apa yang dapat diselamatkan dari Pasukan Keling”.
“Aku mengerti maksudmu, Ki Nujum. Lalu apa pendapatmu, jika aku berusaha mati-matian mempertahankan kekuasaanku ini adalah sebuah pekerjaan yang sia-sia belaka?”.
“Sebelumnya hamba mohon ampun Gusti Prabu, jika nanti apa yang akan hamba sampaikan ini berdasarkan apa yang hamba ketahui berdasarkan firasat-firasat yang harus diurai kembali kebenarannya. Dan jangan dianggap hamba adalah orang yang ngerti sak durunge winarah”.
“Aku mengerti, sekarang katakanlah”.
“Berdasarkan firasat yang hamba terima, sepertinya Wahyu Keprabon yang menaungi kekuasaan Gusti Prabu sudah pergi dari bumi Majapahit. Jika sudah terjadi, dimana Pasukan Majapahit mengalami kejadian senjata makan tuan”.
Halaman 75 - 76
“Ya… aku masih ingat itu. Dan berdasarkan laporan yang aku terima beberapa waktu terakhir ini, lalu aku sesuaikan dengan ucapanmu, maka sepertinya hal itu sudah terjadi, Ki Nujum”.
“Benarkah demikian, Gusti Prabu?”. sahut Ki Nujum terkejut, dan penuh tanda tanya.
“Benar Ki Nujum, karena setelah aku telusuri dan aku sesuaikan dengan ucapanmu. Ternyata Pasukan Majapahit yang sekarang gugur di medan, terbunuh oleh Pasukan Keling yang telah menguasai aliran kanuragan dari Sundang Majapahit yang telah dikuasai secara turun temurun”.
“Sundang Majapahit?”.
“Benar Ki Nujum, Sundang Majapahit”.
“Sejauh pengetahuan hamba, bukankah Sundang Majapahit itu sendiri hanya diajarkan dan dikuasai oleh satuan Pasukan Khusus Majapahit, Gusti Prabu?”.
“Kau benar, Ki Nujum. Dan jika aliran itu telah dikuasai oleh pihak lain dengan baik, maka tentu sudah dapat disimpulkan bahwa ada pengkhianatan dari seseorang atau beberapa orang senopati dari satuan Pasukan Khusus Majapahit”.
“Ya… Gusti Prabu benar, pasti ada yang telah berani berkhianat karena suatu sebab. Mungkin saja karena mereka tergiur dengan iming-iming yang ditawarkan, atau karena alasan lain yang kita belum tahu”.
“Tapi aku tidak ingin membicarakan masalah itu sekarang, sebab sekarang aku ingin mendengar darimu, tentang bagaimana masa depan Kerajaan Majapahit yang agung ini?”.
“Bersamaan dengan perginya Wahyu Keprabon dari bumi Majapahit, maka berimbas pula terhadap hilangnya pamor kelima Pusaka Majapahit yang selama ini telah menjadi sipat kandel kerajaan secara turun temurun”.
“Lalu apa hubungannya Wahyu Keprabon yang pergi dari bumi Majapahit dengan pudarnya pamor kelima pusaka itu?”.
“Berdasarkan tanda-tanda firasat yang hamba terima, karena kelima pusaka itu adalah pusaka perlambang seorang pemimpin yang direstui oleh Sang Hyang Agung, dinaungi alam sekitarnya, dan dicintai oleh seluruh kawulanya. Jadi… ketika Wahyu Keprabon itu pergi, maka pudarlah pamor kelima pusaka itu”.
“Apakah dengan kata lain, di bumi Majapahit yang agung ini sudah tidak ada lagi pemimpin yang dinaungi oleh Wahyu Keprabon seperti kau sebutkan itu?”.
“Hamba tidak berani menyimpulkan demikian secara pribadi, namun berdasarkan apa yang hamba tangkap dari tanda-tanda dan firasat, kemungkinannya seperti itu, Gusti Prabu”.
“Termasuk aku? atau anak cucuku? atau bahkan siapa pun yang bakal menggantikan kedudukanku di bumi Majapahit yang agung ini, apapun alasannya?”.
Ki Nujum sempat menegang mendengar pertanyaan tersebut, namun beruntunglah bahwa di ruangan itu gelap gulita, sehingga tidak begitu terlihat perubahan yang hanya sebentar tersebut.
Namun sebagai orang yang memiliki kelebihan, panggraita Prabu Brawijaya sempat menangkap perubahan itu pada orang yang sedang duduk di hadapannya, meskipun sedang di dalam ruangan yang bagaimanapun gelapnya.
“Kau tidak perlu takut salah bicara, Ki Nujum. Lagipula kita sudah saling mengenal dalam waktu yang cukup lama, sehingga kita sama-sama tahu sedang bicara dengan siapa. Jadi katakanlah apa yang seharusnya kau katakan kepadaku”. berkata Prabu Brawijaya yang tanggap.
“Ampun Gusti Prabu, bukan maksud hamba untuk mengatakan bahwa Gusti Prabu bukanlah pemimpin yang demikian, namun sepertinya masa kedudukan Gusti Prabu lah yang sepertinya sudah di saat-saat terakhir menjadi pepunden seluruh kawula Majapahit.
Halaman 77 - 78
“Aku mengerti, dan aku tidak akan pernah menyalahkan apapun yang kau katakan. Karena aku pun tahu bahwa apa yang kau katakan itu jujur berdasarkan firasat yang kau tangkap, bukan karena hasil penalaranmu secara pribadi”.
“Demikianlah Gusti Prabu”.
“Lalu apakah akan ada akibat yang bakal timbul sehubungan dengan hilangnya Wahyu Keprabon dan pudarnya pamor kelima Pusaka Majapahit?”.
“Ada Gusti Prabu”.
“Akibat apakah itu?”.
“Kemungkinannya adalah di bumi Majapahit ini sudah tidak ada lagi kehidupan yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo, mungkin pula akan timbulnya kekacauan, atau bahkan akan timbul pecahnya peperangan”.
Prabu Brawijaya menjadi terdiam mendengar apa yang telah disampaikan oleh orang kepercayaannya yang memiliki kelebihan dalam menangkap firasat atau tanda-tanda getaran alam atas apa yang bakal terjadi tersebut.
“Jika demikian, bukankah sama artinya jika kelima pusaka itu sudah tidak ada gunanya lagi sekarang?”. bertanya Prabu Brawijaya setelah beberapa saat terdiam.
“Ampun Gusti Prabu, kelima pusaka itu masih ada gunanya”.
“Maksudmu?”.
“Kelima pusaka itu adalah perlambang sekaligus sipat kandel dari seorang pemimpin yang direstui oleh Sang Hyang Agung, jika di bumi Majapahit yang agung ini sudah tidak ada lagi pemimpin yang demikian, maka dia akan mencari tuannya yang baru”.
“Mencari tuan baru?”. desis Prabu Brawijaya.
“Demikianlah Gusti Prabu”.
“Lalu siapakah dan dimanakah tuannya yang baru itu?”.
“Hamba belum tahu siapakah sosoknya dan bagaimanakah ciri-cirinya, namun berdasarkan firasat yang hamba tangkap, dari bumi Majapahit ini bertiup ke arah barat”.
“Bukankah kau memiliki kelebihan, dan dapat menggunakan mata batin? paling tidak, ciri-ciri orangnya atau bahkan ciri-ciri sekitar tempat tinggalnya”.
“Hamba tidak dapat memastikan, tapi akan hamba coba”.
“Baiklah… aku tunggu”.
Sejenak kemudian Ki Nujum berusaha memusatkan nalar budinya untuk menggunakan kemampuan mata batinnya. Setelah beberapa saat, dia tampak mulai mengurai kembali pemusatan nalar budinya yang disaksikan langsung oleh pepundennya.
“Ampun Gusti Prabu, hamba tidak dapat mengatakan bahwa ini adalah sebuah kebenaran. Tetapi hamba hanya menyampaikan apa yang hamba lihat dalam penglihatan mata batin hamba”.
“Ya… katakanlah”.
“Ampun Gusti Prabu, yang hamba lihat bukanlah ciri-ciri sosok dan tempat yang kita cari, namun yang hamba lihat adalah kelima pusaka itu akan dapat menemukan tuannya yang baru jika kita pindahkan ke suatu tempat”.
“Dipindahkan? kemana?”.
“Jika dari sini jauh ke arah barat Gusti Prabu, sebuah tempat yang sangat wingit yang terdapat sumber mata air, dan lebih tepatnya pada dua sumber mata air yang berdekatan tapi tidak saling bersinggungan. Tetapi sumber mata air yang berbeda itu alirannya terhubung, meski sumber mata air yang satunya membentuk sebuah sendang lebih dulu”.
Halaman 79 - 80
“Apakah ada petunjuk yang lebih dapat menjelaskan? atau paling tidak, dimanakah ancer-ancer tempatnya itu?”.
“Petunjuk yang hamba lihat adalah jauh di sebelah barat dari sini dan letaknya di antara tiga gunung besar yang salain berdekatan dan membentuk segitiga”.
“Gunung apa sajakah itu?”.
“Gunung Sumbing, Gunung Sumowono, dan Gunung Merbabu”.
“Nama-nama gunung yang masih asing di telingaku, tetapi ada satu nama yang mengingatkanku akan Babad Pewayangan yang mengisahkan tentang Raja Dasamuka. Karena saking besarnya dosa yang pernah dilakukan, maka harus ditebus dengan ditindih dengan Gunung Sumowono hingga akhir zaman”.
“Hamba pernah mendengarnya pula”.
“Tadi kau sempat bilang bahwa, di dua tempat sumber mata air yang berbeda? apakah maksudmu kelima pusaka itu harus disimpan secara terpisah di tempat yang berbeda?”.
“Berdasarkan petunjuk yang hamba terima, memang demikianlah Gusti Prabu”.
“Kenapa kelima pusaka itu harus disimpan secara terpisah di dua tempat yang berbeda? jika memang harus disimpan secara terpisah, kenapa tidak dipisahkan semua? dan kenapa pula dari pusaka yang berjumlah lima itu hanya dipisah menjadi dua?”.
“Dari masing-masing pusaka itu sendiri sudah memiliki pamornya sendiri yang luar biasa, apalagi jika kelima pusaka itu disatukan, tentu akan semakin mencorong pamornya. Maka dari itu, untuk mengurangi pamornya tersebut, penyimpanan pusaka itu jangan diletakkan di tempat yang sama”.
“Sekarang aku mulai mengerti maksudmu, Ki Nujum. Pemisahan itu dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan untuk dapat ditemukan oleh orang yang tidak berhak, atau bahkan orang yang berniat buruk sekalipun terhadap kelima pusaka itu”.
“Demikianlah Gusti Prabu”.
“Ya… sebaiknya memang disimpan dulu ke tempat yang aman, sebelum menemukan tuannya yang baru. Agar kelima pusaka itu tidak disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab”.
“Dan berdasarkan petunjuk yang hamba terima, pamor kelima pusaka itu tidak akan bangkit jika tidak dimiliki oleh orang yang berhak menjadi tuannya”.
“Jika kelima pusaka itu adalah perlambang pemimpin besar, berati tuannya adalah orang yang masih memiliki Trah Kusuma Rembesing Madu?”.
“Mungkin iya, mungkin pula tidak, Gusti Prabu”.
“Apakah mungkin jika seorang Trah Pidak Pidarakan akan mampu menjadi seorang pemimpin besar tanah ini?”.
“Jika Sang Hyang Agung sudah berkehendak, tidak ada yang mustahil di dunia ini, Gusti Prabu”. sahut Ki Nujum dengan penuh keyakinan atas pendapatnya tersebut.
- - - o - O - o - - -
bersambung ke
Djilid
2
Sehubungan dengan berakhirnya wedaran harian Tanah Perdikan Pamingit jilid satu di gandok ini, saya ingin meminta tanggapan dari panjenengan semua, tentang :
seberapa layakkah serial cerita silat yang saya tulis ini?
masih adakah dari panjenengan yang berkenan untuk mengikuti kelanjutan wedaran versi harian ini?.
jika tidak ada yang berkenan untuk mengikuti kelanjutan wedaran di gandok ini, mungkin saya akan berpikir ulang untuk melanjutkan wedarannya.
jika tidak ada tanggapan, maka saya anggap tidak berkenan.
apapun tanggapan panjenengan semua, saya selaku penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih.
saya tunggu tanggapan panjenengan semua di kolom komentar atau dapat langsung email kepada saya, dengan alamat yang sudah tertera.
******
konfirmasi :
prastiyomalaikatdjibril@gmail.com
Padepokan Tanah Leluhur
terima kasih
Inggih maturnuwun, semoga jadi amal sholeh panjenengan Ki MD Prasetyo.
BalasHapusterima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa Ki Sunar Sastro...
HapusSami-sami.
BalasHapusApakah diperbolehkan minta no hp KI MDP....biar bisa komunikasi
BalasHapusKi Wulungan dapat menghubungi saya melalui email yang sudah tertera.
Hapusterima kasih.
Wedarannya sudah mulai apa belum? Melihatnya dimana Ki...
BalasHapusjika yang dimaksud Ki Wulungan adalah wedaran gratis versi wedaran harian, wedarannya memang belum dimulai Ki, karena jika sudah mulai tentu sudah muncul di gandok ini.
Hapusjika yang dimaksud Ki Wulungan adalah wedaran versi pdf dengan mahar yang sudah ditetapkan dan akan dikirimkan ke alamat email masing-masing, sudah ada dua jilid yang sudah terbit.
terima kasih.
Terima kasih Ki...
BalasHapusMau konfirmasi Ki, saya barusan transfer 150.000 untuk mahar Tanah Perdikan Pamingit
BalasHapussaya hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari Ki Wulungan...
HapusApakah bisa pdf nya dikirim lewat wa
BalasHapusmaaf Ki Wulungan, saya hanya dapat mengirimkan wedaran versi pdf melalui email.
Hapussaya tunggu konfirmasi alamat email panjenengan, agar saya dapat segera pula mengirimkan wedaran Tanah Perdikan Pamingit yang panjenengan minta.
terima kasih.
yudhisutotosh@gmail.com
BalasHapusserial Tanah Perdikan Pamingit jilid 1 yang Ki Wulungan minta, sudah saya kirim Ki, silahkan panjenengan periksa email.
Hapussaya tunggu konfirmasinya sudah masuk atau belumnya ?
terima kasih.
Saya baru lihat email saya...belum masuk Ki...
BalasHapuskalau begitu, tolong Ki Wulungan email ke saya dulu.
Hapusterima kasih.
maaf Ki Wulungan, masih saya tunggu email panjenengan.
Hapusterima kasih.
Inggih maturnuwun, semoga jadi amal sholeh panjenengan Ki MD Prasetyo.
BalasHapusMatur nuwun Ki MDP mantab๐๐ Tanah Perdikan Pamingit itu kalau di NSSI itu banyu biru milik Ki Ageng Sora Dipayana yg dibelah dua satu utk Ki Gajah Sora satu lagi utk Lembu Sora dan cerita ini kejadiannya diwilayah mana Gajah atau Lembu ??? ...hehehe
BalasHapusterima kasih Ki Adiwaswarna { sesepuh Padepokan Gagakseta } sudah berkenan rawuh di padepokan kecil saya ini.
BalasHapusmaaf Ki Adiwaswarna, dalam cerita Tanah Perdikan Pamingit yang saya tulis ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita NSSI, apalagi tokoh-tokoh di dalamnya, termasuk Gajah Sura dan Lembu Sura.
jika ada kesamaan nama suatu tempat atau seorang tokoh, hanya kebetulan saja.
terima kasih.
Nggih Ki MDP siap memang alur cerita sampai halaman 40 tidak ada sentuhan NSSI tapi sudah jauh kedepannya dan para tokohnya baru semua dimana cerita awalnya bermula dari perselingkuhan dan sangat menarik untuk diikuti karena ada bumbu asmaranya ..hehehe๐๐๐
HapusLanjutken ...!!!
BalasHapusLanjutken....!!! Juga๐๐
BalasHapusSiip, lanjutttt ......
BalasHapus