![]() |
Tanah Perdikan Pamingit 2 |
KATA PENGANTAR
Cerita ini disusun oleh penulis adalah semata-mata ingin ikut melestarikan budaya leluhur yang adi luhung yang mulai tergerus masa di zaman yang semakin modern ini.
Saya selaku penulis merasa, dengan semakin banyak saya menulis justru saya merasa semakin bodoh. Dan saya dapat melangkah sejauh ini adalah semata-mata karena segala bimbingan, dukungan, dan doa dari panjenengan semua.
Maka dari itu saya selaku penulis, hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada panjenengan semua yang tidak dapat saya sebut satu persatu, atas segala bimbingan, dukungan, dan doa yang tidak henti-hentinya kepada saya selaku penulis.
Saya selaku penulis minta maaf, jika nanti dalam penulisan cerita cerita silat ini ada kesamaan tokoh atau tempat dengan cerita lain. Semua itu adalah semata-mata sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan penulis.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin tidak bisa memenuhi keinginan semua pembaca. Hal ini semata-mata adalah karena kebodohan penulis. Jika di dalam cerita silat ini masih banyak kejanggalan, penulis dan tim Padepokan Tanah Leluhur mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Terima Kasih
Padepokan Tanah Leluhur
Mei, 2025
Halaman 1 - 2
* * *
Di malam pada wayah sepi uwong yang sudah semakin larut, dan hawa dingin yang semakin menusuk kulit bagi siapa saja yang masih terjaga. Namun hal itu tidak menyurutkan sekumpulan hewan malam untuk berkeliaran mencari mangsa.
Apalagi pada sebuah daerah yang masih banyak pategalan dan tidak jauh dari hutan yang cukup lebat, meski bukanlah sebuah hutan yang sangat besar.
Pada malam itu di sebuah rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu yang sudah cukup tua. Berjarak beberapa ratus tombak dari dinding Kotaraja Majapahit, masih terlihat sebuah penerangan menyala dari lama rumah.
Terdapat tiga orang yang masih terjaga dan berbincang-bincang, dan sepertinya pembicaraan mereka sangat penting. Sebab malam yang sudah semakin larut ditambah dengan hawa dingin yang menusuk tulang, tidak menghalangi apa yang mereka lakukan.
Tampak tiga orang yang sudah berumur lebih dari paruh baya. Dan jika dilihat dari ciri-cirinya, sepertinya umur mereka tidak berselisih terlalu jauh.
“Sepertinya ada yang sangat penting yang ingin Kakang Prahastana bicarakan bersama kami, sehingga Kakang menyuruh kami berdua datang malam ini juga”. berkata salah satu dari orang yang baru saja datang.
“Benar Adi Jimbunawi, ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian berdua, sehubungan dengan tadi siang aku telah dipanggil menghadap Gusti Prabu Brawijaya”.
“Apakah Gusti Prabu masih bertanya tentang tanda-tanda firasat yang kita sampaikan selama ini, Kakang?”. sahut seorang yang lain.
“Demikianlah Adi Jalendra, tetapi sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, aku rasa sepertinya kita tidak memerlukan penerangan lagi di ruangan ini”.
“Terserah Kakang Prahastana saja, lagipula tidak menjadi soal bagi kita ada penerangan atau tidak”.
“Sepertinya Kakang telah menerima suatu firasat sehubungan dengan penerangan di rumah ini, sehingga berpikir lebih baik memadamkan lampu minyak itu”.
“Baru sebatas dugaan saja, Adi Jimbunawi. Tetapi semoga saja sebuah firasat yang baik bagi kita semua”.
“Semoga saja, Kakang”.
“Lalu bagaimanakah tanggapan Gusti Prabu tentang firasat yang kita terima, Kakang? apakah Gusti Prabu masih meragukan apa yang telah kita sampaikan selama ini?”. potong Ki Jalendra berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Sepertinya sikap Gusti Prabu sudah mulai berubah, dan dalam penilaianku Gusti Prabu mulai mendengarkan apa yang pernah kita sampaikan beberapa waktu yang lalu. Meskipun aku belum mendengar keputusannya secara pasti, namun aku kira kita hanya menunggu saja”.
“Tetapi Gusti Prabu harus segera menentukan sikapnya, sebab keputusannya akan berpengaruh terhadap banyak orang. Dan jangan sampai kita kehilangan waktu yang sangat berharga”.
“Tadi aku sudah menyampaikan hal itu pula, Adi Jimbunawi. Tetapi kita pun harus sadar diri kita itu siapa dan kita berbicara kepada siapa? karena biar bagaimanapun kita tetap harus menunggu titah dari Gusti Prabu”.
“Tapi jika kita menunggu terlalu lama, aku khawatir jika Pasukan Keling akan membuat Pasukan Majapahit semakin porak-poranda, sedangkan kita belum berbuat apa-apa selain hanya bertahan dari semua serangan Pasukan Keling itu”.
Halaman 3 - 4
“Aku menyadari kesulitan apa yang sedang dialami Gusti Prabu, sehingga tidak dapat segera menentukan sikapnya. Karena sudah barang tentu harus memikirkan setiap langkah yang harus diambilnya secara cermat, sebab menyangkut nasib banyak orang”.
“Demikianlah adi Jalendra, tetapi bukankah kita sudah tahu bahwa pepunden kita itu hatinya mulai rapuh sejak mendengar tanda-tanda firasat yang kita sampaikan itu?”.
“Kakang benar. Tetapi selain itu, sejauh ingatanku. Gusti Prabu mulai terlihat berubah sejak Pangeran Jimbun datang menghadap, yang kemudian kita ketahui bersama bahwa ternyata dia adalah putranya dari salah satu selirnya yang dulu dijadikan Putri Triman”.
“Ya… seorang selir yang berasal dari sebuah negeri seberang, tetapi karena Gusti Permaisuri yang tidak senang akan keberadaannya di bumi Majapahit, pada akhirnya membuatnya harus menerima nasib pahit, dan harus pergi setelah mengandung”.
“Dan setelah sekian lama anak yang di dalam kandungan itu, tanpa diduga kini datang untuk mencari bapaknya sebagai pengukir jiwa raganya dengan didampingi para wali pembawa ajaran baru yang waskitha”. sahut Ki Jalendra.
“Dan kebetulan kedatangan Pangeran Jimbun, pada saat bumi Majapahit pamornya sudah semakin menurun. Apalagi sekarang sedang terjadi ontran-ontran yang sangat besar, karena disebabkan oleh serangan Pasukan Keling”.
“Tetapi aku kira, Gusti Prabu sudah mulai mengerti bahwa kedudukannya di bumi Majapahit sudah sangat sulit untuk diselamatkan. Dan menurut perhitunganku, sepertinya Gusti Prabu akan segera mengambil sikap untuk menyingkir”.
“Jika dugaan Kakang Prahastana itu benar, bukankah itu lebih baik? meskipun kita semua tahu bahwa Gusti Prabu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, bahkan sulit dicari bandingnya di bumi Majapahit ini. Tetapi apalah arti seseorang yang berilmu sangat tinggi jika harus menghadapi banyak orang yang berilmu sangat tinggi pula”.
“Adi Jimbunawi benar, seseorang yang memiliki kemampuan sundul langit sekalipun pasti masih ada kelemahannya, dan semua orang pasti memiliki keterbatasannya, karena kesempurnaan itu hanyalah milik Sang Hyang Agung”.
“Syukurlah jika Gusti Prabu menyadari hal itu”.
“Aku kira Gusti Prabu akan segera menyingkir bersama keluarga dan para pengikut setianya, dan mungkin kita akan diperintahkan pula untuk ikut dalam rombongan tersebut, sembari membawa barang-barang bawaan penting yang harus dibawa”.
“Jika bicara barang bawaan, aku kira Gusti Prabu hanya akan membawa harta berharga seperlunya untuk bekal selama di perjalanan, tetapi kemungkinan besar adalah Gusti Prabu tentu akan menyelamatkan kelima pusaka itu”.
“Aku sependapat dengan Kakang Jimbunawi. Meskipun Gusti Prabu sekarang telah menyadari bahwa waktunya sudah hampir habis sebagai pepunden seluruh kawula Majapahit, tetapi hatinya masih menyimpan harapan kepada seseorang untuk melanjutkan gegayuhannya di kemudian hari”.
“Ya… kau benar adi Jalendra, meskipun pepunden itu tidak lagi di bumi Majapahit dan entah dimana pun nantinya. Tetapi aku rasa hal itu tidak menjadi persoalan bagi Gusti Prabu, sebab yang paling penting adalah pemimpin itu benar-benar dapat menjadi pengayom seluruh kawulanya”. sahut Ki Prahastana.
“Bukankah kita pernah membicarakan tentang hal ini? jika waktu ada sejarahnya dan sejarah ada waktunya. Dan berdasarkan tanda-tanda firasat yang kita terima, kita sependapat pula jika sejarah Majapahit ini sudah hampir habis sejarahnya di sepanjang tanah ini, dan akan segera berganti dengan sejarah yang baru?”.
Halaman 5 - 6
“Kita memang mendapat karunia dari Sang Hyang Agung, untuk dapat menerima firasat, lalu mengurainya atas apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tetapi bukankah kita sadari pula bahwa kita tidak dapat menjamin kebenarannya atas apa yang kita uraikan dari setiap firasat yang kita terima?”.
“Kakang Prahastana benar. Meskipun di bumi Majapahit ini kita dikenal sebagai tiga serangkai Juru Nujum, tetapi harus kita sadari pula bahwa kita sebagai manusia itu selain kita dibekali kelebihan oleh Sang Hyang Agung, kita pun dihalangi oleh keterbatasan”.
“Dari keterbatasan kita itu agar selalu dapat dijadikan pengingat kita untuk tidak deksura jika berhasil, dan tidak putus asa ketika menemui sebuah kegagalan. Karena yang memiliki watak sempurna itu hanyalah Sang Hyang Agung”.
Tiga serangkai Nujum Majapahit itu terdiam sejenak, dan untuk mengisi waktu keheningan malam itu, tidak lupa mereka meneguk kembali minuman hangat yang sebenarnya sudah mulai dingin.
Jadah goreng yang tadi masih mengepul saat dihidangkan, kini sudah menjadi hangat dan begitu nikmat ketika disantap dalam suasana malam yang semakin dingin.
“Lalu bagaimana menurut Kakang berdua, tentang kelima pusaka itu?”. bertanya Ki Jalendra di sela-sela menikmati Jadah goreng.
“Berdasarkan firasat yang aku terima, kelima pusaka itu harus segera diamankan sebelum jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Karena jika itu terjadi maka akan menimbulkan masalah baru”.
“Lalu harus diamankan kemanakah kelima pusaka itu?”.
“Sebuah daerah yang aku sendiri belum tahu tepatnya dimana, tetapi dari sini jauh ke arah barat dan berada di antara tiga gunung besar, yaitu Gunung Sumbing, Gunung Sumowono, dan Gunung Merbabu”.
“Apakah yang Kakang Prahastana maksud, sebuah daerah yang berada di tengah-tengah ketiga gunung itu?”.
“Kurang lebih seperti itu”.
“Apakah masih ada petunjuk lain yang dapat kita jadikan pedoman untuk menemukan daerah tersebut?”. sahut Ki Jimbunawi semakin penasaran.
“Sebuah daerah yang memiliki sumber air yang sangat melimpah tetapi masih banyak kawulanya yang kesulitan air jika tidak turun hujan beberapa lama, karena sumur yang sudah digali puluhan tombak pun akan cepat sekali asat”.
“Sebuah daerah yang benar-benar aneh menurutku, atau mungkin baru aku saja yang mendengar ada sebuah daerah yang demikian. Memiliki sumber air yang melimpah, tetapi kawulanya masih banyak yang kesulitan air”. sahut Ki Jimbunawi.
“Aku yang mendapat petunjuk itupun merasa heran, jika ada sebuah daerah yang demikian. Tetapi bukankah kita tidak dapat maido begitu saja sebelum membuktikannya?”.
“Petunjuk batin memang sering aneh-aneh dan di luar penalaran kita, tetapi kita tidak dapat maido begitu saja sebelum mengetahui kebenarannya. Sebab kita pun sering mendapat petunjuk batin yang seperti itu, tetapi kemudian terbukti kebenarannya”.
“Lalu apakah masih ada petunjuk lain, Kakang Prahastana?”. sahut Ki Jalendra, orang yang paling muda diantara ketiganya.
“Daerah itu adalah sebuah daerah yang sangat wingit”.
“Sangat wingit?”. desis Ki Jimbunawi hampir berbarengan.
“Benar… sebuah daerah yang wingit”.
Halaman 7 - 8
“Apakah daerah itu masih banyak dihuni oleh mahkluk-mahkluk yang tidak kasat mata? sehingga disebut sebagai sebuah daerah yang wingit”. sahut Ki Jimbunawi.
“Aku kira juga demikian. Tetapi aku tidak tahu pasti, sebab hanya itu petunjuk yang aku dapatkan dari penglihatan batinku. Dan sementara ini belum ada petunjuk lain yang menerangkan lebih terperinci dari hasil panuwunanku tersebut”.
“Apakah masih ada petunjuk lain, Kakang Prahastana?”.
“Sementara baru itu saja petunjuk yang aku dapatkan dari hasil panuwunanku, adi Jimbunawi”.
“Petunjuk yang masih sangat rumit untuk dapat kita urai”. desis Ki Jalendra tanpa sadarnya.
“Kau benar Adi, petunjuk ini memang masih rumit untuk diurai. Tetapi biar bagaimanapun kita tetap harus berterima kasih kepada Sang Hyang Agung. Sebab kita bukan siapa-siapa dan tidak dapat berbuat apa-apa jika tanpa segala kemurahan dari Sang Hyang Welas Asih kepada kita semuanya”.
“Kakang Prahastana benar, kita memang wajib bersyukur meski petunjuk yang kita dapatkan masih belum memenuhi harapan kita semua secara keseluruhan. Tetapi paling tidak, kita sudah memiliki pancadan untuk melangkah ke arah selanjutnya”. sahut Ki Jalendra dengan kepala tertunduk.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?”.
“Akupun belum tahu pasti, tetapi sebaiknya kita menunggu perintah dari Gusti Prabu. Sebab aku menduga cepat atau lambat Gusti Prabu tentu akan memberikan perintah kepada kita”.
“Jadi menurut Kakang Prahastana, sekarang kita hanya akan menunggu perintah tanpa berbuat apa-apa?”.
“Aku rasa demikian, memangnya apa yang ingin kau lakukan sembari kita menunggu perintah dari Gusti Prabu itu datang?”. sahut Ki Prahastana balik bertanya.
“Aku sendiri pun belum tahu apa yang ingin aku lakukan, Kakang. Sebab pekerjaan menunggu yang kita lakukan ini tidak ada ancer-ancer kapan kita harus mengakhirinya”.
Sejenak suasana menjadi hening, sebab tidak ada yang membuka suara. Namun suara hewan-hewan malam yang berada di kejauhan mampu memecah keheningan untuk beberapa saat.
Meskipun samar, dari kejauhan sempat terdengar suara Burung Kedasih di malam yang sudah mendekati puncaknya. Malam itu semakin lengkap dengan hawa dingin yang semakin menusuk tulang bagi orang-orang kebanyakan.
Tiga orang tersebut memang dikenal sebagai orang yang memiliki kelebihan dalam menerima tanda-tanda alam, lalu mengurainya menjadi sebuah firasat atas apa yang akan terjadi.
Namun selain itu mereka pun memiliki kelebihan pula di dalam kawruh kanuragan, sebab mereka ngangsu kawruh kanuragan pula sejak masih muda.
Mereka memang tidak ngangsu kawruh kanuragan dalam waktu yang bersamaan, selain itu di tempat yang berbeda dan pada guru-guru kawruh kanuragan yang berbeda pula.
Lalu di kemudian hari mereka dipersatukan, setelah sama-sama mendapat kepercayaan dari pepunden tertinggi dari Majapahit setelah melihat kelebihan ketiganya.
Namun di bumi Majapahit, mereka lebih dikenal sebagai tiga serangkai Nujum Majapahit karena kelebihan mereka dalam mengurai segala bentuk firasat atas apa yang bakal terjadi.
Dan orang yang dapat dekat atau bahkan menjadi kepercayaan Prabu Brawijaya tentu bukanlah orang-orang sembarangan, sudah barang tentu mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, di suatu bidang tertentu.
Halaman 9 -10
Ketiganya mengisi keheningan itu dengan menikmati minuman hangat dan jagung rebus yang tersisa, sembari isi kepala mereka terus berpikir apa yang harus mereka lakukan kemudian.
Di rumah yang sangat sederhana dengan pendapa yang tidak begitu besar, ketiga orang tersebut masih belum juga menemukan jawaban yang mereka cari.
Namun dalam perenungan pada malam yang telah memasuki puncaknya, mereka telah dikejutkan oleh suara yang datang begitu tiba-tiba dalam pendengaran yang ditangkap oleh ketiganya.
Sebagai orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, mereka pun memiliki kemampuan untuk mendengar sesuatu lebih baik dan lebih tajam.
Selain itu, di ruangan yang dengan sengaja tanpa penerangan sama sekali di malam yang cukup gelap gulita tersebut, tidak menjadi soal bagi orang-orang linuwih itu.
Sejenak mereka menjadi saling pandang, namun tak terdengar sepatah katapun dari ketiganya, selain hanya pandangan itu untuk saling memberikan isyarat satu sama lain dalam menanggapi atas perkembangan keadaan yang terjadi.
Samar-samar terdengar suara langkah kaki yang semakin lama semakin mendekati rumah tersebut, meskipun orang yang datang itu telah berusaha menyamarkan kedatangannya.
Ketiganya masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan sikap siap untuk menghadapi segala kemungkinan setiap saat, sehubungan dengan kedatangan tamu yang tak diundang tersebut. Apakah dia bermaksud baik, atau justru berniat sebaliknya.
Bukan bermaksud berprasangka buruk, tetapi mengingat kedatangannya pada waktu yang tidak sewajarnya, membuat ketiganya menjadi semakin berhati-hati. Sebab segala kemungkinan masih dapat terjadi.
Apalagi mengingat sekarang di bumi Majapahit sedang terjadi ontran-ontran akibat serangan dari Pasukan Keling. Dan mungkin saja ada Prajurit Sandi lawan yang sedang ditugaskan untuk mengawasi keadaan, beserta orang-orang penting Majapahit.
Orang yang baru saja datang itu semakin mendekati rumah itu, dan dengan kemampuannya yang sangat tinggi, orang tersebut mampu mengenali keadaan sekitar dengan baik meski di bawah pekatnya malam.
Meski orang tersebut berusaha menyamarkan kedatangannya, namun dia memasuki rumah itu melalui halaman depan, lalu berjalan dengan wajar mendekati pendapa yang tampak gelap.
Orang yang baru saja datang dengan seluruh wajahnya ditutupi kain hitam kecuali hanya pada bagian kedua bola matanya saja yang dibiarkan terbuka.
Dengan langkah mantap dia mendekati pendapa, setelah mengetahui bahwa orang yang dicarinya berada disana. Namun setelah sampai di depan tlundak pendapa, dia segera menghaturkan penghormatan, lalu berkata.
“Awan gelap di antara petir yang menyambar-nyambar garang, sementara angin berhembus ke arah Lintang Panjer Sore tanda tengara Sardula mijil”.
Seketika ketiga orang yang berada di pendapa itu terkejut, terutama Ki Prahastana yang segera tahu maksud dari bahasa sandi orang yang baru saja datang tersebut.
“Sendika sabda tri wilangan tan bisa mingkuh”.
“Gagak Seta, Gagak Rimang, Gagak Sasra rumeksa rina kelawan wengi tan kena nang ning nung”.
“Dateng sendika sabda”.
Halaman 11 - 12
“Angin yang berhembus biarlah berhembus hingga menemukan sarangnya, dalam pandangan mata tanpa batas pada luasnya cakrawala yang terhampar”.
“Dimanakah bayangan akan terlihat?”.
“Sumbernya tidak memancarkan bayangan”.
“Dimanakah sumber bayangan?”.
“Hargo Dumilah”.
Mendengar semua keterangan tersebut, sejenak kemudian tiga serangkai Nujum Majapahit itu hanya dapat terdiam untuk meresapi dan merenungi.
Namun tiba-tiba orang yang menyampaikan pesan sandi itu menepuk dada dengan tangan kanannya tiga kali berturut-turut, lalu tanpa mengucapkan apapun lagi dia mulai beranjak pergi. Dan ternyata tidak ada yang berusaha menahan kepergiannya.
Dengan langkah mantap orang tersebut kemudian bergegas meninggalkan halaman rumah itu, lalu menghilang di dalam kegelapan malam.
“Sepertinya kita tidak perlu menunggu lebih lama lagi perintah dari Gusti Prabu, sebab perintah itu telah datang lebih cepat dari dugaan kita semua”.
“Aku rasa justru ini lebih baik, Kakang Prahastana. Sebab keadaan disini sudah semakin kurang baik, akibat serangan dari Pasukan Keling dengan cara yang sangat aneh itu”.
“Aku yakin Pasukan Keling telah mempelajari seluruh kekuatan Pasukan Majapahit hingga bagian terlemahnya dengan sangat baik. Sehingga ketika mereka menyerang, kenapa menggunakan cara ini? cara yang tidak wajar dalam sebuah pertempuran, tentu mereka sudah mempersiapkan dengan sangat matang. Meskipun sekarang Majapahit belum benar-benar jatuh, tetapi aku kira cara itu sudah memiliki tanda-tanda keberhasilan”.
“Aku sependapat dengan Kakang Prahastana, dan cepat atau lambat Majapahit tentu akan jatuh. Selain kita mendapat perintah, tetapi kita memang sebaiknya ikut menyingkir jika tidak mau menjadi tawanan orang-orang dari Keling”.
“Berdasarkan firasat yang aku terima, sepertinya kita memang harus memulai petualangan baru, meski umur kita sekarang sudah tidak muda lagi”.
“Apakah kalian pernah menginjakkan kaki di wilayah yang jauh ke arah barat dari sepanjang luasnya tanah ini? seperti petunjuk yang Kakang Prahastana terima?”.
“Dulu waktu aku masih muda, aku pernah menjelajahi tanah ini hingga jauh ke arah barat. Dan ada sebuah daerah yang membuatku tidak dapat melupakannya hingga sekarang”.
“Apa yang telah terjadi, Kakang?”. sahut Ki Jimbunawi.
“Di daerah itu terdapat sebuah bangunan yang sangat besar dan megah dipergunakan untuk menyembah Sang Hyang Agung, tetapi seluruh bangunan itu hanya dibangun dengan cara batu-batu tersebut ditumpuk, diukir, dan diatur sedemikian rupa hingga membuat bangunan itu terlihat sangat indah”.
“Bukankah di bumi Majapahit pun banyak pula bangunan seperti itu dengan ukiran yang terbuat dari batu pula, Kakang?”.
“Kau benar, Adi Jalendra. Tetapi bangunan yang ada disini tidak ada yang dapat menandingi besar ukurannya bangunan yang pernah aku lihat itu, selain terdapat puluhan stupa, di puncak bangunannya terdapat pula stupa yang paling besar”.
“Apakah sedemikian besarnya?”.
“Jika aku tidak salah hitung, mungkin luasnya bangunan itu beberapa puluh kali luasnya dari halaman rumah ini”.
“He…?”. sahut Ki Jimbunawi dan Ki Jalendra hampir bersamaan karena saking terkejutnya.
Halaman 13 - 14
“Kalian tentu tidak akan percaya jika hanya sekedar mendengar ceritanya saja dan tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, sebab itu memang sulit untuk dapat dipercaya dengan penalaran wajar kita semua”.
“Luar biasa, aku jadi semakin penasaran dengan cerita Kakang ini. Semoga saja aku mendapat kesempatan untuk dapat melihatnya secara langsung”.
“Kemungkinan kau akan mendapat kesempatan itu, Adi Jalendra. Bukankah kita akan pergi ke arah yang sama sehubungan dengan perintah yang telah kita terima?”.
“Meskipun kita pergi ke arah yang sama, tetapi kita semua belum tahu tujuan pasti yang akan kita tuju itu, Kakang Prahastana”.
“Berarti ada kemungkinan kita akan mendapat kesempatan itu jika tugas kita telah selesai, atau bahkan dalam tugas kita mendapat kesempatan secara langsung untuk melintasi tempat itu”.
“Semoga saja, Kakang”.
*****
Sementara itu kita tinggalkan dulu segala hiruk-pikuknya bumi Majapahit yang sedang terjadi ontran-ontran yang sangat dahsyat akibat serangan dari Pasukan Keling.
Di sebuah kademangan yang memang sangat terkenal karena kewingitannya, sebab di daerah itu masih sering terjadi gangguan dari para makhluk tak kasat mata terhadap masyarakat sekitar.
Makhluk tak kasat mata itu secara terang-terangan sering mengganggu ketentraman kawula sekitar dengan segala tindak-tanduknya, terutama jika malam telah tiba.
Keadaan itu jelas sangat meresahkan dan membuat ketakutan orang-orang sekitar, namun mereka semua tidak dapat berbuat apa-apa, sebab mereka sendiri tidak memiliki kemampuan untuk dapat melawan gerombolan tersebut.
Sejauh orang-orang sekitar yang pernah melihat atau mendengar, ada beberapa jenis makhluk tak kasat mata tersebut. Dari hantu Pocong, Kuntilanak, Genderuwo, bahkan pernah pula ada yang melihat Banaspati.
Keadaan ini jelas sangat meresahkan dan membuat orang-orang yang pernah melihatnya menjadi bergidik ngeri, bahkan yang baru mendengar ceritanya saja ikut merasa takut dan ngeri, dan berharap tidak akan pernah bertemu dengan mereka.
Namun dari semua jenis makhluk halus yang paling meresahkan adalah gerombolan para Buto, karena selain menakut-nakuti, mereka tak segan-segan untuk menyakiti dan bahkan menculik para korbannya tersebut.
Sebenarnya para kawula Kademangan Kali Amba tidak tinggal diam, dan pernah beberapa kali ada orang yang merasa memiliki kemampuan untuk melawan gerombolan tak kasat mata yang berwujud Buto itu.
Namun mereka semua pada akhirnya tunggang gelanggang dari pertempuran karena mengalami kekalahan untuk menaklukkan para Buto yang memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dan nggegirisi sehingga sangat sulit untuk dapat dikalahkan.
Bahkan orang-orang Kademangan Kali Amba sudah berusaha meminta bantuan kepada orang sekitar, orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengatasi.
Tetapi pada akhirnya hasilnya masih hampir sama saja, gerombolan para Buto itu masih sangat sulit untuk dikalahkan, meskipun sudah dihadapkan dengan lawan yang dianggap memiliki kemampuan sangat tinggi.
Kejadian itu berlangsung sudah cukup lama di kademangan itu dan sekitarnya, sehingga membuat banyak orang seakan menjadi gila karena tekanan lahir dan batin yang mereka alami sekian lama dan tak kunjung teratasi.
Halaman 15 -16
Dan selama ini yang banyak menjadi korban keganasan para Buto itu adalah bayi yang baru lahir dan belum genap selapan hari serta gadis perawan tertentu.
Namun gerombolan Buto menculik bayi atau gadis perawan itu kebanyakan dilakukan pada saat wulan ndadari, selain waktu tersebut mereka biasanya hanya menakut-nakuti saja.
Sementara itu di kademangan tersebut sedang terjadi kekosongan kepemimpinan, sebab belum lama ini mereka telah kehilangan Ki Demang karena telah dipanggil Yang Maha Welas Asih.
Sehingga semakin mempersulit orang-orang di kademangan tersebut untuk dapat mengatasi semua itu. Meskipun pada saat Ki Demang masih hidup pun tidak dapat mengatasi masalah itu, tetapi paling tidak masih dapat dijadikan sandaran bagi kawulanya.
Atau paling tidak, mungkin saja Ki Demang dapat membantu mencarikan jalan keluar yang palin baik bagi seluruh kawulanya dari segala kesulitan tersebut, sebab Ki Demang yang mereka kenal adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Namun apalah daya? semua itu hanyalah tinggal harapan kosong bagi seluruh kawula Kademangan Kali Amba. Dan seakan mereka adalah sekumpulan anak-anak yang berada di kandang harimau garang dan ditinggal mati oleh orang tuanya.
Apalagi tidak ada pewarisnya yang dapat melanjutkan jabatan itu karena Ki Demang tidak memiliki anak, sehingga jabatan itu untuk sementara ditangguhkan oleh para bebahu setelah mereka mengadakan musyawarah bersama, sebab belum ada yang berani menduduki jabatan tersebut.
Sebenarnyalah Ki Demang memiliki seorang anak, namun sudah sekian lama menghilang entah kemana, sejak setelah terjadi ontran-ontran di dalam rumah tangganya beberapa waktu yang lampau dan hingga kini belum juga kembali.
Anak perempuan Ki Demang itu, entah sekarang masih hidup atau sudah mati ditelan bumi. Sebab sudah sekian lama tidak pernah ada kabarnya, apalagi ingat jalan pulang.
Hingga kedua orang tuanya telah menghembuskan nafasnya yang terakhir pun tidak nampak batang hidungnya sama sekali meski hanya sekejapan mata guna mengobati kerinduan kedua orang tuanya selama ini yang hatinya merasa benar-benar merasa sangat terpukul sejak kepergian anak perempuannya tersebut.
Malam memang sudah semakin malam, bahkan sudah melewati wayah sepi uwong. Namun di sebuah rumah masih terlihat beberapa orang masih berkumpul, dan sepertinya memang ada hal penting yang masih mereka bicarakan.
Rumah itu memang bukanlah rumah salah satu dari bebahu, tetapi dia adalah salah satu orang yang termasuk dituakan di kademangan tersebut.
Sebuah rumah yang tidak begitu besar, dengan pendapa yang tidak begitu besar pula. Tetapi terlihat nyaman dan asri untuk ditinggali para penghuninya.
“Semakin hari tempat kita ini semakin tidak aman saja, tetapi hingga hari ini kita masih belum dapat mengatasi masalah itu meski sudah kita upayakan dengan berbagai cara”. ucap orang yang terlihat sudah lebih dari paruh baya tersebut.
“Kakang Renggong benar, kita memang sudah berusaha sejauh kemampuan yang kita miliki, tetapi hasilnya masih saja nihil. Lalu harus dengan cara apa lagi kita dapat mengatasi masalah ini?”. sahut orang yang sedikit lebih muda.
“Adi Sumbo, aku rasa kita tidak ada jalan lain, selain kita meminta bantuan dari luar kademangan ini, sebab kita semua tahu, bahwa orang-orang Kali Amba ini tidak ada yang mampu mengatasi masalah ini”. sahut orang pertama tadi.
Halaman 17 - 18
“Maaf Kyai Renggong, bukankah kita sudah beberapa kali mencoba cara itu? tetapi semuanya menemui kegagalan, bahkan ada pula yang mengalami nasib buruk ketika berusaha memberantas para Buto tersebut?”.
“Ki Dukuh Lawang benar, selama ini kita sudah mencoba cara itu beberapa kali dan semuanya gagal. Tetapi apakah dengan demikian kita hanya akan berdiam diri berpangku tangan dengan keadaan?”.
“Bagaimana jika kita menemui kegagalan lagi? dan kita semua akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi akibat kegagalan tersebut? karena para Buto itu tentu akan menjadi semakin marah, sebab kita sudah berusaha melawan mereka?”. sahut Ki Dukuh Lawang dengan perasaan ragu dan suara perlahan.
Mendengar jawaban itu, seketika wajah Kyai Renggong menjadi berubah merah padam, namun hanya sekejap. Sepertinya dia sedang berusaha menahan dirinya, namun akhirnya.
“Apakah Ki Dukuh Lawang rela jika keluarga kita, saudara kita, dan tetangga-tetangga kita menjadi korban keganasan gerombolan para Buto itu? dan apakah kita hanya akan menutup mata dan menutup telinga kita rapat-rapat melihat semua itu?”. sahut Kyai Renggong dengan suara meninggi.
“Maaf Kyai Renggong, bukan itu maksudku hanya akan berpasrah diri dengan keadaan ini, tetapi bukankah selama ini kita memang tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi para Buto yang sangat mengerikan itu?”.
“Maka dari itu, Ki Dukuh Lawang. Maksudku mengumpulkan kalian semua disini sekarang itu dengan maksud untuk mencari jalan keluar kesulitan kita selama ini, barangkali di antara kita ada yang memiliki gagasan? karena tentu saja, kita tidak dapat membiarkan semua ini berlarut-larut, sebab jika itu yang terjadi maka akan semakin banyak jatuh korban”.
Semua orang yang hadir hanya dapat terdiam, namun akhirnya.
“Kakang Renggong benar, sebab aku telah mendapat laporan lagi, bahwa beberapa hari yang lalu ada seorang gadis Sendang Kapit Pancuran tiba-tiba menghilang dari rumahnya pada saat menjelang Wulan Ndadari. Dan hingga kini, setelah dua hari dari kejadian tersebut aku belum mendapatkan laporan sudah dapat ditemukan atau belum gadis tersebut”.
“Selama ini para Buto itu memang tidak menjadikan semua orang di daerah ini menjadi sasaran korbannya, melainkan hanya bayi dan para gadis dengan tanda-tanda khusus”.
Semua orang hanya terdiam mendengar keterangan tersebut, sebab apa yang mereka dengar itu memang benar adanya dan tidak ada yang dapat dibantah oleh siapapun.
“Memang tidak semua bayi menjadi sasaran mereka, tetapi kebanyakan bayi tersebut adalah bayi yang baru lahir dan belum genap selapan hari. Sedangkan untuk para gadis, yang kita semua tahu adalah Perawan Ontang-Anting, Perawan Sendang Kapit Pancuran, dan Perawan Sukerta”.
“Kyai Renggong benar, tetapi bedanya, jika bayi yang menjadi sasaran tidak akan pernah ditemukan kembali. Sedangkan para gadis itu akan kembali setelah tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari kemudian. Tetapi keadaannya menjadi seperti kehilangan kepribadian dan menjadi seperti bocah ling-lung”.
“Itulah yang membuat kita semua sangat prihatin akan keadaan ini, maka dari itu bagaimana caranya kita harus segera menemukan cara untuk menghentikan segala kengerian ini, agar kita semua dapat hidup tenang dalam kehidupan bebrayan”.
“Kakang Renggong benar, kita harus dapat menemukan cara untuk mengatasi semua ini. Jika kita tidak berdaya mengatasinya, maka kita harus mencari bantuan. Meski selama ini semuanya menemui kegagalan, tapi hal itu jangan membuat kita menjadi kehilangan harapan, dan anggap saja kita belum dapat menemukan orang yang tepat untuk dimintai pertolongan”.
Halaman 19 -20
“Aku sependapat denganmu, Adi Sumbo. Dan sebaiknya kita memang harus lebih berhati-hati lagi untuk mencari bantuan, agar orang yang kita mintai pertolongan itu tidak mengalami nasib yang paling buruk di dalam hidupnya, dan yang paling penting adalah kita dapat keluar dari kesulitan ini”.
“Tetapi pertanyaannya sekarang adalah kita akan meminta bantuan kemana dan kepada siapa lagi, Kakang Renggong?”.
“Aku pun belum tahu, Adi Sumbo”. sahut Kyai Renggong dengan wajah lesu.
Sejenak suasana menjadi hening, orang-orang yang berada di tempat itu masih kebingungan dengan isi kepala mereka sendiri untuk mencari jalan keluar.
“Apakah diantara kalian tidak ada yang mengenal atau pernah mendengar sebuah nama yang dapat kita jadikan sandaran untuk dimintai pertolongan?”. ucap Kyai Renggong setelah beberapa saat masih saja belum ada yang membuka suara.
“Tidak Kyai, aku memang pernah mendengar beberapa nama yang dianggap memiliki kelebihan, tetapi aku tidak yakin jika di antara mereka akan mampu membantu kita untuk dapat keluar dari kesulitan ini. Sebab sangat berbeda sekali jika kita harus melawan mahkluk yang kasat mata seperti kita ini”.
“Ki Dukuh Krajan benar, kita tidak dapat melawan para Buto ini dengan bekal kawruh kanuragan seperti kebanyakan, seseorang harus memiliki kemampuan khusus untuk dapat mengatasi gerombolan para Buto ini”. sahut Kyai Sumbo.
“Jika kita belum mampu mengatasi masalah ini, sebaiknya kita perbanyak memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih agar segera mendapat pertolongan seperti yang kita harapkan”.
“Kyai Renggong benar, sebaiknya kita memang memohon pertolongan kepada Yang Maha Tunggal. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk dengan masalah ini sehingga kita sampai lupa untuk meminta petunjuk kepada Yang Maha Agung”.
“Semoga Yang Maha Agung tidak murka kepada kita karena telah melupakannya selama ini”. sahut Kyai Renggong dengan wajah masih lesu.
“Sebaiknya kita sama-sama nenuwun”.
Sejenak suasana menjadi terdiam lagi untuk beberapa saat, isi kepala semua orang yang berada di pendapa rumah yang tidak begitu besar itu sibuk dengan penalaran masing-masing.
“Semoga tidak akan ada jatuh korban lagi, hingga kita dapat menemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini”.
“Kita semua berharap demikian”.
“Sejak kepergian Ki Demang, kita semua seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Dan yang membuat keadaan ini semakin memprihatinkan adalah belum ada orang yang dapat menggantikan kedudukan tersebut”. sahut Ki Dukuh Lawang.
“Ki Demang memang adalah orang yang luar biasa, tetapi bukan berarti dengan kepergiannya berakhir pula kehidupan kita semua. Hidup ini harus terus berjalan, meskipun kita telah kehilangan orang yang mampu mengayomi kita semua”.
“Benar apa yang dikatakan Adi Sumbo, dan kita dapat mengambil contoh dari Ki Demang itu sendiri. Bagaimana dia tetap tegar meski harus kehilangan anak semata wayangnya yang menghilang entah kemana, bahkan hingga Ki Demang menghembuskan nafasnya yang terakhir pun anaknya tidak pernah kembali”.
“Menurut kalian, bagaimana dengan kademangan kita ini? akan sampai kapan kademangan kita ini tidak memiliki seorang pemimpin? sebab hingga saat ini belum ada yang berani menggantikannya sejak kepergian Ki Demang Kali Amba”. sahut Kyai Renggong setelah ingat akan hal itu.
Halaman 21 - 22
“Maaf Kyai Renggong, sebenarnya aku telah mendengar ada beberapa nama yang sudah menyatakan kesanggupannya untuk menjadi seorang demang, tetapi mereka kemudian mengurungkan niatnya karena…”.
“Karena apa, Ki Dukuh Krajan?”.
“Karena banyak dari kawula Kademangan Kali Amba ini, terutama para pemuda meminta syarat, bagi siapa saja yang ingin menjadi Demang, harus mampu mengatasi gerombolan para Buto yang telah meresahkan kita terlebih dahulu, dan itulah yang membuat para calon, mundur perlahan”.
“Akupun telah mendengar pula kabar tersebut, meskipun aku tidak lebih hanyalah salah satu orang yang dituakan disini dan bukanlah termasuk salah satu bebahu di kademangan ini, tetapi aku telah mendapat laporan dari beberapa orang tentang hal itu”.
“Tetapi jika kita pikir-pikir ada benarnya juga, untuk apa kita memiliki pemimpin yang tidak mampu mengeluarkan kawulannya dari kesulitan?”. sahut Kyai Renggong sembari menganggukkan kepalanya beberapa kali perlahan.
“Sebenarnya keadaan ini dapat teratasi, jika saja kita dapat meminta bantuan kepada Majapahit yang menaungi daerah ini. Tetapi sayang sekali, di Majapahit itu sendiri sekarang sedang terjadi ontran-ontran akibat serangan dari Pasukan Keling, sehingga mustahil kita dapat meminta bantuan”.
“Akupun mendengar kabar itu pula, Ki Dukuh Krajan. sehingga mau tidak mau kita harus mengatasi masalah ini sendiri tanpa dapat mengharapkan bantuan dari Majapahit”.
“Apakah Kyai Renggong dan Kyai Sumbo tidak berminat untuk menjadi seorang Demang?”. sahut Ki Dukuh Gilingan yang sejak tadi lebih banyak diam.
“He…?”. sahut kedua orang tersebut hampir berbarengan dalam keterkejutannya, namun pada akhirnya hanya tersenyum.
“Seandainya aku dapat mengatasi para Buto itupun, bukan berarti karena aku menginginkan kedudukan itu, Ki Dukuh Gilingan. Semua itu semata-mata atas dasar panggilan jiwaku terhadap kewajiban kepada sesama. Tetapi pada kenyataannya aku tidak dapat berbuat apa-apa”.
“Akupun sepemikiran dengan apa yang telah dikatakan oleh Kakang Renggong, aku tidak menginginkan kedudukan itu, meski seandainya dapat mengatasi para Buto tersebut”.
“Meskipun kalian bukan termasuk para bebahu kademangan ini, tetapi kalian termasuk orang yang dituakan disini karena kelebihan dan umur kalian. Dan jika kalian saja tidak dapat mengatasi para Buto itu, apalagi kami yang tidak lebih baik dari kalian berdua”.
“Bukankah tadi kita sudah sepakat? bahwa kita akan sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar kita semua dapat segera keluar dari segala kesulitan ini bersama-sama pula?”. sahut Kyai Renggong mengingatkan.
“Mungkin kami memang memiliki sedikit kelebihan, tetapi kami tidak pernah merasa lebih baik dari kalian. Karena kita sebagai manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing”. Kyai Sumbo ikut menimpali.
Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi kembali, kecuali hanya terdengar sekumpulan hewan malam yang terkadang terdengar samar dari kejauhan.
Orang-orang yang hadir kemudian menjadi sibuk mulutnya guna menikmati hidangan yang disuguhkan, yaitu minuman hangat dan beberapa potong makanan yang mulai dingin.
Namun tiba-tiba…
“Sepertinya aku ingat akan sebuah nama, yang mungkin dapat kita mintai pertolongan”. ucap Kyai Renggong.
“Benarkah?”. sahut hampir semua orang yang hadir.
Halaman 23 - 24
“Namun aku belum yakin akan dapat dengan mudah untuk menemukannya, lagipula aku sama sekali belum pernah bertemu langsung dengan orang tersebut”. berkata Kyai Renggong dengan suara perlahan dalam keraguan.
“Apakah demikian sulitnya untuk dapat menemukan orang itu, Kakang?”. sahut Kyai Sumbo dengan kening berkerut, sementara yang lain hanya dapat terdiam tertegun mendengarnya.
“Aku tidak tahu, Adi Sumbo. Sebab aku hanya mendengar ceritanya saja tentang orang itu, lagipula aku mendengar namanya sudah sangat lama sekali, sehingga menambah keraguanku”.
“Tetapi maaf, Kyai Renggong. Bukan maksudku untu meragukan, tetapi apakah kiranya orang itu benar-benar dapat diandalkan untuk dapat mengatasi masalah yang sedang kita hadapi ini?”.
“Aku mengerti maksudmu, Ki Dukuh Krajan. Kau pasti khawatir karena selama ini orang yang kita mintai pertolongan semuanya mengalami kegagalan, bahkan baberapa di antaranya mengalami nasib yang sangat buruk”.
“Demikianlah, Kyai Renggong. Maaf Kyai, aku hanya tidak ingin orang yang kita mintai pertolongan itu justru akan kembali menjadi bebanten di Kademangan Kali Amba ini”.
“Aku sangat menghargai sikapmu, Ki Dukuh Krajan. Dan aku sependapat denganmu, jangan sampai kesulitan kita ini menyeret korban baru. Sebab jika itu yang terjadi, bukan kita menyelesaikan masalah tetapi justru akan menambah masalah baru”.
“Demikianlah maksudku, Kyai”.
“Apakah Kakang tidak memiliki gambaran serba sedikit tentang orang yang Kakang maksud itu? berdasarkan cerita yang pernah Kakang dengar dulu?”.
“Kalau masalah kemampuan orang itu, aku memang telah mendengar serba sedikit, tetapi akupun belum dapat memastikan, sebab aku belum penah bertemu langsung apalagi mengenalnya secara pribadi. Jadi aku belum berani menilai secara jelas tentang orang tersebut”.
“Lalu bagaimana kita akan megambil sikap jika kita sendiri belum yakin akan orang itu?’.
“Ki Dukuh Lawang benar, tetapi bukankan akan lebih baik jika kita mencobanya, meski betapapun kecilnya kemungkinan kita akan berhasil. Namun bukankah itu lebih baik? daripada kita hanya tetap berpangku tangan disini dan hanya menunggu nasib buruk itu datang kembali?”.
“Maksud Kyai Renggong?”. bertanya Ki Dukuh Lawang dengan rasa penasaran.
“Karena aku yang tahu cerita tersebut, maka aku sendirilah yang akan mencarinya”.
“Lalu akan mencari kemanakah, Kyai Renggong untuk dapat menemukan orang tersebut?”.
“Aku belum dapat mengatakannya sekarang, sebab aku sendiri belum yakin dengan kebenaran cerita ini. Jika aku berhasil maka akan menjadi keberuntungan kita semua, tetapi jika aku gagal, maka aku tidak terbebani dengan rasa malu”.
“Kenapa Kyai Renggong harus malu? bukankan Kyai tidak berbuat sesuatu yang memalukan?”.
“Kau benar, Ki Dukuh Krajan. Tetapi mungkin hanya perasaanku saja yang merasa malu, jika nanti apa yang aku lakukan akan menemui kegagalan”.
Semua orang yang hadir tidak menanggapi lebih jauh ucapan orang yang dituakan di kademangan tersebut, sebab mereka dapat memaklumi maksudnya.
“Lalu… kapan rencana Kakang untuk berangkat mencari orang yang Kakang maksud itu?”.
Halaman 25 - 26
“Aku rasa semakin cepat aku berangkat maka akan semakin baik, agar kita semua dapat segera keluar dari bencana yang telah berlangsung berlarut-larut ini”.
“Apakah Kyai Renggong akan berangkat sendiri? tetapi jika Kyai memerlukan kawan, maka kami akan menyiapkannya”.
Orang yang mendapat pertanyaan itu sejenak menjadi terdiam untuk merenungi hal tersebut, sebab biar bagaimanapun bepergian bersama kawan akan lebih baik daripada hanya seorang diri.
Paling tidak di dalam perjalanan akan ada orang yang dapat diajak berbincang, sehingga sedikit banyak akan dapat mengurangi ketegangan selama dalam pencarian orang yang dituju.
“Setelah aku pikir-pikir, memang sebaiknya aku mengajak kawan agar dapat menjadi saksi perjalananku, selain dapat membantu jika aku menemui kesulitan”.
“Kyai memerlukan berapa kawan? biar nanti kami siapkan pada saat keberangkatan”.
Namun pertanyaan dari Ki Dukuh Krajan tidak segera mendapat jawaban, justru Kyai Renggong menoleh ke arah adik laki-lakinya, lalu bertanya.
“Adi Sumbo?”.
“Ada apa Kakang?”.
“Apakah kau mau mengawani aku?”.
“Tentu saja jika Kakang Renggong menginginkan hal itu, aku akan senang sekali melakukannya”.
“Jika demikian, aku rasa aku tidak memerlukan tambahan kawan lagi untuk menyertai perjalananku”. berkata Kyai Renggong seraya memandangi orang-orang yang hadir.
“Maaf Kyai Renggong, apakah tidak ada pilihan lain?”.
“Apakah aku salah?”.
“Tidak Kyai, bukan begitu maksudku. Tetapi bukankah Kyai Renggong sendiri tahu, bahwa jika kalian berdua pergi maka tidak ada lagi orang yang memiliki kemampuan seperti kalian. Aku khawatir jika nanti selama kalian pergi akan terjadi sesuatu disini”.
“Apa yang dikatakan Ki Dukuh Krajan benar, kami harap Kyai Renggong mempertimbangkannya lagi keputusan itu. Apalagi kepergian kalian dalam waktu yang tidak dapat ditentukan”.
Tanpa sadar Kyai Renggong kemudian memandang ke arah adik laki-lakinya dengan kening berkerut, sejenak kemudian memandang berkeliling ke arah orang-orang yang hadir.
Tampak wajah-wajah para bebahu Kademangan Kali Amba yang harap-harap cemas, mendengar jawaban berikutnya dari salah satu orang yang mereka tuakan tersebut.
Karena memang benar adanya, dua orang kakak beradik itu adalah orang yang memiliki kelebihan yang tatarannya cukup jauh di atas orang-orang Kademangan Kali Amba, terutama di bidang kemampuan kawruh kanuragan.
Sehingga para bebahu merasa sangat berat hati jika harus ditinggalkan oleh kedua orang tersebut, karena selama ini keduanya telah menjadi pengayom pengganti sejak Ki Demang dipanggil oleh Yang Maha Welas Asih.
Sekarang Kyai Renggong menjadi bimbang untuk mengambil sikap setelah mendengar permintaan para bebahu, apalagi dirinya tahu bahwa keadaan kademangan sedang tidak baik-baik saja.
“Kalau begitu, bagaimana jika aku pergi sendiri saja?”. ucap Kyai Renggong pada akhirnya.
“Jangan, Kyai. Sebaiknya Kyai Renggong tetap mengajak kawan, satu atau beberapa orang, hanya saja Kyai mengajak orang lain selain Kyai Sumbo untuk ikut serta”.
Halaman 27 - 28
“Tetapi aku rasa tenaga kalian tentu lebih dibutuhkan disini, daripada hanya mengawani perjalananku yang masih belum jelas arah tujuan dan hasilnya”.
“Apakah Kyai sudah mengambil keputusan?”.
“Sepertinya sebaiknya aku pergi sendiri saja, agar tidak mengurangi kekuatan yang ada”.
“Apakah Kyai keberatan dengan kawan perjalanan yang kami tawarka? karena mungkin hanya akan menjadi beban perjalanan saja nantinya?”.
“Ah… maaf Ki Dukuh Krajan, kau jangan salah paham dan tersinggung dulu akan maksudku. Sebenarnya aku tidak keberatan sama sekali siapapun yang akan kalian tawarkan untuk mengawani perjalananku, tetapi bukankah tenaga mereka jauh lebih dibutuhkan disini daripada hanya untuk mengawani perjalananku?”.
“Kyai Renggong benar, tetapi bukankah perjalanan Kyai itu juga tidak kalah berbahayanya?”.
“Maka dari itu sebaiknya kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi keselamatan kita semua, dan semoga perjalananku akan membawa hasil seperti yang kita harapkan”.
“Maaf Kyai Renggong, bukan maksudku…”.
“Sudahlah Ki Dukuh Krajan, aku mengerti. Kau tidak perlu merasa segan apalagi merasa bersalah atas keputusanku ini. Kita harus saling memahami bahwa keadaanlah yang membuat kita berbuat seperti ini”. potong Kyai Renggong cepat.
Para bebahu yang tadi sempat merasa tidak mapan karena gagasan itu, kini menjadi dapat berlega hati setelah mendengar penjelasan dari salah satu orang yang mereka tuakan tersebut.
“Terima kasih atas pengertian, Kyai Renggong. Meski sebenarnya aku khawatir dengan perjalanan Kyai yang akan berangkat seorang diri, lalu kapan Kyai akan berangkat?”.
“Jika tidak ada halangan, sepertinya aku akan berangkat besok pagi. Setelah fajar menyingsing”.
“Jika demikian, kami hanya dapat membantu nenuwun kepada Yang Maha Agung bagi perjalanan Kyai Renggong. Semoga perjalanan Kyai tidak mendapat halangan berarti, selamat sampai tujuan, dan syukur-syukur dapat membawa hasil seperti yang kita semua harapkan”.
“Kita sama-sama nenuwun”.
*****
Sementara pada saat yang hampir bersamaan, terlihat beberapa orang sedang berjalan kaki semakin menjahui dinding Kotaraja Majapahit yang terkenal sangat ketat penjagaan dan keamanannya, terutama dalam beberapa waktu terakhir setelah adanya serangan dari Pasukan Keling.
Jika dilihat dari ciri-ciri yang mereka kenakan, orang-orang itu layaknya orang-orang kebanyakan. Tetapi tidak hanya terdiri dari para laki-laki, tetapi ada pula terlihat beberapa perempuan.
Entah akan pergi kemana rombongan itu pada saat malam telah melewati puncaknya, dan mereka sepertinya memang sengaja tidak membawa obor sama sekali untuk membantu penerangan selama perjalanan di bawah gelapnya malam.
Wajah-wajah cemas dan penuh kegelisahan seakan terpancar dari beberapa orang di antaranya, tetapi di sepanjang perjalanan yang mereka lalui mereka hampir tidak terdengar membuka suara.
Beberapa orang tampak membawa barang bawaan yang mereka bungkus dengan kain panjang dan mereka gendong di punggung dan ada pula yang hanya sekedar dijinjing.
Jika dilihat dari langkah-langkah kaki yang berjalan, sepertinya perjalanan mereka cukup tergesa-gesa untuk dapat segera sampai di tempat yang dituju atau mungkin karena alasan lain.
Halaman 29 - 30
Perjalanan yang terlihat rumit dan berat bagi beberapa orang, terutama bagi para perempuan yang tidak terbiasa dengan sebuah perjalanan panjang, apalagi dalam kegelapan malam yang sangat menghalangi pandangan.
Mereka sudah tidak memperhatikan lagi apa yang mereka injak, sebab yang penting bagi mereka adalah kaki tidak terasa sakit ketika menginjakkan kaki di tanah, maka tidak menjadi soal.
Namun entah mengapa sepertinya mereka tidak berani mengeluh sama sekali dengan keadaan yanga ada, meski langkah kaki mereka sudah terasa semakin berat karena mulai merasa kelelahan.
Rombongan yang berisikan hampir sepuluh orang itu sepertinya memang sengaja mengambil jalan yang tidak biasa, sebab mereka terlihat sering menerobos semak belukar dan tumbuhan apa saja yang ada di depannya selama itu bukanlah pohon-pohon besar.
Dua orang yang berada di barisan paling depan sejak tadi di tangannya terlihat memegang pedang, guna menyingkirkan apa saja yang berusaha menghalagi perjalanan.
Terlihat tebasan-tebasan pedang yang begitu terampil telah diperlihatkan oleh keduanya guna membantu kawan-kawannya agar terhindar dari segala rintangan yang mengganggu di sepanjang perjalanan, apalagi ketika memasuki hutan-hutan kecil yang masih rungkut oleh tumbuhan liar yang berbagai jenis.
Selain beberapa orang yang tampak memancarkan wajah kegelisahan. Namun ada sesesorang yang sudah tampak sepuh, tetapi sejak tadi terlihat tetap tenang dan melangkahkan kakinya dengan penuh keyakinan.
Secara pandangan mata menilai, mungkin umur orang tersebut sudah lebih dari sembilan puluh warsa. Namun masih terlihat segar meski pada umurnya yang sudah sangat lanjut.
Langkah kakinya masih terlihat mantap melangkah meski sudah berjalan hampir sepanjang malam, dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia mengalami kelelahan.
Perjalanan panjang di hampir sepanjang malam yang sangat melelahkan itu, tanpa terasa di hamparan luasnya cakrawala telah terlihat lintang panjer rina.
Pertanda bahwa tidak lama lagi, tentu di sisi sebelah timur akan muncul sang surya yang akan menerangi seluruh tempat itu dan bahkan sepanjang luasnya tanah yang mereka pijak.
Tiba-tiba orang yang tampak paling sepuh itu memalingkan wajahnya ke arah belakang, lalu mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang ikut berjalan bersamanya.
“Sebaiknya kita istirahat dulu, kalian tentu lelah”.
Ucapan itu seketika menghentikan langkah kaki semua orang yang berada dalam rombongan, mereka menjadi saling pandang satu sama lain.
“Baik Gusti”. sahut salah satu dari mereka.
“Sudah aku katakan, kalian jangan memanggilku seperti itu lagi. Panggilan itu hanya tinggal menjadi cerita, sebab mulai sekarang kita akan menjalani hidup seperti orang kebanyakan”. sahut orang yang sudah sangat sepuh tersebut.
“Ampun Gusti, hamba belum terbiasa”.
“Maka dari itu, biasakanlah sejak sekarang”.
“Baik Gusti”.
“Sekali lagi aku mendengar hal itu, aku tidak akan segan-segan menampar kalian”.
“Baik Ka..kang”. sahut orang itu sembari ketakutan.
“Nah… itu nyatanya kau dapat melakukannya?”.
Halaman 31 - 32
“Aku berusaha keras untuk dapat melakukannya”.
“Ingat, mulai sekarang sikap kalian semua harus berubah seperti itu. Karena sejak sekarang pula, selain kita memang sengaja menyamarkan keberadaan kita agar tidak terendus oleh orang-orang yang bermaksud buruk, kita akan memulai sebuah kehidupan baru yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya”.
“Baik Kakang, semoga kami akan selalu dapat mengingat semua pesan dari Kakang”.
“Aku kira perjalanan kita sudah cukup jauh dan aku rasa sudah cukup aman jika kita menyisihkan waktu barang sejenak untuk beristirahat, kalian tentu merasa lelah”.
“Aku memang sudah lelah sekali, Kakang”. sahut salah satu perempuan yang terlihat sudah berumur lebih dari paruh baya.
“Sebaiknya kita beristirahat dulu disini, lagipula aku mendengar sumber air yang mengalir tidak jauh dari tempat ini. Menikmati minuman hangat dan beberapa suap makanan tentu akan membuat tubuh kita yang kelelahan akan segera segar kembali”.
Rombongan itu beristirahat di sebuah pinggiran hutan, yang kanan kirinya masih banyak terdapat pohon-pohon besar tumbuh dengan liarnya.
Selain itu bersamaan dengan munculnya sang surya dari balik gunung disisi sebelah timur, sehingga membuat tempat itu sudah tidak berselimutkan kegelapan, meskipun masih remang-remang karena cahayanya masih terhalang rimbunnya pepohonan.
Tanpa harus menunggu perintah, beberapa orang telah membagi tugas masing-masing. Ada yang mencari sumber air, mencari kayu bakar, dan ranting-ranting kering agar dapat membuat perapian.
Sedangkan orang yang tadi dipanggil kakang, kemudian duduk di sebelah seorang perempuan pada sebuah pohon yang tidak begitu besar dan telah lama roboh entah kenapa.
“Apa kau lelah?”.
“Iya Kan…”.
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, bukan hanya berlaku bagi mereka, tetapi bagi semuanya. Termasuk kau pula”. potong laki-laki tersebut.
“Maaf Kakang, aku masih terbawa lupa”.
“Dunia kita sekarang sudah berbeda, bahkan jauh berbeda. Aku mengerti bahwa memang tidak mudah untuk melupakan semua itu, tetapi mulai sekarang kita harus benar-benar melupakannya. Bukan hanya sekedar melupakan dalam pikiran kita, tetapi dalam tindakan sehari-hari yang bakal kita jalani”.
“Kakang benar, kita harus melupakan semua itu benar-benar harus secara lahir dan batin”. sahut perempuan itu dengan suara perlahan sembari menunduk.
“Aku minta maaf kepada kalian semua, karena aku telah membawa kalian semua ke jurang kesengsaraan”.
“Kakang tidak perlu minta maaf, karena semua ini memang bukan salah Kakang, tetapi keadaanlah yang membuat kita semua harus menjalani semua ini”.
“Aku sependapat, Kakang Angkawijaya tidak perlu minta maaf. Tentu semua ini tidak terlepas dari kehendak Sang Hyang Agung, yang menginginkan kita semua harus menjalani semua ini”.
“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kesetiaan kalian semua, ternyata kalian tidak hanya setia ketika aku meraih kamukten, tetapi kalian juga tetap setia ketika aku sudah tidak menggenggam kamukten itu”.
“Bagi kami kesetiaan dalam pengabdian itu tidak hanya sekedar dilihat dari kamukten seseorang, tetapi kesetiaan itu adalah seberapa jauh kita rela berkorban kepada pepunden, baik dalam keadaan suka maupun duka sepanjang umur kita”.
Halaman 33 - 34
“Aku benar-benar terharu mendengar ucapanmu, Ki Jaganala. Dan tidak ada lagi yang dapat aku sampaikan kepada kalian semua, kecuali rasa terima kasih dari hatiku yang terdalam”.
“Kami semua memang sudah bersumpah, bahwa kami akan setia mengabdi kepada Kakang Angkawijaya sepanjang hidup kami, bagaimanapun keadaan Kakang”.
“Mulai sekarang kalian lupakanlah bahwa kita adalah atasan dan bawahan. Sebab mulai sekarang, aku ingin kita menjadi saudara dan sebagai sebagai sebuah keluarga”.
“Terima kasih atas kepecayaan Kakang Angkawijaya kepada kami semua, dan aku harap kami tidak akan pernah mengecewakan Kakang dan Mbakyu”.
“Selama ini mataku telah terbutakan oleh kamukten yang aku dapatkan, sehingga aku melihat kehidupan ini hanya dari tempatku berada saja. Ternyata menjalani hidup sebagai orang kebanyakan itu jauh lebih menyenangkan, dan justru aku menemukan ketenangan yang selama ini hampir tidak pernah aku rasakan”.
“Memang jika kita menjalani kehidupan bebrayan sebagai orang kebanyakan itu tidak membuat hati kita kemrungsung, sehingga hati kita menjadi lebih tenang untuk menatap hari esok”.
“Kau benar, Ki Jaganala”.
“Maaf Kakang Angkawijaya, apakah aku dibolehkan untuk bertanya sesuatu?”.
“Katakakanlah! kenapa kau masih saja merasa segan kepadaku?”. sahut Ki Angkawijaya dengan kening yang terlihat semakin berkerut.
“Tapi jika pertanyaanku ini nanti dianggap deksura, Kakang Angkawijaya tidak perlu menjawabnya”.
“Katakan saja, Ki Gunung Sari! mulai sekarang kau harus merubah sikapmu pula kepadaku, kau tidak perlu lagi segan secara berlebihan kepadaku dan istriku”.
“Terima kasih, jadi begini, Kakang”. Ki Gunung Sari sempat berhenti sejenak. Lalu, “Apakah Kakang yakin akan menjalani kehidupan bebrayan sebagai orang kebanyakan? sebab sejauh pengetahuanku, bukankah Kakang Angkawijaya ini masih memiliki keluarga Trah Kusuma Rembesing Madu? bahkan keluarga yang masih memiliki hubungan secara langsung”.
Terdengar sebuah suara tarikan nafas yang panjang dan berat dari Ki Angkawijaya mendengar pertanyaan tersebut, lalu diedarkan pandangan matanya berkeliling untuk melihat wajah-wajah orang yang ikut bersamanya, lalu memandang api yang menyala.
“Maaf jika pertanyaanku ini terlalu deksura, Kakang”. berkata Ki Gunung Sari yang menjadi merasa bersalah ketika melihat orang di hadapannya tidak segera menjawab dan justru malah tercenung.
Suasana menjadi hening karena tidak ada yang membuka suara, semua orang yang hadir menunggu jawaban dari Ki Angkawijaya dengan harap-harap cemas, terutama Ki Gunung Sari.
“Sepertinya tekadku sudah bulat untuk menjalani kehidupan bebrayan seperti orang kebanyakan, Ki Gunung Sari. Jadi aku tidak akan mengganggu ketenangan sanak kadangku, lagipula aku sudah tidak silau lagi dengan gebyarnya kamukten yang ada di kehidupan bebrayan agung ini”.
Semua orang yang ada di tempat itu tidak ada yang berani menanggapi sepatah katapun, dan sebagian di antaranya sibuk dengan tugasnya masing-masing.
“Aku sudah jenuh melihat gebyarnya kamuten, dan disisa umurku ini aku hanya ingin lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung dengan melaksanakan dharma-dharma yang selama ini sering aku lupakan, dan semoga saja aku tidak mendapat murka-Nya karena kelalaianku ini”.
“Sejauh pengetahuanku, bukankah Sang Hyang Agung tidak akan pernah menutup pintu maaf dari setiap hamba-Nya yang ingin bertobat? selama hamba-Nya tersebut melakukan tobatnya dengan bersungguh-sungguh dan sepenuh hati secara lahir batin”.
Halaman 35 -36
“Semoga aku termasuk salah satunya”.
“Aku yakin dan percaya jika Kakang Angkawijaya tentu akan bersungguh-sungguh secara lahir dan batin dalam melakasanakan semua itu. Dan tentu Sang Hyang Agung tentu lebih tahu apa yang ada di dalam setiap hamba-Nya”.
“Sejak pertama Ki Nujum menyampaikan kepadaku, bahwa kamukten yang aku dapatkan tidak akan lama lagi. Maka secara naluriah aku mulai memikirkan disisa umurku untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung”.
“Begitu rupanya”.
“Jadi keputusan yang aku buat ini bukanlah sebuah keputusan yang datang dengan serta merta, tapi keputusan ini sudah aku pikirkan masak-masak”.
“Semoga kuputusan yang Kakang pilih ini adalah keputusan terbaik”. sahut Ki Gunung Sari sembari membenarkan perapian.
“Aku juga berharap demikian”.
Sejenak kemudian hanya terdengar riuhnya sekumpulan burung pagi yang bernyanyi bersama kawanannya di atas dahan-dahan pohon di sekitar tempat itu.
Pada suasana pagi yang sudah mulai terang karena cahaya matahari yang semakin banyak terpancar, meski udara masih saja terasa dingin di tempat tersebut.
Pada akhirnya minuman hangat dan makanan ala kadarnya pun telah siap untuk dihidangkan di hadapan mereka semua, kemudian mereka pun segera menikmati hidangan itu bersama-sama.
Hidangan yang baru saja masak itu ternyata sangat menyegarkan tubuh mereka yang merasa kelelahan setelah melakukan perjalanan hampir di sepanjang malam serta udara dingin yang seakan menusuk tulang.
Beruntunglah pada malam itu tidak turun hujan, meski langit sempat gelap karena berselimutkan mendung. Namun ternyata angin telah membawa awan mendung itu ke tempat lain, sehingga mereka semua terhindar dari air hujan di sepanjang perjalanan.
“Maaf Kakang, sebenarnya ada yang masih membuat hatiku tidak mapan. Apakah aku dapat bertanya?”. ucap Ki Jaga Nala tiba-tiba sembari menikmati makanan di tangannya.
“Katakanlah!”.
“Kenapa Kakang tidak berusaha mempertahankan kamukten yang Kakang miliki? bukankah semua itu hak Kakang? dan kenapa Kakang justru lebih memilih untuk menyingkir daripada mempertahankan kamukten itu?”.
Mendengar pertanyaan tersebut, tiba-tiba Ki Angkawijaya menghetikan mulutnya yang sedang mengunyah makanan, lalu termenung beberapa saat.
“Maaf jika pertanyaanku ini terlalu deksura, Kakang. Dan Kakang tidak perlu menjawab pertanyaanku ini jika Kakang tidak ingin menjawabnya”. berkata Ki Jaganala yang merasa bersalah karena pertanyaannya tersebut.
“Aku akan menjawabnya setelah aku menyelesaikan makananku”. sahut orang tua itu, yang mulutnya masih mengunyah makanan.
Terdengar suara tarikan nafas yang panjang dari beberapa orang yang hadir di tempat itu, sebagai pertanda mereka merasa lega dan bersyukur bahwa pertanyaan itu tidak menyinggung pepundennya.
Kemudian pembicaraan itu terhenti karena mereka menjadi sibuk untuk menyelesaikan makanan mereka masinh-masing. Dan setelah selesai Ki Angkawijaya segera membersihkan tangan dan mulutnya dari sisa-sisa makanan.
Halaman 37 - 38
“Sepertinya tidak ada gunanya lagi jika aku menutup-nutupi semua ini, dan aku akan menceritakan kepada kalian semua tentang apa yang sebenarnya terjadi”.
Ki Angkawijaya kemudian terdiam sejenak sembari mengedarkan pandangannya berkeliling, tidak ada yang menanggapi. Namun mereka sudah menunggu cerita selanjutnya.
“Berdasarkan penalaranku sendiri, lalu semakin diperkuat lagi dengan petunjuk dan pendapat tiga serangkai Nujum Majapahit yang aku percaya. Sepertinya aku telah sampai pada batas kamukten yang selama ini aku genggam”.
“Bukan kami bermaksud untuk mendahului kehendak Sang Hyang Agung, tetapi berdasarkan banyak hal yang kami temukan dan kemudian kami bicarakan. Dan pada akhirnya kami sepakat bahwa jika aku berusaha mempertahankan kamukten itu, maka hanya akan menjadi pengorbanan dalam kesia-siaan saja”.
“Lalu kenapa Kakang Angkawijaya memutuskan untuk menyingkir dari bumi Majapahit?”.
“Jika aku tetap berada di Majapahit, tentu aku dan keluargaku akan menjadi tawanan Pasukan Keling yang sedang rakus akan kamukten, bahkan mungkin akan menjadi tawanan di sisa umurku, kecuali jika aku mau bersekutu dengan mereka”.
“Dan itu yang aku tidak mau, sebab jika aku bersekutu dengan mereka tentu akan bertentangan dengan hati nuraniku. Sehingga aku putuskan, bahwa lebih baik menyingkir”.
“Lagipula di sisa umurku ini, penalaranku telah menuntunku agar hidup dengan tenang dan penuh kedamaian, selain itu aku ingin melaksanakan dharma dalam kehidupan bebrayan ini sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh para leluhurku”.
“Lalu kenapa Kakang berusaha menyamarkan jati diri? dan tidak ingin dikenali lagi sebagai Trah Kusuma Rembesing Madu? Dan Kakang memerintahkan untuk menyebarkan berita bahwa Kakang masih berada di Majapahit?”.
“Meskipun kebohongan yang berusaha aku sebarkan itu cepat atau lambat akan diketahui, tetapi dalam waktu yang cepat atau lambat itu dapat kita manfaatkan untuk menyingkir sejauh mungkin dari orang-orang yang memusuhi kita”.
“Apakah ada kemungkinan Pasukan Keling akan mengejar kita setelah mengetahui bahwa kita telah melarikan diri?”.
“Segala kemungkinan dapat saja terjadi, Ki Jaganala. Tetapi menurut penalaranku, Pasukan Keling yang akan mengejar kita tentu tidak akan sebanyak jika kita tetap berada di Majapahit. Sehingga jika mereka dapat menemukan kita, maka masih ada kemungkinan kita untuk dapat melawan atau bahkan dapat mengalahkannya”.
“Apakah mereka tidak memperhitungkan keberadaan Kakang?”.
Ki Angkawijaya sejenak memandang ke arah kawannya tersebut, yang membuatnya seketika menunduk meski pandangan itu tidak lama, tetapi dari waktu yang sangat singkat itu seakan Ki Angkawijaya dapat membaca isi hatinya.
“Aku tahu maksudmu, Ki Jaganala. Tetapi jika tujuan mereka adalah mengejar kita, tentu mereka tahu akan keberadaanku. Sehingga tentu saja mereka telah menyiapkan pasukan yang menurut mereka harus dapat mengalahkan kita”.
Semua orang hanya terdiam dan belum berani menanggapi ucapan itu, sembari menunggu ucapan selanjutnya.
“Dengan demikian, tentu mereka akan menyiapkan orang-orang pilihan dan bukan orang sembarangan dalam mengemban tugas tersebut. Jika mereka tidak dapat mencarikan lawan tanding bagiku, maka tentu mereka akan mengatasi hal itu dengan menambah jumlah orangnya”.
Halaman 39 - 40
“Meski mereka akan menambah jumlah orangnya, tetapi apakah mereka tidak tahu bahwa lawannya yang akan mereka buru adalah orang yang sangat sulit dicari bandingnya dalam olah kridane ing payudan di bumi Majapahit?”.
“Kau jangan terlalu berlebihan, Ki Jaganala. Bukankah kau tahu bahwa kemampuan seseorang itu pasti memiliki keterbatasan, meski dia memiliki kemampuan hingga sundul langit sekalipun? dan apalah arti kemampuanku seorang diri jika harus menghadapi beberapa orang yang berilmu tinggi sekaligus?”.
Orang-orang yang mendengar hanya dapat terdiam dan tidak berani menyahut dalam keadaan menundukkan kepala, namun mereka berusaha meresapi setiap kata yang didengar menurut kemampuan masing-masing.
“Segala apa yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna, dan pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jika ada orang yang berilmu tinggi, tentu ada orang lain yang memiliki ilmu lebih tinggi lagi. Seperti petuah orang-orang tua, di atas langit itu tentu masih ada langit”.
“Mungkin sekarang kalian menganggap aku adalah orang yang seakan tak terkalahkah, tetapi perlu kalian semua tahu, bahwa entah kapan waktunya aku tentu akan bertemu dengan orang yang berilmu lebih tinggi, entah sebagai kawan ataupun lawan”.
“Hidup ini ibarat cakra manggilingan, jadi tidak ada orang yang paling kuat, paling dug-deng, dan paling sempurna di dunia ini. Semua memiliki batasannya masing-masing, kecuali hanya Sang Hyang Agung Yang Maha Sempurna”.
Ki Angkawijaya kemudian menghentikan mulutnya yang sejak tadi terus saja berbicara, guna meneguk minuman yang masih tersisa, untuk kemudian diteguknya hingga habis sama sekali. Sementara orang-orang di sekitarnya masih saja terdiam sembari meresapi setiap kata yang mereka dengar, benar atau tidaknya apa yang baru saja mereka dengar.
“Maaf Kakang Angkawijaya, jika aku diizinkan untuk bertanya. Apakah Kakang benar-benar ingin melepas Majapahit begitu saja? tanpa berpikir untuk berbuat sesuatu?”. bertanya Ki Jaganala.
Kali ini Ki Angkawijaya yang menjadi terdiam karena pertanyaan tersebut, dan tiba-tiba di dalam penalarannya terlintas berbagai kejadian yang telah terjadi dan yang mungkin bakal terjadi. Setelah beberapa saat merenung.
“Menurutku, ini adalah jalan terbaik yang aku pilih, Ki Jaganala. Dan aku merasa sudah tidak akan merindukan gebyarnya kamukten yang bagaimanapun bentuknya, sehingga aku menempuh jalan hidup seperti ini. Hidup dengan damai, karena disisa umurku ini aku hanya ingin mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung”.
“Maaf Kakang, Aku dapat mengerti maksud dari ucapan Kakang Angkawijaya. Tetapi menurut penalaranku, Kakang jangan hanya memikirkan diri sendiri, tetapi Kakang harus memikirkan pula nasib seluruh kawula Majapahit”.
“Apa maksudmu, Ki Jaganala?”.
“Maaf Kakang, apakah Kakang tidak berusaha berbuat sesuatu? terutama kepada kawula Majapahit yang selama ini sangat menjunjung tinggi keberadaan Kakang Angkawijaya di tengah-tengah mereka?”.
Seketika Ki Angkawijaya memadang ke arah orang yang berada di hadapannya tersebut dengan kening berkerut dan penuh tanda tanya. Sehingga membuat Ki Jaga Nala terkejut dan segera menundukkan kepala dengan perasaan takut salah bicara.
“Bukankah Ki Jaganala tahu? kita sekarang berada di tempat ini karena kita tidak memiliki kemampuan untuk melawan Pasukan Keling yang telah menyerang Majapahit. Lalu apa yang harus aku lakukan dalam ketidakberdayaanku ini?”.
“Bukankah Kakang Angkawijaya masih memiliki sanak kadang yang menurut perhitunganku memiliki kemampuan, baik secara pribadi maupun kemampuan untuk menghimpun pasukan segelar sepapan guna membebaskan kawula Majapahit dari belenggu orang-orang Keling?”.
Halaman 41 - 42
Ki Angkawijaya hanya dapat tercenung mendengar apa yang dikatakan kawannya tersebut, berbagai pertimbangan mulai muncul di isi kepalanya. Namun sebelum dirinya menjawab, kawannya sudah berbicara lebih lanjut.
“Maaf jika aku lancang, Kakang. Tetapi dalam penalaranku pribadi, seharusnya Kakang jangan hanya memikirkan diri sendiri, karena biar bagaimanapun Kakang ini pernah menjadi pepunden seluruh kawula Majapahit. Apakah Kakang tega melihat mereka dalam belenggu orang-orang Keling?”.
Kata-kata itu seakan benar-benar memukul-mukul dinding hatinya sedemikian kuatnya, hingga membuatnya semakin tenggelam kedalam perenungan yang semakin dalam.
“Kakang dapat saja meninggalkan gebyarnya kamuten begitu saja, tetapi yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dengan nasib seluruh kawula Majapahit yang Kakang tinggalkan berada dibawah pengaruh orang-orang Keling?”.
“Aku sependapat dengan Ki Jaganala, tentu mereka tidak dapat berbuat apa-apa jika seandainya orang-orang Keling memaksakan kehendak mereka terhadap para kawula Majapahit. Karena mereka tidak memiliki kemampuan jika ingin melawan”. sahut Ki Gunung Sari ikut menimpali.
“Kakang Angkawijaya memang tidak salah jika memilih jalan ini, tetapi Kakang harus memikirkan nasib para kawula Majapahit pula. Sebab jika tidak, maka Kakang nanti akan dibayangi nasib mereka ketika berusaha mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung”.
“Ki Jaganala benar, tentu hal itu akan dapat mengganggu pemusatan laku Kakang dalam berusaha mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung”.
Dari wajah Ki Angkawijaya semakin tampak muram dan kepalanya menunduk semakin dalam mendengar ucapan kedua kawannya tersebut.
Berbagai pertimbangan akan segala kemungkinan yang bakal terjadi semakin memenuhi isi kepalanya dalam waktu yang sedemikian cepatnya.
Namun mulutnya masih terasa kelu untuk berkata sesuatu dalam beberapa saat, hanya sekumpulan burung pagi berbagai jenis yang terdengar memecah kesunyian tempat itu dengan kicauannya yang beraneka macam suara.
Seakan burung-burung itu berusaha membantu menghibur orang yang sedang dilanda kebingungan yang sangat dengan nyanyian riangnya dari tempat dimana mereka hinggap, akibat besarnya perkara yang harus dihadapinya sekarang.
“Lalu… menurut kalian, siapakah orang yang kalian maksud memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kawula Majapahit dari belenggu orang-orang Keling?”.
Sejenak kemudian Ki Jaganala dan Ki Gunung Sari menjadi saling pandang, pandangan yang menyiratkan isyarat untuk bicara guna mewakili.
“Menurut pendapatku, untuk saat ini Kakang Angkawijaya memiliki dua pilihan. Satu dari Pengging dan yang kedua dari Bintoro, syukur-syukur jika keduanya mau bersatu, maka akan menjadi sebuah kekuatan yang sangat besar”. berkata Ki Jaganala.
Mendengar jawaban tersebut, Ki Angkawijaya kembali terdiam dan mencoba mempertimbangkan segala kemungkinan yang bakal terjadi jika hal itu benar-benar terjadi.
Sebagai orang yang sudah pupus kawruh lahir dan batinnya, Ki Angkawijaya tentu memiliki pengalaman dan penalaran yang sangat luas sebagai dasar pertimbangan atas apa yang akan diputuskannya, bahkan hingga kemungkinan yang tak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya sekalipun.
Halaman 43 -44
“Ki Prahastana pernah menyampaikan kepadaku, berdasarkan isyarat-isyarat yang dia terima. Pemimpin besar di tanah ini setelah Majapahit habis sejarahnya adalah berasal dari arah barat, meskipun belum ada petunjuk lebih lanjut”. desis Ki Angkawijaya tanpa sadarnya.
“Semoga itu adalah salah satu dari Pengging atau Bintoro? atau bahkan mungkin dari keduanya yang mau bersatu?”.
“Aku belum tahu Ki Jaganala, tetapi semoga saja. Bagiku tidak menjadi soal siapapun yang akan memimpin tanah ini, karena bagiku yang paling utama adalah dia dapat menjadi pemimpin yang adil bagi kawulanya, sehingga menciptakan kehidupan bebrayang yang gemah rimah loh jinawi, tata titi tentrem, karta raharja”.
“Aku sependapat dengan Kakang Angkawijaya, tidak menjadi soal siapapun orangnya dan dari manapun asalnya, karena yang paling utama sebagai seorang pemimpin itu adalah dapat mengayomi seluruh kawulanya dalam keadaan apapun”.
“Demikianlah Ki Jaganala, meskipun dia berasal dari Trah Kusuma Rembesing Madu, tetapi jika dia justru menyengsarakan kawulanya, untuk apa?”.
“Lalu… apa yang ingin Kakang Angkawijaya lakukan?”.
“Setelah aku pikir-pikir lagi tentang gagasan kalian, sepertinya aku memang harus berbuat sesuatu untuk para kawula Majapahit, meski bukan aku sendiri yang akan turun tangan”.
Dua orang kepercayaan Ki Angkawijaya itu menjadi saling pandang dengan penuh tanda tanya atas apa yang bakal dilakukan kemudian oleh pepundennya.
“Aku akan mencoba membuat hubungan dengan Pengging dan Bintoro, dan semoga saja mereka dapat membantu kesulitan para kawula Majapahit dibawah belenggu dari orang-orang Keling yang telah aku tinggalkan itu”.
“Aku kira itu adalah cara yang paling baik yang dapat Kakang lakukan sekarang”.
“Semoga saja Ki Jaganala, lagipula pada sisa umurku yang sepertinya tidak lama lagi, sudah tidak sepantasnya jika masih sibuk dengan urusan keduniawian”. sahut Ki Angkawijaya yang memang sudah sangat sepuh.
“Kakang benar”.
“Jika aku terus memikirkan urusan keduniawian, aku rasa tidak akan pernah habisnya sampai kapanpun. Dan itu justru akan membuatku semakin jauh dari Sang Hyang Agung. Sementara kita lupa bahwa umur kita itu ada batasnya”.
“Aku sependapat”.
“Jika kita terus sibuk dengan gebyarnya dunia, maka kita akan lupa bahwa pada saatnya kita akan meninggalkan semua ini menuju alam kelanggengan. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah kita sudah cukup bekal untuk menyongsongnya?”.
“Gebyarnya dunia ini memang sangat menyilaukan, hingga banyak orang yang kehilangan arah karena saking menyilaukannya bebrayan agung ini”. sahut Ki Gunung Sari dengan suara perlahan.
“Padahal di dunia ini tidak akan bakal lepas dari karma baik dan karma buruk, karena itu bagian dari pertanggung jawaban kita kepada Sang Hyang Agung pada saatnya nanti”.
“Kakang Angkawijaya benar, dan semua itu tergantung atas apa yang kita lakukan selama hidup di dalam bebrayan agung ini. Karena karma baik dan karma buruk itu berasal dari tindak-tanduk kita sendiri”.
“Sepertinya kita tidak dapat terlalu berlama-lama di tempat ini, kita masih belum aman sepenuhnya”. ucap orang sepuh itu.
Halaman 45 - 46
“Baiklah Kakang, kami akan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan lagi”.
“Tetapi sebelum kita benar-benar berangkat, aku ingin mengutus beberapa orang untuk menyampaikan pesanku kepada Pengging dan Bintara”. sahut Ki Angkawijaya, lalu mengedarkan pandangan matanya berkeliling.
“Apakah Kakang akan mengutus aku?”. bertanya Ki Jaganala yang mengurungkan niatnya untuk bersiap.
“Tidak, aku rasa sebaiknya mereka saja”. sahut Ki Angkawijaya sembari menunjuk ke arah beberapa orang di hadapannya, yang semuanya laki-laki.
“Oh… tadinya aku kira aku, yang akan Kakang utus”.
“Aku rasa tenaga Ki Jaganala dan Ki Gunung Sari lebih aku butuhkan bersamaku, jadi aku memilih mereka”.
“Baiklah, terserah Kakang saja”.
“Kalian berempat, mendekatlah!”.
Sejenak kemudian, orang-orang yang merasa dirinya ditunjuk segera mendekat ke hadapan Ki Angkawijaya yang masih duduk di atas sebuah pohon yang roboh, lalu mengangguk hormat.
“Kalian berempat, aku bagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama pergilah ke Pengging, dan kelompok yang kedua pergilah ke Bintara. Katakan kepada mereka bahwa kalian adalah utusanku, dan aku tunggu mereka di Gunung Lawu segera”.
“Maaf Ki Angkawijaya, bukankah Gunung Lawu bukan tempat yang sempit? adakah petunjuk akan sebuah tempat atau apapun yang dapat dijadikan sebagai ancer-ancer?”.
“Katakalah kepada mereka, bahwa aku tunggu mereka paling lambat hingga hari soma manis, atau hampir dua pekan lagi dari sekarang, di sisi kaki Gunung Lawu berpijak tanpa bayangan”.
“Apakah masih ada pesan yang lain?”. sahut salah satu dari mereka, mewakili kawan-kawannya.
Orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu terlihat diam sejenak, berusaha memikirkan pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sejenak kemudian, dia kembali bersuara.
“Aku rasa tidak ada lagi”.
“Baiklah… jika tidak ada yang akan Ki Angkawijaya sampaikan lagi kepada kami, maka kami minta tambahan pangestu untuk segera berangkat mendahului rombongan ini”.
“Pangestuku akan selalu menyertai kalian semua, tapi ingat! kalian berhati-hatilah di sepanjang perjalanan, dan hindarilah sejauh mungkin hambatan yang sekiranya tidak dapat kalian atasi. Dan jika tugas kalian telah selesai segeralah menyusulku, ke tempat yang tadi sudah aku sebutkan”.
“Baik Ki Angkawijaya, kami akan selalu berusaha mengingat pesan itu di sepanjang perjalanan, dan akan segera kembali jika kami sudah berhasil melaksanakan tugas ini”.
“Kalian tidak perlu menunggu orang yang mendapat pesan ini, yang penting kalian sudah menyampaikan pesan ini kepada orang yang aku maksud”.
“Baik Ki Angkawijaya, kami mengerti”.
“Sekarang aku persilahkan kalian untuk segera berangkat”. sahut orang yang sudah sangat sepuh itu, tetapi sorot matanya masih terlihat begitu tajam di wajahnya yang sudah banyak berkeriput.
Sejenak kemudian, keempat orang yang mendapat tugas itu menyampaikan hormatnya sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan tujuan masing-masing.
Sebab dari keempat orang itu, dua orang menuju Pengging dan yang dua orang yang lain akan menuju tempat yang lebih jauh, yaitu di sekitar hutan Bintara yang berada di pesisir utara.
Halaman 47 - 48
Meski mereka memiliki tujuan tempat yang berbeda, namun dari tempat itu mereka masih berangkat bersama-sama hingga setelah beberapa saat menghilang di antara rimbunnya semak belukar yang ada di sekitar tempat tersebut.
“Sebaiknya kitapun segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan, karena jika kita terlalu lama berada disini aku khawatir orang-orang yang berniat buruk akan segera datang”.
Dan ucapan itu sepertinya tidak perlu diulangi lagi, karena orang yang tersisa di tempat itu dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan pepundennya.
Merekapun segera membereskan semua peralatan ala kadarnya yang baru saja dipergunakan, lalu tidak lupa mereka mematikan api hingga benar-benar mati. Agar tidak membahayakan sekitar tempat itu jika telah ditinggal pergi.
Sebab akan sangat berbahaya sekali jika mereka meninggalkan api menyala yang betapapun kecilnya, akan dapat membesar karena tiupan angin. Bahkan hingga dapat membakar sekitar tempat itu, sebab banyak daun kering dan tumbuhan yang mudah terbakar.
Akhirnya rombongan itupun melanjutkan kembali perjalanannya setelah dirasa cukup beristirahat. Dan kini dalam rombongan itu tinggal terdiri dari tujuh orang, empat laki-laki dan tiga perempuan.
“Apakah kau lelah, Nyi?”. bertanya Ki Angkawijaya kepada istrinya yang berjalan di sebelah kirinya.
“Sebenarnya cukup lelah, tetapi bukankah kita harus tetap melanjutkan perjalanan?”. sahut Nyi Angkawijaya sembari terus berjalan sembari menunduk dan pandangan matanya lebih terpusat pada jalan yang akan dilaluinya.
“Untuk sementara kuatkanlah tubuhmu hingga kita melewati Kali Brantas, karena aku telah memerintahkan rombongan kecil yang membawa beberapa kuda dan pedati untuk menunggu disana. Jadi setelah itu, perjalanan ini tidak terasa berat lagi bagimu”.
“Syukurlah kalau begitu, tadinya aku kira kita akan terus berjalan kaki hingga sampai ke tujuan”.
“Sudah barang tentu, aku tidak akan hanya memikirkan diri sendiri. Sebagai pemimpin rombangan, aku harus memikirkan setiap orang yang berada di rombongan ini”.
“Aku mengerti bahwa aku tentu hanya akan menjadi beban dalam rombongan ini, maka pada awalnya aku tidak ingin ikut. Tetapi Kakang memaksaku, jadi apa boleh buat”.
“Bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu yang bakal dirundung bahaya?”.
Nyi Angkawijaya hanya terdiam dan tidak dapat berkata apa-apa guna menganggapi jawaban suaminya sembari tetap terus melangkahkan kakinya menyusuri jalan yang agak rumpil.
Rombongan tersebut memang sengaja menyusuri jalan yang tidak biasa dilalui orang, agar tidak menarik perhatian. Agar perjalanan mereka tidak menjadi pertanyaan bagi orang-orang yang mungkin akan melihatnya.
Maka dari itu perjalanan mereka lebih banyak keluar masuk hutan, menerobos semak belukar yang menghalangi langkah kaki, naik turun tebing yang tidak terlalu terjal.
Sebuah perjalanan yang sangat berat, terutama bagi Nyi Angkawijaya yang tidak biasa melakukannya. Terlebih lagi dirinya adalah Trah Kusuma Rembesing Madu yang terbiasa menjalani kehidupan yang hampir segala sesuatunya dilayani.
Tapi sejak sekarang, dirinya harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang harus bersusah payah seperti layaknya hidup bebrayan seperti orang kebanyakan.
Menjalani hidup yang demikian memang sangatlah berat, namun dirinya berusaha untuk tidak mengeluh pada keadaan. Karena biar bagaimanapun itu adalah pilihan hidup yang paling baik baginya.
Halaman 49 - 50
* * * * *
Sementara itu matahari masih tampak malu-malu untuk menampakkan diri dari balik gunung yang menjulang, sinarnyapun masih belum mampu menerangi seluruh tanah ini hingga jarak pandangan mata yang jauh.
Namun suara ayam jantan berkokok masih terdengar bersahut-sahutan dari tempat mereka masing-masing, selain itu sekumpulan burung pagi yang sudah tampak berterbangan kesana kemari mulai terdengar riuh.
Udara pagi memang masih mengandung kabut tipis dan embun dingin, namun terasa menyegarkan bagi tubuh yang bersiap untuk menyambut hari baru dengan melaksanakan kewajiban dan pekerjaan masing-masing.
Ada yang bekerja ke sawah, di pategalan, dan beberapa pekerjaan kasar lainnya, tetapi dari mereka lebih banyak yang pergi ke pategalan untuk pekerjaannya.
Kademangan Kali Amba kebetulan tidak banyak terdapat area persawahan sebagai lahan pertanian yang dapat dijadikan sumber kehidupan kawulanya. Sebab kademangan itu bukanlah daerah pegunungan, tetapi termasuk dataran tinggi yang sulit untuk lahan persawahan.
Dikarenakan sumber air yang ada, hanya mengalir di kademangan bagian bawah dan kademangan yang bagian atas sering kesulitan sumber air jika hujan terlalu lama tidak turun, meski mereka telah menggali sumur yang sangat dalam.
Dan itulah salah satu alasan, kenapa para kawula Kademangan Kali Amba lebih banyak yang menempati wilayah bagian bawah daripada yang bagian atas.
Tetapi kebetulan di Kademangan Kali Amba terdapat pula sebuah pasar, meskipun bukanlah sebuah pasar yang besar. Tetapi sudah dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari orang-orang sekitarnya.
Sebab di pasar itu tidak hanya menjual kebutuhan sehari-hari, tetapi juga tempat berkumpulnya penjual dan pembeli hewan ternak yang berukuran kecil hingga sedang, seperti ayam dan kambing yang berada disudut pasar.
Selain itu, di pasar tersebut terdapat pula yang menjual hasil kerajinan tangan. Seperti, tikar yang dibuat dari daun mendong, anyaman bambu yang berbagai macam, termasuk kreneng atau brongsong buah klengkeng jika pada saat musimnya.
Kebetulan Kademangan Kali Amba dan sekitarnya banyak terdapat buah klengkeng yang berbagai macam, dari jenis Klengkeng Ageng, Klengkeng Batu, hingga Klengkeng Kopyor.
Namun dari ketiga jenis klengkeng yang ada, jenis Klengkeng Kopyor adalah jenis yang paling kurang diminati oleh pembeli karena rasanya yang kurang manis dan lebih sering hambar, daging buahnya pun lebih tipis.
Tetapi pasar itu tidak hanya dikunjungi oleh orang-orang dari kademangannya sendiri, tetapi banyak pula dari orang sekitarnya yang tidak memiliki pasar, ikut meramaikan pada saat hari pasaran. Dua hari dalam sepekan, yaitu pada wage dan pahing.
Di waktu yang masih pagi-pagi sekali Kyai Sumbo sudah berada di rumah kakaknya, yang kebetulan jarak rumahnya tidak terlalu jauh, sekitar hanya beberapa ratus tombak.
“Apakah Kakang yakin dengan rencana Kakang itu?”. berkata Kyai Sumbo memulai pembicaraan setelah keduanya duduk di atas bangku kayu di ruang dalam.
“Sebenarnya aku yakin tidak yakin, tapi aku rasa itu jauh lebih baik jika aku mencobanya daripada kita hanya berpangku tangan saja menunggu nasib”.
Halaman 51 - 52
“Kakang Renggong benar, tapi yang aku maksud itu adalah orang yang bakal Kakang mintai pertolongan itu. Apakah petunjuk yang pernah Kakang dengar itu dapat dipercaya kebenarannya?”.
“Semoga saja, Adi Sumbo. Tetapi jika nanti aku menemui kesulitan, maka aku akan mencari keterangan dari siapapun yang sekiranya dapat membantuku”.
“Mumpung tidak ada orang lain disini, apakah aku boleh tahu akan kemanakah tujuan Kakang sebenarnya?”.
Mendengar pertanyaan tersebut, terdengar suara tarikan nafas yang panjang dari Kyai Renggong. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu penalarannya.
“Apakah Kakang merasa keberatan jika aku mengetahuinya?”. berkata Kyai Sumbo, menanggapi sikap kakak laki-lakinya tersebut sembari mencuri pandang.
“Tidak, aku tidak keberatan”.
“Jika Kakang tidak merasa keberatan, kenapa Kakang bersikap demikian kepadaku?”.
“Kau jangan salah paham dulu karena sikapku ini, Adi. Sungguh aku tidak keberatan jika hanya kau yang mengetahuinya”.
“Syukurlah jika demikian”.
“Sebenarnya akupun tidak keberatan jika rencanaku ini diketahui para bebahu Kademangan Kali Amba, tetapi aku hanya tidak ingin memberikan harapan yang tak pasti kepada mereka. Sebab aku belum yakin akan hasil dari perjalananku ini, nantinya”.
“Tetapi aku kira mereka akan dapat mengerti, jika sejak awal Kakang katakan kepada mereka bahwa perjalanan Kakang itu belum tentu mendapatkan hasil seperti yang diharapkan”.
“Itulah yang tidak dapat aku lakukan, Adi. Aku tidak sampai hati melihat wajah-wajah kecewa pada saat nanti kepulanganku tidak membawa hasil seperti yang mereka harapkan. Apalagi bagi mereka, untuk sekarang ini aku adalah harapan mereka satu-satunya”.
“Ya sudah, itu terserah Kakang saja”.
Sejenak suasana menjadi hening, karena tidak ada yang bicara karena terbawa dengan penalaran masing-masing. Hingga beberapa saat kemudian.
“Lalu akan pergi kemanakah Kakang sekarang?”.
“Aku akan pergi ke arah selatan”.
“Ke arah selatan? apakah hingga jauh ke arah selatan?”.
“Tidak, aku kira tidak terlalu jauh ke arah selatan, apalagi hingga ujungnya selatan dari tanah ini”.
“Kakang memerlukan waktu berapa lama?”.
“Jika dalam perjalananku tidak menemui hambatan yang berarti, semoga perjalananku tidak lebih dari sepekan. Itu sudah termasuk waktuku berangkat dan kembali lagi ke kademangan ini”.
“Apakah Kakang yakin akan pergi sendiri?”.
“Bukankah kau tahu, bahwa aku tidak dapat mengajakmu serta? sementara jika aku mengajak orang lain dari kademangan ini, rasa-rasanya hatiku kurang mapan”.
“Ya sudah, jika itu memang sudah menjadi keputusan Kakang. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, karena aku tahu jika Kakang tentu sudah mempertimbangkan segala kemungkinannya”.
“Syukurlah jika kau mengerti”.
“Semoga saja selama Kakang pergi, kami yang berada disini dapat mengatasi segala gangguan yang terjadi”.
“Kita sama-sama nenuwun, Adi Sumbo. Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua”.
Halaman 53 - 54
Tanpa sadar, kedua orang yang dituakan di Kademangan Kali Amba itu pandangan matanya sekilas melihat ke arah kejauhan dari tempat mereka duduk.
Tampak matahari sudah semakin naik menapaki langit yang luas dan menjauhi gunung menjulang yang berusaha menghalangi sinarnya pada luasnya tanah ini.
Mereka sempat saling pandang sejenak, lalu kembali melihat ke arah lain. Entah apa yang ada di dalam penalaran mereka saat itu, karena wajah keduanya terlihat muram.
Namun pada akhirnya.
“Baiklah Kakang Renggong, sepertinya tidak ada lagi yang ingin aku katakan kepadamu. Lagipula Kakang tentu akan segera berangkat, sebaiknya aku pulang sekarang”.
“Apakah kau tidak mau makan pagi bersamaku?”.
“Terima kasih Kakang, mungkin di lain kesempatan. Aku tidak akan bepergian jauh, jadi makan pagi sekarang masih terlalu pagi bagiku. Silahkan jika Kakang ingin makan pagi, aku kembali sekarang”. sahut Kyai Sumbo sembari beranjak dari bangku kayu tempat duduknya.
“Baiklah, jika kau tidak mau makan pagi bersamaku”. sahut Kyai Renggong yang kemudian ikut bangkit berdiri.
“Kakang berhati-hatilah selama dalam perjalanan nanti, dan semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua”.
“Ya… aku akan selalu berhati-hati, kita sama-sama nenuwun”.
Setelah itu Kyai Sumbo segera meninggalkan rumah kakaknya yang akan makan pagi, yang kemudian akan dilanjutkan dengan pergi sesuai rencana.
Mencari orang yang dianggap akan dapat dimintai pertolongan untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi para kawula Kademangan Kali Amba, yang disebabkan oleh para mahkluk tak kasat mata yang sangat meresahkan dan menakutkan setelah sekian lama tak terbendung.
* * * * *
Sementara itu teriknya matahari di sepanjang hari serasa membakar kulit siapa saja yang terkena sinarnya secara langsung, hingga keringat bercucuran pun tak terhindarkan keluar dari tubuh yang hanya bernaung di bawah awan.
Apalagi bagi orang-orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, maka rasa lelah mulai menyerang tubuh. Terutama bagi orang yang tidak terbiasa akan hal itu.
Pada saat matahari semakin tergelincir disisi barat, akhirnya rombongan Ki Angkawijaya itu mulai mendekati tepian Kali Brantas sebelum memasuki daerah Kademangan Ploso.
Aliran Kali Brantas yang cukup lebar dan dalam, membuat rombongan itu tidak dapat menyebrang begitu saja. Mereka harus menaiki rakit.
Kebetulan untuk memasuki Kademangan Ploso, terdapat sebuah penyebrangan lengkap dengan Tukang Satangnya, untuk membantu kesulitan dengan imbalan uang beberapa keping.
“Akhirnya kita sampai pula di tepian Kali Brantas ini”. berkata Ki Angkawijaya memecah keheningan rombongan.
“Benar Kakang, kita akan segera menyeberanginya”. sahut Ki Jaganala. Lalu lanjutnya, “tetapi berhubung hanya ada satu orang Tukang Satang, maka kita harus mengantri untuk menunggu giliran menyeberang”.
“Itu tidak menjadi soal, Ki Jaganala. Yang penting kita dapat segera menyeberang”.
“Apakah kita akan langsung menyeberang, Kakang?”.
Halaman 55 - 56
Mendapat pertanyaan itu Ki Angkawijaya tidak segera menjawab, tetapi lebih dulu mengedarkan pandangan matanya berkeliling untuk melihat setiap orang yang ikut dalam rombongannya.
“Sepertinya tubuh kita sudah terlalu lusuh dan kotor, sebelum menyeberang, sebaiknya kita membersihkan tubuh kita dulu di aliran Kali Brantas ini. Selain tubuh kita akan lebih bersih, maka tubuh kita agar lebih segar”.
“Aku rasa itu lebih baik, Kakang”.
“Para perempuan carilah tempat yang baik menurut kalian, tetapi jangan terlalu jauh dan jangan terlalu lalu”. ucap Ki Angkawijaya sembari memandang ke arah istrinya dan kedua perempuan pengikut setianya.
“Baik Kakang”. sahut Nyi Angkawijaya, lalu memberikan isyarat kepada dua perempuan yang berada di sebelahnya.
Sejenak kemudian ketiga perempuan itu segera menjauh dari rombongan, agar dapat segera membersihkan diri tanpa harus malu kepada yang lain, sembari membawa sebuah buntalan kain.
Ketiga perempuan itu kemudian berhenti di dekat sebuah batu besar, sebuah batu yang berukuran hampir sebesar kerbau dewasa dan terdapat beberapa batu yang jauh lebih kecil di sekitarnya.
Setelah beberapa lama, akhirnya mereka semua pun telah selesai membersihkan diri. Lalu segera berkumpul kembali agar dapat segera melanjutkan perjalanan.
“Aku minta maaf kepada kalian semua, jika dalam perjalanan kita kali ini kita tidak dapat berleha-leha barang sejenak. Aku tidak perlu mengatakannya pun kalian pasti sudah tahu apa sebabnya, jadi aku harap kalian semua dapat mengerti”.
“Aku mengerti, Kakang”. sahut Nyi Angkawijaya dengan suara perlahan dan wajah sedikit lesu.
“Marilah… sebaiknya kita lanjutkan lagi perjalanan”.
Kemudian rombongan itu segera mendekati penyeberangan, dengan Tukang Satang yang masih terlihat bermalas-malasan menunggu penumpang, dengan duduk bersandar pada sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari tepian.
Namun dari tempat duduknya, apa yang terjadi di sekitarnya tidak luput dari perhatiannya, termasuk sejak beberapa saat tadi dia memperhatikan orang-orang yang baru saja datang.
Secara naluriah Tukang Satang itupun segera beranjak berdiri ketika menyadari bahwa rombongan yang baru saja datang itu sepertinya akan memerlukan bantuannya.
Namun karena jumlah tujuh orang yang berada di dalam rombongan dianggap terlalu banyak bersama barang bawaan, maka mereka tidak dapat menyeberang bersama-sama sekaligus, karena rakit yang akan mereka tumpangi tidak terlalu besar.
“Maaf jika kami telah mengganggu waktu istirahatmu, Ki Sanak”. berkata Ki Angkawijaya setelah berdiri di hadapan Tukang Satang.
“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku sudah terbiasa seperti ini, apakah kalian memerlukan bantuanku?”.
“Benar Ki Sanak, kami ingin minta tolong kepadamu untuk menyeberangkan kami”.
“Maaf Ki Sanak, aku tidak dapat membawa kalian menyeberang dengan rakitku sekaligus, sebab rakitku terlalu kecil untuk menampung kalian semua”. berkata Tukang Satang dengan ramah.
“Oh… tidak apa-apa Ki Sanak, kami dapat mengerti”. sahut Ki Angkawijaya yang berdiri paling depan, sembari tersenyum.
“Syukurlah jika Ki Sanak dapat mengerti. Silahkan kalian atur sendiri, siapa yang akan menyeberang lebih dulu dan mana yang akan menunggu”.
“Marilah…!”. ucap Ki Angkawijaya sembari memberikan isyarat kepada ketiga perempuan yang datang bersamanya.
Halaman 57 - 58
Kebetulan hari itu di sepanjang aliran sungai hingga ke hulu tidak terjadi hujan, sehingga rakit menyeberangi air sungai yang tidak begitu deras arusnya dan tidak menemui hambatan yang berarti.
Tukang Satang dan para penumpangnya pun tidak memerlukan waktu lama untuk dapat menyeberangi tepian Kali Brantas dengan menggunakan rakit yang berada di sebelah barat, meski harus dua kali perjalanan.
“Maaf Ki Sanak…”. ucap Tukang Satang yang tidak melanjutkan kata-katanya sembari dengan suara bergetar.
“Ada apa, Ki Sanak?”. sahut Ki Angkawijaya heran.
“Maaf Ki Sanak, uang Ki Sanak terlalu besar. Aku tidak memiliki kembalian yang cukup untuk satu keping gobog perak ini”. ucap Tukang Satang dengan suara masih bergetar.
Ki Angkawijaya justru menjadi tersenyum mendengar ucapan Tukang Satang itu, setelah menerima uang pemberiannya sebagai upah penyeberangan.
“Kembaliannya gunakanlah dengan sebaik-baiknya, mungkin kau dapat menggunakannya untuk membeli beberapa barang kebutuhan bagi keluargamu”.
“Terima kasih Ki Sanak, terima kasih”. sahut Tukang Satang itu, lalu segera bersujud di hadapan Ki Angkawijaya.
“Sudahlah Ki Sanak, kau tidak perlu bersikap demikian”. sahut orang sepuh itu, sembari cepat-cepat menarik tubuh Tukang Satang itu agar segera berdiri kembali.
“Aku benar-benar terkejut, karena baru kali ini aku mendapat sekeping gobog perak sepanjang hidupku, Ki Sanak”.
“Gunakanlah uang itu dengan sebaik-baiknya”.
“Sekali lagi aku hanya dapat mengucapkan terima kasih kepada Ki Sanak, dan semoga perjalanan kalian selamat sampai tujuan”.
“Terima kasih”. sahut Ki Angkawijaya, lalu menepuk pundak kanan Tukang Satang tersebut.
“Bolehkah aku minta tolong kepadamu, Ki Sanak?”.
“Katakan saja! apa yang dapat aku lakukan untuk Ki Sanak?”.
“Jika nanti, besok, atau di kemudian hari ada yang menanyakan tentang kami, tolong katakan kepada mereka bahwa kau tidak tahu dan tidak pernah melihat atau mendengar kami melintasi tempat ini dan sekitarnya”. berkata Ki Angkawijaya dengan suara perlahan, karena mulutnya telah didekatkan ke telinga Tukang Satang.
Tukang Satang itu terdiam sejenak, lalu melihat berkeliling ke arah orang-orang asing yang baru saja dilihatnya di sepanjang hidupnya tersebut.
“Baik Ki Sanak”.
“Kau ingat baik-baik permintaanku ini”.
“Aku akan mengingatnya dengan sebaik-baiknya, Ki Sanak”.
“Terima kasih”.
Selesai berkata demikian, Ki Angkawijaya dan kawan-kawannya pun segera meninggalkan tepian Kali Brantas disisi barat itu, untuk segera melanjutkan perjalanan.
Tubuh-tubuh yang mulai terasa lelah, namun terlihat menjadi segar kembali karena baru saja selesai mandi dan membersihkan diri di aliran air Kali Brantas yang jernih.
Jika saja perjalanan kali ini bukanlah sebuah perjalanan yang tergesa-gesa, tentu mereka akan lebih senang untuk menghabiskan waktu untuk berlama-lama mandi di aliran Kali Brantas yang bagi mereka benar-benar menyegarkan.
Namun mereka harus sadar akan kenyataan, bahwa perjalanan mereka kali ini adalah sebuah perjalanan yang sangat berbahaya. Meskipun untuk sementara waktu belum terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, tetapi segala kemungkinan bahaya selalu siap mengintai kapanpun dan dimanapun.
Halaman 59 - 60
Itulah yang yang menjadi alasan utama, kenapa mereka harus menyusuri jalan yang tidak biasa dan jauh memutar dari jalan yang seharusnya. Semua itu adalah semata-mata karena alasan keselamatan mereka semua.
Meskipun jarak yang mereka tempuh menjadi jauh berkali lipat dari jarak yang seharusnya, namun dalam penalaran mereka itu adalah pilihan yang paling baik.
Karena keselamatan jauh lebih utama jika hanya dibandingkan dengan rasa lelah, rasa lapar, dan rasa kantuk yang membayangi selama perjalanan.
Dari wajah-wajah mereka memang tidak begitu terlihat pancaran kegelisahan. Namun dalam hati, mereka tidak henti-hentinya untuk selalu nenuwun kepada Sang Hyang Agung bagi keselamatan mereka semua.
“Kita memang akan memasuki wilayah Kademangan Ploso, tetapi kita tidak akan melewati jalan kademangan itu, melainkan kita akan berjalan melingkar untuk mengurangi perhatian orang”.
“Baik Kakang, aku mengerti”. sahut Ki Jaganala singkat.
“Kawan-kawan kita tentu sudah menunggu di ujung sebelah luar Kademangan Ploso dan sebelum memasuki Kademangan Geneng”. ucap Ki Angkawijaya sembari terus berjalan.
“Aku tahu jika kalian semua tentu sudah lelah dan lapar, tetapi aku minta kalian untuk bersabar. Sebab kita akan beristirahat jika sudah bertemu dengan kawan-kawan kita itu”.
“Jika aku tidak salah hitung, jika kita berjalan terus maka akan dapat mencapai tempat mereka sekitar pada wayah sepi uwong”.
“Bagi kami, ini tidak menjadi soal, Kakang. Tapi…”.
“Biarlah dia belajar, Ki Jaganala”. sahut Ki Angkawijaya sembari menoleh ke arah istrinya.
Pada dasarnya memang Nyi Angkawijaya lah yang paling merasa berat akibat dari perjalanan tersebut. Sebab dalam sepanjang hidup, dirinya hampir belum pernah melakukan perjalanan yang sepanjang dan seberat itu.
Tubuhnya memang sudah sangat lelah, namun Nyi Angkawijaya tidak ingin mengecewakan suami dan kawan-kawannya dalam rombongan. Sehingga dirinya menyimpan keluh kesahnya hanya di dalam hati saja.
Di dalam rombongan itu memang ada perempuan lain selain Nyi Angkawijaya itu sendiri, namun dua perempuan yang lain adalah perempuan yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Jadi perjalanan itu bukanlah pekerjaan yang berat bagi mereka.
Sementara matahari semakin tergelincir ke arah barat, memancarkan cahaya kemerah-merahan. Sebagai tanda bahwa senja telah tiba di tempat itu.
Gelapnya malam yang tidak lama lagi akan turun, akan sangat membantu menyamarkan perjalanan mereka yang memang berniat untuk menyingkir dan menghindari pertumpahan darah dari orang-orang yang memusuhi.
Meski di sepanjang perjalanan, ada satu dua orang yang melihat rombongan itu dengan penuh tanda tanya? namun hampir tidak ada yang berani bertanya apalagi menghentikan mereka.
Perjalanan yang lebih panjang disertai harus menyusuri jalan yang tidak biasa dan rumpil karena harus naik turun tebing, terkadang menapaki ngarai licin berlumut.
Namun semua itu tidak pernah menyurutkan semangat mereka semua yang berada di dalam rombongan. Bahkan Nyi Angkawijaya yang sudah sangat kelelahan hanya dapat pasrah, tetapi terus saja mengikuti langkah-langkah kaki kawan-kawannya tersebut.
Halaman 61 - 62
Berjalan di bawah gelapnya malam sepertinya bukan menjadi soal bagi mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, salah satunya adalah pandangan mata yang sangat tajam seakan mereka tidak ada bedanya ketika sedang berjalan pada siang hari.
Beruntunglah bahwa rombongan itu tidak menemui hambatan yang berarti di sepanjang perjalanan, sehingga mereka akhirnya dapat sampai di tempat kawan-kawannya yang menunggu tidak jauh dari perkiraan.
Meski masih pada jarak yang cukup jauh, rombongan itu sudah melihat kobaran api yang menyala. Sebab pada saat lebih dari wayah sepi uwong, maka nyala api di tempat terbuka akan sangat mudah menarik perhatian.
“Sepertinya yang menyalakan api unggun itu adalah kawan-kawan kita”. berkata Ki Angkawijaya sembari mengedarkan pandangan matanya berkeliling, terutama kepada istrinya.
Nyi Angkawijaya yang sudah sangat kelelahan, seakan sudah tidak memiliki kekuatan untuk menanggapi ucapan suaminya meski dengan ucapan singkat.
“Akupun berpikir demikian, Kakang”. sahut Ki Gunung Sari.
Namun perjalanan yang hanya tinggal beberapa ratus tombak dan sudah tinggal berada di depan mata itu seakan-akan adalah sebuah perjalanan yang sangat panjang, karena mereka merasa tidak sampai-sampai.
Mungkin perasaan lelah yang sangat, telah mulai mengganggu penalaran dan perasaan untuk bekerja seperti seharusnya ketika dalam keadaan wajar.
Nyi Angkawijaya mulai terlihat berjalan terhuyung-huyung karena saking lelah tubuhnya, namun dua orang perempuan yang berjalan sebelah menyebelah segera mendukungnya agar tetap berjalan dan tidak roboh ke tanah.
“Maaf Mbakyu, kami harus mendukungmu untuk terus berjalan, seperti perintah Kakang Angkawijaya. Sebab kita hanya tinggal beberapa puluh langkah lagi akan sampai”.
Dengan wajah lusuh dan lelahnya, Nyi Angkawijaya tidak menyahut, tetapi dirinya tidak menolak atas apa yang dilakukan kepadanya. Kini kedua tangannya menggantung pada pundak kedua perempuan sebelah menyebelah.
Meski Ki Angkawijaya adalah orang yang sudah sangat sepuh pada umurnya yang sekarang, tetapi dia masih terlihat tegar. Bahkan perjalanan yang panjang ini seakan bukanlah sebuah pekerjaan yang berat baginya.
Mungkin karena dirinya adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga membuatnya sudah terbiasa dan terlatih dengan berbagai keadaan laku prihatin yang bagaimanapun beratnya selama ini.
Semakain lama rombongan itupun semakin mendekati api unggun yang menyala di bawah gelapnya malam dengan hawa yang sudah semakin dingin mulai menusuk kulit.
Tidak jauh dari api unggun itu telah berdiri dua tenda dengan kokohnya, dengan ditunggui beberapa orang yang menyebar di sekitar tempat itu.
“Aku melihat ada beberapa orang mendekati tempat ini, Ki”. ucap salah satu orang yang bertugas, lalu melaporkan kepada pemimpin kelompoknya yang duduk di depan api unggun.
“Mungkin mereka adalah orang-orang yang kita tunggu”. sahutnya, lalu segera beranjak dari tempat duduknya dan bermaksud untuk memeriksa apa yang dikatakan anak buahnya.
Dengan bekal sebagai orang yang memiliki kelebihan yang dimilikinya, orang itu kemudian memusatkan pandangan matanya sehingga dapat melihat dengan lebih jelas meski pada jarak yang cukup jauh serta diselimuti kegelapan malam.
Halaman 63 - 64
“Merekalah orang-orang yang kita tunggu”. desisnya.
“Lalu apa yang harus kami lakukan, Ki?”.
“Kita bersiap saja untuk menyambut kedatangan mereka, tentu mereka lelah setelah melakukan perjalanan panjang”. sahut orang yang terlihat sudah lebih dari paruh baya itu, sembari memandang ke arah orang-orang yang berjalan mendekat.
“Baik Ki…”.
Sejenak kemudian, orang yang mendapat perintah menghampiri kawan-kawannya untuk membagi tugas apa yang harus mereka lakukan jika nanti orang-orang yang telah mereka tunggu datang.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya orang-orang yang berjalan membelah malam itu mulai tampak batang hidungnya karena tersinari cahaya dari api unggun.
Maka dengan serta merta orang-orang yang menunggu, menghaturkan sembah mereka sebagai penghormatan terhadap pepunden mereka.
“Selamat datang Gusti…”.
“Hentikan penghormatanmu yang berlebihan itu, Ki Suwargi. Sebab sejak sekarang aku tidak lebih dari orang kebanyakan”. potong cepat orang yang sudah sangat sepuh itu.
Orang-orang yang menghaturkan sembah justru menjadi kebingungan atas perlakukan pepunden mereka yang entah kenapa tiba-tiba berubah sikapnya.
“Ampun Gusti, kami mohon petunjuk bagaimana kami harus bersikap seperti yang Gusti kehendaki”.
“Baiklah… tapi ingatlah baik-baik oleh kalian semua apa yang aku katakan, karena aku tidak ingin mengulanginya lagi”.
“Sendika dawuh, Gusti”.
“Ingatlah…! pertama, sejak sekarang dan untuk seterusnya aku tidak ingin mendengar lagi panggilan itu. Kedua, kalian bersikaplah wajar kepadaku. Karena sejak sekarang aku bukan junjungan kalian lagi, sebab aku sekarang tidak lebih hanyalah orang kebanyakan”.
Ki Suwargi dan kawan-kawannya terkejut dan kebingungan mendengar keterangan tersebut, dan mereka lebih bingung lagi sekarang harus bersikap seperti apa.
“Kalian tidak perlu bingung, mungkin kalian hanya belum terbiasa saja dengan hal ini”. sahut Ki Angkawijaya sembari mengedarkan pandangan matanya.
Mereka masih terdiam dalam kebingungan, sehingga bingung pula untuk menanggapi ucapan pepundennya yang sudah sangat sepuh tersebut.
“Jika kalian mau dan tidak keberatan, aku ingin kita menjadi sebuah keluarga. Dan berhubung aku lebih tua dari kalian, maka anggap saja aku sebagai kadang werdamu atau orang tuamu bagi yang umurnya terlalu jauh denganku”.
“Lalu bagaimana kami harus bersikap?”. sahut Ki Suwargi.
“Mulai sekarang, panggil saja aku dengan sebutan Kakang atau sebutan apapun yang menggambarkan kedekatan hubungan sebagai sebuah keluarga. Dan aku tidak ingin mendengar lagi panggilan Gusti yang kalian tujukan kepadaku”.
“Ba.. baik, Ka.. kang”. sahut Ki Suwargi dengan suara masih terbata-bata, sebab mulutnya masih terasa kaku untuk memulai hal baru baginya.
“Selain itu, sejak saat ini kalian bersikaplah wajar kepadaku. Dan kalian tidak perlu lagi menyembah-nyembah kepadaku hanya karena untuk menghormatiku. Kalian bersikaplah sewajarnya seseorang menghormati yang lebih tua atau orang tuanya”.
“Tidak ada lagi yang dapat kami ucapkan selain terima kasih”.
Halaman 65 - 66
“Tapi sebelum itu, ada yang perlu aku sampaikan kepada kalian semua…”. ucap Ki Angkawijaya, lalu memadang ke arah semua orang yang hadir di tempat itu.
Mereka yang penasaran dan kebingungan mendengarnya, tanpa sadar mengangkat wajah. Bahkan ada yang menjadi saling pandang dengan kawan di dekatnya.
“Sejak sekarang, tidak ada lagi hubungan antara junjungan dan bawahan. Jika kalian tidak keberatan, aku ingin hubungan ini kita lanjutkan menjadi sebuah hubungan keluarga. Tetapi…”.
Ki Angkawijaya memang sengaja memotong dulu ucapannya, lalu memandang satu persatu orang yang ada di sekelilingnya untuk berusaha membaca isi hati masing-masing dari mereka.
Selama hal itu berlangsung, mereka hanya diam di tempat masing-masing dan tidak ada yang membuka suara untuk menanggapi ucapan orang yang sudah sangat sepuh itu.
Sejenak kemudian…
“Sejak sekarang aku bebaskan kalian semua, maksudku adalah sejak saat ini kalian aku bebaskan untuk menentukan nasib kalian masing-masing, sesuai dengan hati nurani kalian. Sebab kita bukan lagi menjadi junjungan dan bawahan”.
“Maaf Gus… eh.. Kakang, aku belum mengerti”.
“Sudah tidak ada ikatan lagi yang mengharuskan kalian untuk terus mengabdi kepadaku. jadi… aku persilahkan kepada kalian untuk memilih sesuai dengan hati nurani kalian. Jika kalian masih ingin ikut bersamaku silahkan, tetapi jika kalian ingin menjalani hidup baru sesuai dengan keinginan kalian pun aku persilahkan”.
“Kenapa Kakang berkata demikian?”. sahut Ki Suwargi dengan wajah masih kebingungan.
“Bukankah sudah aku katakan? karena sejak sekarang aku telah menjadi orang kebanyakan, jadi sudah tidak pantas lagi jika masih diperlakukan seperti Trah Kusuma Rembesing Madu seperti yang selama ini kalian lakukan kepadaku”.
Sejenak suasana menjadi hening karena tidak ada yang membuka suara, namun suara beberapa burung malam dari kejauhan sempat memecah keheningan sesaat.
“Maaf Ka..kang, jika aku boleh bertanya, Ka..kang akan kemana? mungkin dengan demikian aku dapat mengambil sikap”. bertanya Ki Suwargi yang mulutnya masih terasa kaku ketika menyebut kakang kepada Ki Angkawijaya.
“Aku belum dapat memberikan keterangan secara gamblangnya kepada kalian semua, akan kemanakah aku pergi? tetapi yang jelas disisa umurku ini, aku hanya ingin lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung, yang selama ini sering aku lupakan dan sering aku tinggalkan kewajiban-Nya”.
Ki Suwargi dan kawan-kawannya menjadi terdiam sesaat untuk merenungi keterangan dari orang yang berdiri di hadapannya, namun ada pula yang saling pandang dan saling memberikan isyarat apa yang harus mereka lakukan.
“Sejak sekarang pun aku sudah tidak berhak memaksa kalian untuk melaksanakan perintahku atas nama apapun, kecuali jika kalian memang bersedia dengan suka rela dan tidak keberatan melakukan permintaanku itu”.
Ternyata masih belum ada yang menanggapi.
“Jika kalian masih bingung untuk menentukan sikap, kalian tidak perlu tergesa-gesa. Sebab aku akan memberikan kesempatan untuk berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya hingga besok, pada saat matahari terbit. Sekarang berilah kami kesempatan untuk beristirahat”.
“Ma.. af Ka..kang, aku sampai lupa mempersilahkan kalian untuk beristirahat”. sahut Ki Suwargi yang seakan tersadar dari mimpi buruk yang membelenggunya.
Halaman 67 - 68
Sementara Nyi Angkawijaya yang sejak tadi sudah sangat kelelahan, tidak kuasa lagi menopang tubuhnya, menunggu pembicaraan selesai.
Terlihat duduk bersandar pada sebuah pohon yang akarnya menjulang, sembari kakinya dipijit-pijit oleh dua orang perempuan yang menyertainya.
“Kami minta maaf, karena sudah berani deksura kepada kalian semua”. ucap Ki Suwargi yang segera bangkit dan mempersilahkan kawan-kawannya yang baru saja datang.
Terutama kepada Nyi Angkawijaya yang sudah sangat kelelahan, segera dipersilahkan memasuki salah satu tenda yang memang sudah dipersiapkan.
Ki Angkawijaya tampak meraih bumbung kecil di balik ikat pinggangnya, lalu mengeluarkan isinya. Dan kemudian menyerahkan kepada salah satu perempuan yang sedang memamah istrinya untuk memasuki tenda.
“Minumkanlah kepada Mbakyumu, agar tubuhnya merasa lebih baik ketika besok bangun tidur”.
“Baik Kakang”. sahut perempuan itu sembari menerima obat yang disodorkan kepadanya.
Kemudian Ki Angkawijaya kembali ke dekat api unggun, untuk berkumpul dengan yang lain. Untuk melepas lelah sembari membicarakan apa saja.
“Apakah Kakang belum ingin beristirahat sekarang?”. bertanya Ki Suwargi ketika melihat orang sepuh itu datang menghampiri .
“Aku masih ingin melepas lelahku dengan meneguk minuman hangat, yang barangkali kalian masih mau berbagi denganku”.
“Ah… tentu saja kami sudah menyiapkan untuk Kakang dan rombongan yang datang, alangkah deksura sekali jika hanya kami habiskan sendiri”.
Sontak saja jawaban itu mengundang tawa bagi orang-orang yang hadir, dan hal itu seketika mencairkan suasana yang sejak tadi terasa kaku.
“Ternyata ketika kita berkumpul dalam suasana kekeluargaan itu jauh lebih menyenangkan, dibandingkan selama ini yang terasa sangat kaku karena penuh dengan subashita yang berlebihan”.
“Bukankah memang seharusnya demikian, Kakang? karena biar bagaimanapun kita tetap harus dapat empan papan dimanapun dan terhadap siapapun kita berhadapan”.
“Subashita itu memang penting dan wajib bagi kita, karena selain kawruh subashita itu merupakan ajaran leluhur yang sangat baik bagi kita semua, kawruh itu mengajarkan kita arti yang jauh lebih luas lagi”. sahut Ki Angkawijaya, lalu segera menerima minuman hangat yang diperuntukkan baginya.
Sejenak kemudian mereka menikmati minuman hangat yang baru saja dihidangkan oleh kawan mereka yang bertugas di perapian, sebelum kembali melanjutkan pembicaraan.
“Dengan keputusanku ingin menjalani hidup baru, maka akupun mengganti namaku yang lama dengan nama yang baru, yang aku kira akan lebih sesuai dengan keadaanku yang sekarang”.
“Berganti nama?”. sahut Ki Suwargi terkejut.
“Benar… aku telah mengganti namaku”.
“Maaf Kakang, apa nama Kakang yang baru itu?”.
“Angkawijaya”. sahut orang sepuh itu singkat.
“Nama yang bagus, apalagi jika Kakang yang menggunakan nama itu. Tentu memiliki prabawanya tersendiri, beda sekali jika nama itu digunakan oleh orang lain”.
“Ah… kau terlalu memuji, Ki Suwargi. Nama itu nama yang biasa saja dan tidak memiliki prabawa apa-apa”.
Halaman 69 - 70
“Maaf Ki Angkawijaya, aku tidak sekedar memuji karena sedang berada di hadapanmu, tetapi aku berkata sebenarnya sesuai dengan apa kata hatiku”.
“Aku sependapat dengan Ki Suwargi, sebuah nama yang digunakan seseorang itu akan dapat bertambah atau berkurang prabawanya, tergantung siapakah yang menggunakan nama itu”. sahut Ki Jaganala yang sejak tadi lebih banyak diam.
“Nah… bukankah kini aku memiliki kawan yang sepemikiran, Ki Angkawijaya?”. sahut Ki Suwargi sembari tersenyum, merasa menang karena ada yang membela.
Tetapi pembicaraan mereka harus terputus, ketika beberapa kawan mereka telah menghidangkan makan malam ala kadarnya, yang sebenarnya waktunya sudah jauh terlewatkan.
“Ki Angkawijaya dan Ki Sanak semua, kami minta maaf jika kami hanya dapat menyajikan makanan ala kadarnya kepada kalian semua”. berkata Ki Suwargi ketika kawannya telah selesai meletakkan makanan di atas daun pisang.
“Ah… rupanya kau masih merasa sungkan kepadaku, Ki Suwargi”.
“Mungkin karena aku masih terkejut dengan kenyataan ini, Ki Angkawijaya. Sehingga aku masih terbawa suasana yang selama ini menjadi kebiasaanku”.
“Maka dari itu lupakanlah semua yang telah berlalu, karena sejak sekarang kita telah membuka lembaran hidup baru yang akan kita lakukan seterusnya”.
“Aku mengerti, Ki Angkawijaya. Tetapi bagiku tidak mudah untuk merubah kebiasaan yang telah aku lakukan sekian lama begitu saja, dan aku masih sering terbawa suasana itu”.
“Kau tidak sendirian, Ki Suwargi. Karena sesekali, akupun masih berbuat demikian”. sahut Ki Jaganala.
“Demikian pula aku”. sahut Ki Gunung Sari.
“Rupanya aku banyak kawannya”. sahut Ki Suwargi sembari tersenyum mendengar pengakuan orang-orang di hadapannya.
“Apakah tidak sebaiknya kita mengajak Nyi Angkawijaya pula untuk menikmati makan malam ini, meskipun hanya makan serba sedikit untuk mengisi perutnya?”. berkata Ki Suwargi lagi.
“Tidak perlu, Ki Suwargi. Biarkan saja dia tetap beristirahat, sepertinya dia sudah terlalu lelah karena perjalanan ini. Dan biar besok pagi, jatah makannya menjadi ganda”.
Hampir semua orang yang mendengar kelakar orang yang sudah sangat sepuh itu menjadi tertawa, memecah keheningan malam di pinggir hutan yang tidak begitu lebat itu.
“Jika demikian marilah kita segera mulai, agar tidak keburu dingin makanan di hadapan kita ini”. berkata Ki Suwargi mengajak kawan-kawannya.
Maka sejenak kemudian mereka pun segera menikmati makan malam yang memang ala kadarnya bersama-sama, kecuali Nyi Angkawijaya yang sudah terlalu lelah untuk bangkit dan sekedar mengisi perutnya.
Meski hanya makanan ala kadarnya, namun rasa lapar yang sudah menghimpit perut membuat makanan itu terasa enak dan nikmat. Apalagi dengan mereka menikmati makanan itu secara bersama-sama, jadi menambah kenikmatan yang tak ternilai itu.
Setelah beberapa lama, akhirnya makan malam itupun selesai juga, hampir bersamaan dengan waktu yang hampir mendekati puncaknya malam.
Lalu dilanjutkan dengan menikmati minuman hangat di depan api unggun untuk mengusir hawa dingin yang semakin menusuk kulit, bahkan hingga ke tulang.
“Tentu kalian lelah setelah melakukan perjalanan panjang, kalian tidak perlu sungkan, jika Ki Angkawijaya dan rombongan yang baru saja datang ingin beristirahat, istirahatlah! kalian tidak perlu khawatir, karena kami yang datang lebih dulu akan berjaga-jaga di tempat ini”.
Halaman 71 - 72
“Masih ada yang ingin aku sampaikan kepada kalian, bukan hanya sekedar untuk Ki Suwargi dan kawan-kawannya, tetapi untuk kalian semua, jika kalian tidak keberatan”.
“Tentu kami akan merasa sangat senang sekali mendengar apa yang ingin Ki Angkawijaya sampaikan kepada kami itu, meski kami belum tahu”. sahut Ki Jaganala mewakili kawan-kawannya.
Namun sebelum mulai bicara, Ki Angkawijaya lebih dulu memandang berkeliling, melihat satu persatu orang yang berada di hadapannya, seakan untuk mencoba melihat isi hati mereka masing-masing sejauh yang dia mampu.
Mereka yang menyadari jika diperhatikan, seketika jadi menundukkan kepala dan tidak berani menatap orang sepuh yang berada di hadapannya.
“Apa yang terjadi atas diriku ini tidak datang secara tiba-tiba, tetapi sudah aku pikirkan segala akibatnya. Jadi bagi kalian yang masih ingin mengabdi kepadaku, aku minta kalian pikirkan lagi baik-baik. Agar kalian tidak menyesalinya di kemudian hari”.
Ki Angkawijaya berhenti sejenak, lalu meneguk minuman hangat di tangannya yang sudah mulai dingin, kerena di tempat itu memang telah dicengkam oleh hawa dingin di malam yang semakin mendekati puncaknya.
“Jika kalian memutuskan untuk terus mengabdi kepadaku, maka kalian tidak akan mendapatkan apa-apa. Sebab di sisa umurku ini, aku sudah tidak lagi diselimuti oleh gebyarnya kamukten yang bagaimanapun bentuknya”.
“Dan disisa umurku ini, aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung sesuai dengan kepercayaan yang aku yakini”.
“Jadi kemungkinan besar dalam hidupku nanti akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menjalani laku-laku prihatin yang berbagai macam menurut kepercayaan yang telah aku yakini selama ini, sebagai bentuk caraku untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Agung”.
Semua orang yang hadir masih saja diam dan belum menanggapi, mereka lebih memilih untuk mendengarkan lebih dulu secara lengkap apa yang akan disampaikan oleh pepunden mereka yang sangat mereka hormati.
“Maka dari itu, aku peringatkan kepada kalian. Jika kalian masih memiliki gegayuhan yang berhubungan dengan gebyare kamukten, maka aku sarankan kepada kalian untuk mencari orang lain selain diriku untuk kalian suwitani”.
“Tetapi jika kalian memang memilih untuk tetap mengabdi kepadaku sebagai pilihan hidup kalian dengan penuh kesadaran diri dan tanpa paksaan dari siapapun, maka aku hanya dapat mengucapkan terima kasih”.
“Dan perlu kalian ingat pula! bahwa sejak sekarang aku tidak dapat memberikan bandha donya atau apapun itu yang masih sejenisnya kepada kalian semua. Mungkin yang masih dapat aku bagikan kepada kalian sekarang, hanyalah berbagi pengalaman”.
“Aku persilahkan kalian untuk memilih, dan apapun pilihan kalian, tidak akan membuatku benci. Apapun pilihan kalian, aku hanya dapat membantu nenuwun kepada Sang Hyang Agung agar pilihan itu membawa kebaikan bagi kalian semua”.
Sejenak Ki Angkawijaya menghentikan kata-katanya, lalu memandang berkeliling untuk melihat kembali orang-orang di hadapannya dan ingin mengetahui bagaimana tanggapan mereka setelah mendengar apa yang telah disampaikannya.
“Perlu kalian ingat, bahwa kalian jangan hanya memikirkan diri sendiri. Tetapi kalian pikirkan juga anak istri dan keluarga kalian yang mungkin akan menerima segala akibat dari keputusan yang kalian buat ini”.
Halaman 73 - 74
“Sepertinya hanya itu yang dapat aku sampaikan kepada kalian, sekarang pikirkanlah baik-baik apa yang aku sampaikan sebelum kalian menentukan sikap dan membuat keputusan yang paling penting dalam hidup kalian”.
“Terima kasih atas segala petuah dan peringatan Ki Angkawijaya kepada kami semua, dan bagiku tidak akan mengubah keputusanku sebelumnya”. sahut Ki Jaganala dengan penuh keyakinan.
“Agar adil, simpan saja dulu jawaban kalian semua hingga esok pada saat matahari terbit, karena sekarang aku ingin istirahat. Dan kalian perlu beristirahat pula”. sahut Ki Angkawijaya lalu beranjak dari tempat duduknya.
“Maaf Ki Angkawijaya, ada yang terlupakan olehku”. ucap Ki Suwargi tiba-tiba setelah teringat akan sesuatu.
“Apa itu?”. sahut orang tua itu dengan penuh tanda tanya.
“Aku lupa untuk melaporkan, bahwa aku telah membawa pesanan Ki Angkawijaya sebelum meninggalkan bumi Majapahit, dan pesanan itu aku sembunyikan di balik semak belukar agar tidak mengundang perhatian orang yang mungkin melintas”.
“Apakah kau membawa semua? sesuai dengan pesananku?”.
“Berdasarkan pesan yang aku terima dari prajurit penghubung, sepertinya tidak ada yang aku lewatkan satupun. Sebuah pedati lengkap dengan isinya, dan beberapa kuda, terutama kuda yang terlihat paling gagah dan paling tegar, yaitu Narantaka”.
“Terima kasih, dan ternyata kau memang membawakan semua yang aku minta, sebelum aku meninggalkan Majapahit”. sahut orang yang sudah sangat sepuh itu.
“Syukurlah jika yang kami bawa itu sesuai permintaan dan tidak ada yang terlewatkan sama sekali”.
“Jika tidak ada lagi, aku ingin beristirahat sekarang”.
“Silahkan Ki, silahkan. Maaf jika aku telah menghambatmu untuk segera beristirahat”. sahut Ki Suwargi yang menjadi merasa bersalah karena apa yang telah dilakukannya baru saja.
Kemudian tubuh yang sudah sangat sepuh itu masih tampak tegar ketika berjalan menuju salah satu tenda yang memang sengaja telah diperuntukkan khusus untuknya dan sang istri yang sudah lebih dulu memasukinya.
Sementara tenda yang satu lagi diperuntukkan bagi dua orang perempuan yang ikut menyertai mereka, dua orang perempuan yang sudah berumur pula, namun belum setua Nyi Angkawijaya.
“Sebaiknya kalian pun segera beristirahat pula, tentu kalian lelah sekarang ini. Kalian tidak perlu khawatir, sebab kami yang akan berjaga di tempat ini”. berkata Ki Suwargi kepada rombongan yang baru saja datang di tempat itu.
“Terima kasih atas kebaikan Ki Suwargi dan Ki Sanak semua”.
“Justru kami minta maaf kepada Ki Jaganala dan yang lain, sebab kami tidak dapat menyediakan tempat yang layak untuk beristirahat bagi kalian semua”.
“Ah… itu bukan salahmu, Ki Suwargi. Tetapi memang keadaanlah yang tidak memungkinkan untuk itu, lagipula kami sudah terbiasa beristirahat dimana saja, yang penting kami dapat meluruskan tubuh ini”. sahut Ki Jaganala sembari tersenyum.
“Syukurlah jika demikian, aku persilahkan kalian untuk mencari tempat istirahat sendiri”.
Kemudian rombongan yang menyertai perjalanan Ki Angkawijaya itu segera menyebar dan mencari tempat istirahat masing-masing, yang menurut mereka paling baik bagi dirinya.
Sementara Ki Suwargi dan kawan-kawannya yang berjumlah enam orang, segera berkumpul untuk membicarakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Setelah pembicaraan itu selesai, maka diputuskan bahwa mereka akan dibagi menjadi dua kelompok.
Halaman 75 - 76
Kelompok yang pertama akan bertugas lebih dulu, sementara kelompok kedua beristirahat lebih dulu hingga waktu yang telah ditentukan, maka mereka akan dibangunkan guna melanjutkan tugas.
Tidak lupa mereka harus segera memberikan isyarat sesegera mungkin jika terjadi sesuatu yang dianggap dapat membahayakan atau tidak dapat teratasi oleh kelompok pertama.
Kebetulan Ki Suwargi termasuk kelompok kedua, sehingga dia harus memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya untuk beristirahat sebelum mendapat jatah giliran bertugas.
Meski waktunya tidak panjang, namun itu sangat berarti sekali bagi mereka yang kemungkinan esok hari akan melakukan perjalanan panjang, jika saja mereka memilih untuk tetap mengabdi kepada Ki Angkawijaya.
Kebetulan mereka adalah orang-orang yang terlatih dan sudah terbiasa menghadapi keadaan yang bagaimanapun gawatnya dimanapun mereka berada.
Sehingga meski mereka kini berada di alam bebas, tetap saja dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya tanpa pernah merasa terganggu oleh keadaan sekitarnya.
Kecuali jika dibangunkan oleh kawannya sendiri atau mendapat firasat bahaya yang akan dapat mengancam keselamatan jiwanya atau jiwa kawan-kawannya.
Sementara itu api unggun yang menyala di malam hari sangat menarik perhatian, terutama bagi orang-orang yang merasa berkepentingan. Tentu mereka akan menjadi penasaran dengan apa yang dilihatnya.
Sebuah pemandangan yang memang cukup nyalawadi, di tempat yang nyalawadi pula, tentu akan membuat orang-orang yang mungkin merasa berkepentingan ingin segera berbondong-bondong memeriksanya.
Dan itu pula yang terjadi kepada dua orang yang kebetulan sedang melintasi daerah yang menjadi sumber api yang menyala di bawahnya malam yang dicengkam oleh kegelapan, karena suatu alasan yang belum dapat diketahui.
“Adi… coba kau lihat itu!”. berkata orang yang lebih tua.
“Maksud Kakang? api unggun itu?”.
“Benar, api unggun itu”.
“Lalu apa maksud, Kakang?”.
“Bukankah kita tahu, jika bukit di seberang itu adalah pinggiran hutan? apakah wajar jika tiba-tiba disana ada api unggun?”.
“Kakang benar, memang sebuah pemadangan yang nyalawadi”.
“Sebaiknya kita memeriksanya, barangkali itu ada hubungannya dengan tugas yang sedang kita emban”.
“Baiklah, marilah Kakang”.
“Tetapi sebaiknya kita harus sangat berhati-hati, sebab kita belum tahu siapa saja yang berada disana dan apa pula yang sedang mereka lakukan. Mungkin saja mereka hanya sekelompok pemburu yang sedang menikmati hasil buruan, mungkin pula kelompok lain yang dapat menjadi ancaman bagi keselamatan kita”.
“Aku mengerti, Kakang”.
“Tetapi sebaiknya kita menerobos tebing dan ngarai yang ada di hadapan kita ini, sebab jika kita mengikuti jalan yang seharusnya maka kita akan kehilangan banyak waktu untuk sampai disana karena jalannya panjang melingkar”.
Halaman 77 - 78
“Baiklah Kakang”.
“Tetapi kita harus sangat berhati-hati, sebab gelapnya malam tentu akan menambah kesulitan langkah kita dalam melintasi jalan terjal dan rumpil ini”.
Mereka pun segera mengakhiri pembicaraan, lalu mulai dengan rencana menuruni tebing yang banyak ditumbuhi semak belukar yang cukup rungkut.
Namun justru keadaan itu dapat membantu langkah mereka agar tidak terperosok dan meluncur bebas ke dasar ngarai yang kelihatannya cukup tinggi.
Namun keduanya adalah orang-orang yang sudah terlatih untuk melintasi medan yang bagaimanapun sulitnya dengan tangan kosong. Sehingga meski dengan bersusah payah, pada akhirnya mereka berhasil semakin mendekat.
Semakin dekat dengan tujuan, maka mereka menjadi semakin berhati-hati. Sejauh mungkin mereka harus dapat menyamarkan kedatanganya dari orang-orang yang akan mereka intai.
Sebab mereka belum tahu akan berhadapan dengan siapa? mungkin kawan, mungkin pula lawan yang sangat berbahaya sekalipun bagi keselamatan mereka. Segala kemungkinan masih dapat terjadi.
Dengan langkah perlahan dan sangat berhati-hati, terutama terhadap segala bunyi yang mungkin dapat ditimbulkan oleh langkah kaki mereka.
Akhirnya mereka berhasil mendekat dan melihat dengan lebih jelas apa yang telah mengusik hatinya, meski dari jarak beberapa puluh tombak.
“Terdapat dua tenda dengan sembilan orang yang berada di luar, meski hanya beberapa yang masih tampak berjaga, sementara yang lain sudah tertidur pulas”. ucap yang lebih tua setengah berbisik.
“Apakah Kakang memiliki dugaan? siapakah sebenarnya mereka? sebab mereka tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan atau ciri-ciri kelompok tertentu yang dapat kita kenali”. sahut kawannya yang tidak kalah lirihnya.
“Berdasarkan ciri-ciri yang dapat kita lihat saat ini memang menunjukkan bahwa mereka seperti orang kebanyakan, tetapi aku merasa ada yang aneh”.
“Aneh? aneh bagaimana maksud Kakang?”.
“Jika orang kebanyakan, kenapa mereka mendirikan dua tenda yang cukup besar? dan berikutnya adalah orang-orang yang menjaga tenda itu sangat banyak jika untuk ukuran orang kebanyakan”.
“Mungkin orang itu adalah saudagar kaya? atau mungkin pula mereka adalah rombongan sebuah keluarga yang berasal dari tempat yang jauh akan menyaksikan salah satu anggota keluarganya melaksanakan pernikahan setelah sepekan ngenger di tempat calon mempelainya?”.
Mereka menghentikan pembicaraan guna lebih memusatkan perhatian terhadap orang-orang yang sedang mereka curigai sembari mencari-cari, barangkali ada sesuatu yang dapat mereka temukan di tempat itu.
Namun setelah sekian lama menunggu, sepertinya mereka masih belum menemukan apa yang sedang mereka cari. Lagipula jarak yang masih cukup jauh membuat mereka tidak dapat mendengarkan dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
“Sebaiknya kita lebih mendekat, Kakang. Sebab dari sini kita tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan”.
“Sabar dulu, Adi. Kita harus memastikan dulu keadaan, apakah benar-benar aman atau tidak jika kita lebih mendekat?”.
“Kakang terlalu banyak pertimbangan, bukankah semak belukar itu akan membantu kita untuk bersembunyi?”.
Halaman 79 - 80
“Kau jangan salah, Adi. Jika yang kita intai itu adalah sekelompok orang-orang yang berilmu tinggi, maka semak belukar yang bagaimanapun rungkutnya tidak akan pernah ada artinya bagi mereka untuk mengetahui kedatangan kita”.
“Lalu apakah kita hanya akan menunggu disini?”. sahut yang lebih muda, masih tetap dengan suara lirihnya.
“Memang tidak ada salahnya jika kita ingin mendekat, tetapi kita harus memastikan dulu keadaan. Sebab kita kebetulan bertemu dengan sekumpulan orang garang dan berilmu tinggi, maka nyawa kita menjadi taruhannya”.
Orang yang lebih muda menjadi terdiam dan tidak dapat membantah lagi ucapan kawannya yang memang ada benarnya pula setelah dipikir-pikir kembali.
Kemudian mereka lebih banyak diam sembari perhatian mereka hampir tidak pernah lepas dari sekelompok orang yang sedang berada di hadapan mereka tersebut.
Setelah beberapa lama menunggu dalam kediaman, keduanya masih saja belum melihat perkembangan yang berarti, seperti yang mereka harapkan.
Sementara tanpa terasa di malam itu sudah semakin jauh meninggalkan puncaknya, namun hawa dingin yang ada justru malah semakin tajam terasa menusuk kulit. Selain itu sekumpulan nyamuk-nyamuk nakal tidak henti-hentinya mengerumuni dan menggigit semaunya.
Namun tidak ada yang dapat keduanya lakukan untuk sekedar membela diri, selain hanya pasrah dan diam saja di tempat persembunyiannya agar tidak ketahuan oleh orang-orang yang sedang mereka pantau secara diam-diam.
“Apakah kita masih akan tetap menunggu disini, Kakang?”. ucap orang yang lebih muda, karena sudah tidak dapat menahan diri lagi untuk berdiam diri.
Setelah mencoba berpikir sejenak, pada akhirnya orang itupun segera mengambil keputusan atas apa yang akan dilakukan selajutnya bersama kawannya.
“Baiklah… kita akan lebih mendekat, tapi ingat! kita harus semakin berhati-hati. Jangan sampai kita membuat kesalahan sekecil apapun”.
“Baik Kakang”.
“Sebab kesalahan sekecil apapun dapat menyeret kita kedalam kesulitan, atau bahkan hingga nasib buruk sekalipun”.
“Aku mengerti, Kakang”.
Kemudian dengan sangat berhati-hati, keduanya berusaha mendekat, dengan harapan agar mendapat keterangan yang mungkin ada hubungannya dengan tugas yang sedang mereka berdua emban.
Karena jika sesuai dengan apa yang sedang mereka cari, maka akan dapat menjadi bahan laporan yang sangat berharga untuk pemimpin mereka yang telah menunggu hasil kerja keduanya setelah beberapa lama pergi.
- - - o - O - o - - -
bersambung ke
Djilid
3
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
Setia menunggu
BalasHapusterima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari Ki Ptokwayangan...
HapusYang ditunggu akhirnya .....
BalasHapusterima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari Ki Saridin...
HapusTerima kasih banyak, Ki MDP.
BalasHapusKisah yang menarik dengan penulisan yang enak dibaca, sangat layak untuk dilanjutkan sampai betul-betul tamat.
Semoga panjenengan akan terus dianugerahi segala kemampuan untuk terus berkarya menambah khasanah cersil sebagai warisan bagi generasi mendatang.
amin...
Hapussaya bukan siapa-siapa dan tidak dapat berbuat apa-apa.
saya dapat melangkah sejauh ini adalah semata-mata karena segala bimbingan, dukungan, dan doa dari panjenengan semua.
terima kasih.